Oleh Hardi Hamzah*
"Kita harus berdamai dengan keadaan". Begitu Zainal Abidin Domba mengungkapkan keresahannya atas kondisi internal kehidupan sosok manusia.
WARAHAN. Seniman sastra tutur Lampung, Humaidi Abbas sedang membawakan warahan Cerita Labu Handak pada penutupan Liga Teater SLTA 2009 di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Kamis (19-11). (LAMPUNG POST/M. REZA)
PEMAIN teater yang penampilannya memukau ketika bermain dalam salah satu karya Arifin C. Noor itu agaknya benar. Namun, dalam konteks menumbuhkembangkan kebudayaan, sukar rasanya kita harus berdamai dengan keadaan. Karena elastisme kebudayaan yang terkadang terasa bagai jalan tak berujung menuntut kita untuk mengaktualisasikan titik masuk baru bagi kebudayaan itu sendiri.
Itulah sebabnya ketika membaca tulisan Ansyori Djausal (Konservasi Kebudayaan Lampung) pada harian ini, Sabtu, 31 Oktober 2009, yang kemudian disahuti Christian Heru Cahyo Saputro (Piil Pesenggiri: Semangat Kelampungan) pada Sabtu 14 November 2009, saya merasa perlu menuliskan esai ini. Bang An (panggilan Ansori Djausal, red) mengesankan memotivasi kita untuk "mengonservasi" kebudayaan. Sedangkan yang saya tangkap dari Heru lebih pada upaya mengkristal pada semangat institusi, yakni terbentuknya Lampungologi.
Dari dua tulisan di atas, secara makro, terus terang saya kecewa dengan Bang An. Kekecewaan itu muncul karena Bang An yang selama ini piawai dalam mengukir esensi kebudayaan dalam semangat nilai-nilai, ternyata tulisannya hanya bak lukisan berbingkai bagus, tetapi dalam kanvas yang kosong. Saya katakan demikian karena tak ada refleksi yang konkret, bagaimana kebudayaan Lampung harus diaktualisasikan bahkan ditawarkan secara universal dalam masyarakat yang multietnik dan yang notabene tidak berbahasa Lampung di Lampung.
Dalam kosakata yang amat umum, Bang An lebih melihat kebudayaan Lampung sebagai romantisme universal, historikal universal, dan warisan komprehensif ketimbang kebudayaan sebagai suatu pembentukan nilai terhadap kesamaan sikap dan perilaku yang pada gilirannya menjadi peradaban. Di sinilah mungkin titik lemah itu.
Sementara itu, Heru lebih melihat secara institusional. Pengamat pariwisata dan budaya ini, secara gamblang mengkritisi lembaga masyarakat adat Lampung (LMAL/MPAL) yang mestinya terkristal dalam sakralisasi, kenyataannya hanya menjadi instrumen politik. Yang cukup menarik bagi penulis, yakni ketika Heru mengusulkan adanya Lampungologi. Ini menarik, mengingat dalam struktur kelembagaan resmi elemen penting dari kebudayaan dapat dirangkum dalam struktur kelembagaan secara resmi. Namun, ini tentu saja menuntut kerja keras.
Kendati penulis tidak ingin masuk secara esensial, ya, katakanlah berpolemik dalam menyikapi dua tulisan yang telah muncul di harian ini, mengingat penulis sendiri "masih gamang", bahwa adakah kebudayaan Lampung itu sebenarnya. Selama ini kita hanya berbangga bahwa orang Lampung punya aksara; orang Lampung punya situs; orang Lampung punya berbagai unsur kebudayaan, tetapi penulis tidak melihat bahwa elemen kebudayaan itu terpadu dalam suatu kekuatan yang abash. Sederhananya, semua elemen yang ada hanya ornamen-ornamen yang terpisah, tak pernah menjadi mozaik.
Padahal, manakala kita bicara tentang kebudayaan, semestinya keberanian untuk menggugah cakrawala dan menyatukan unsur yang ada adalah entry point yang terpenting. Misalnya, di Lampung kita harus berbahasa Lampung, meski ini hampir musykil karena banyaknya jenis bahasa Lampung itu sendiri (?).
Nah, dalam kondisi kesederhanaan pengetahuan penulis tentang budaya Lampung, ternyata apa yang dikatakan oleh Zainal Abidin Domba, yaitu "Kita harus berdamai dengan keadaan", justru menjadi titik masuk strategis bagi aktualisasi budaya Lampung itu sendiri. Dengan kata lain, perwatin yang sakral itu diprofankan oleh seorang koruptor yang ingin mengambil gelar sultan. Semangat agem-agem lima pasal, kita singkirkan untuk memproyeksikannya ke dalam suatu proyek. Di sinilah kemudian tokoh-tokoh Lampung justru merampok unsur-unsur kebudayaan itu sendiri.
Kendati terasa klise, barangkali penulis ingin melihat esensi kenapa budaya Lampung terseret dalam arus global. Apakah kita yang sangat terbuka? Ataukah kita yang tidak mampu mentransformasikan agem-agem 5 pasal, atau agem-agem 5 pasal itu sendiri yang value free (bebas nilai), dus tidak value loaded (padat nilai).
Penulis mencoba membandingkan, norma-norma yang kita bangun lewatl agem-agem 5 pasal memang terlalu sarat nilai, di mana nilai itu terjebak dalam siklus globalisasi yang pragmatis. Agaknya komparasi antara agem-agem 5 pasal dan falsafah Jawa patut kita introdusir di sini.
Dalam prespektif agem-agem 5 pasal, piil pesenggiri di mana idiom yang mengharuskan kita menaikkan derajat cenderung deviasi karena bepiil bagi orang Lampung kebanyakan justru menaikkan gengsi (baca: persaingan antara materi). Nemui nyimah, yang kita sakralkan sebagai beramah-tamah terhadap pendatang justru kita kemudian membuka diri seluas-luasnya dan tak mampu lagi mempertahankan bahasa, kalau tidak ingin mengatakan, "Kita malu berbahasa Lampung".
Sedangkan, nengah nyeppur, hal mana prospeknya membangun akulturasi budaya dengan mengooptasi elemen-elemen lain. Dus, justru kita lebur dalam "kebudayaan lain" itu. Maka kita pun kehilangan arah. Bejuluk beadok, hanya bersemangat dalam masyarakat perdesaan. Kita berkutat pada pak, mas, abang, adik, dan sirnalah minak, daying, batin, dan sebagainya. Kalaupun ada, itu hanya bersifat internal an-sich.
Demikian pula dengan sakai sambayan. Ia menjadi jargon paling strategis bagi penguasa untuk mengajak bersama dalam proyek bersama dalam politik dan bergotong-royong dalam penindasan, setidaknya penindasan terhadap perwatin dan elemen turunannya.
Hal di atas memang tidak patut kita vonis secara frontal karena agem-agem 5 pasal lebih banyak berbicara normatif spiritual ketimbang fragmentasi konkret untuk menjawab siklus kemajuan zaman. Asumsi ini penulis tawarkan bila kita bandingkan dengan falsafah Jawa yang lebih pragmatis.
Sebagai salah satu contoh, dalam falsafah Jawa yang sering kita dengar dalam mocopat-mocopat-nya, terdapat juga agem-agem 5 pasal itu. Semisal, sosok laki-laki Jawa, mereka harus mempunyai kutilo (alat kelamin/ilmu), tanpa kutilo mereka tidak absah menjadi laki-laki. Setelah mempunyai kutilo, mereka didaulat untuk mengaktualkan eksistensinya dalam makaryo (pekerjaan).
Kemudian, laki-laki Jawa secara pragmatis juga dituntut harus mempunyai wismo (rumah). Berikutnya, barulah mereka ditasbihkan bisa mempunyai garwo (istri), yang pada gilirannya mereka baru absah bisa mendapatkan turonggo atau tumpakan (kuda/mobil).
Mengapa saya mengomparasikan dua nilai di atas? Penulis ingin mengatakan bahwa kebudayaan Jawa lebih konkret. Dengan semangat konkret itu pula mereka mampu bermain dalam ranah di berbagai siklus, apakah itu globalisasi, liberalisasi, dan berbagai aspek lain yang pada gilirannya membangun peradaban.
Sementara dalam agem-agem 5 pasal, masyarakat Lampung yang sarat nilai justru "berdamai dengan keadaan". Budaya Lampung terjebak dalam kerangka jeratan hedonisme masyarakat Lampung yang terbuka dan consumer. Inilah yang kemudian menggeser setting kebudayaan Lampung menjadi ke arah yang sangat deviatif, selain kita pun patut jujur, bahwa di Lampung yang ada hanya ornamen secara fakta. Pun kita tidak mempunyai situs-situs konkret yang menandai bahwa Lampung itu besar. Lalu, apa yang kita harapkan dalam budaya Lampung kalau kita sendiri sudah menjadi sangat profan dalam menyikapi elemen sakral yang ada? Atau memang budaya Lampung itu sudah tidak ada, tergeser oleh arus dan debur ombak kebudayaan lokal dan regional? Atau kita telah celaka ditabrak oleh para elite politik yang menjadikan budaya Lampung hanya sebagai instrumen? Ini memang pesimistis. Kalau tidak pesimistis, dari mana kita mendatangkan optimistis untuk membangun budaya Lampung yang unsur mozaiknya kita hancurkan sendiri?
* Hardi Hamzah, peneliti Madya pada Institute for Studies and Consultation of Social Sciences (INSCISS)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 22 November 2009
salam kenal,bukan hanya terlalu terbuka dalam tapi Lampung itu sudah seperti daerah tak bertuan. contoh mudah: tidak ada pembatasan apa2 terhadap masyarakat Bali (atau pulau lain) yang pindah ke Lampung sementara di Bali sendiri orang non-Bali sangat dibatasi, kalau tidak dibilang tidak mungkin, menjadi penduduk tetap.
ReplyDeletepandangan kurang tepat klo menurut saya, apakah orang jakarta melarang orang lampung untuk menetap dijakarta?apakah orang bandung melarang orang lampung tinggal menetap di bandung?
ReplyDeletemungkin itu terlalu sempit melihat contoh kasus Bali, silahkan adukan hal tersebut ke negara tentunya kenapa Bali statusnya spesial seperti itu?
JAngan Salahkan budaya Luar yang telah menggerus habis sakralitas budaya LAmpung,Berkaca dirilah mengapa Tugu Monas lebih familiar di Laampung ketimbang Monumen Siger?
ReplyDelete