February 16, 2008
Pustaka: Apresiasi untuk Sastra Bahasa Lampung
Judul : Mak Dawah Mak Dibingi
Penulis : Udo Z. Karzi
Penerbit: BE Press, Bandar Lampung, 2007
Tebal : xii + 71 halaman
MASYARAKAT Lampung sebenarnya cukup kaya dengan karya sastra berupa adi-adi (pantun), warahan (cerita), hiwang (ratapan yang berirama), wawancan (sejarah), dan sebagainya. Meskipun kebanyakan masih berbentuk sastra lisan yang sering dilantunkan dalam upacara adat, ada beberapa yang sudah ditulis dan diterbitkan berupa buku.
Namun, semua karya sastra dalam bahasa Lampung itu tergolong sastra tradisional yang sangat terikat kepada aturan bait dan rima yang ketat. Satu bait pantun tradisional Lampung (adi-adi) harus terdiri atas empat baris, satu baris harus mengandung tujuh suku kata, dan harus berstruktur a-b-a-b. Sebagai contoh, kita kutip sebuah adi-adi: bayang-bayangmu kundang/ratong di tengah bingi/minjak diguyang hiwang/niku delom hanipi (bayang-bayangmu kasih/datang di tengah malam/bangkit dibangunkan tangis/dikau dalam mimpi).
Adapun karya sastra modern dalam bahasa Lampung selama ini boleh dikatakan belum ada. Sastrawan modern yang tinggal di Lampung memang cukup banyak, tetapi umumnya menuliskan karya sastra mereka dalam bahasa Indonesia. Belum ada yang menggunakan bahasa ibu (mother language), yaitu bahasa Lampung, sebagai wahana atau medium sastra modern.
Akibatnya, dunia sastra Lampung selalu dalam kondisi "hidup segan mati tidak mau', jauh tertinggal dari sastra Sunda, Jawa, dan Bali yang sudah lama memiliki sastra modern di samping tetap melestarikan sastra tradisional.
Itulah sebabnya buku kumpulan 50 sajak berbahasa Lampung dari Udo Z. Karzi (nama pena dari Zulkarnain Zubairi), yang berjudul Mak Dawah Mak Dibingi (Tak Siang tak Malam), merupakan terobosan besar yang mendobrak kebekuan dunia sastra Lampung. Sajak-sajak Udo Z. Karzi betul-betul membebaskan diri dan tidak merasa terikat dengan aturan puisi tradisional Lampung.
Mari kita simak salah satu sajak Udo yang mengalir bebas: pagi ga, kundang/aga minjak jak kedugokmu/bingi juga maseh mesurok ditinggal bulan/pedom, pedom do luwot, kundang/lagi wat masani buhanipi/tentang pattun nyanyianni surga (terlalu pagi, kasih/mau bangkit dari kantukmu/malam juga masih enggan ditinggal bulan/tidur, tidurlah lagi, kasih/masih ada masa untuk bermimpi/tentang pantun nyanyian surga).
Bukan hanya struktur sajak Udo yang modern, isi sajak-sajaknya pun menceritakan hal-hal yang kontemporer, kehidupan rakyat kecil yang terpuruk, demonstrasi mahasiswa, pencemaran lingkungan, sempitnya lapangan kerja, penegakan hukum yang belum memuaskan, korupsi yang merajalela, dan para politisi yang tidak memikirkan rakyat.
Ada pula sajak-sajak yang merupakan komtemplasi kehidupan Udo sendiri, di samping sajak-sajak yang melukiskan jiwa resah yang ingin menggapai Sang Pencipta. Dengan kata lain, sajak-sajak Udo Z. Karzi benar-benar mencerminkan semangat zaman.
Ketika penulis resensi ini membacakan terjemahan beberapa sajak Udo Z. Karzi di hadapan Ajip Rosidi, secara spontan sastrawan kondang itu mengatakan, "Telah lahir Chairil Anwar-nya Lampung, meskipun agak terlambat!"
Tidak diragukan lagi, buku Udo Z. Karzi merupakan pelopor lahirnya sastra Lampung modern, sehingga sangat pantas memperoleh Hadiah Sastra Rancage tahun 2008 bagi sastra Lampung untuk pertama kalinya. Diharapkan buku ini mampu merangsang para sastrawan Lampung lain menulis karya-karya sastra dalam bahasa ibunya, bahasa Lampung.
n Irfan Anshory, Putra asli Tanggamus, Lampung, yang tinggal di Bandung
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 16 Februari 2008
Lihat juga: Hadiah Rancage untuk Sastra Lampung
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment