Oleh A Tomy Trinugroho
SECARIK guntingan koran yang memuat berita keberhasilan lifter Eko Yuli Irawan terpasang di dinding. Foto Eko sedang mengangkat barbel ada dalam guntingan koran itu. Di dekatnya, rak kayu butut berdiri kokoh, disesaki sederetan sepatu bekas yang kusam.
Yon Haryono (KOMPAS/A TOMY TRINUGROHO)
Saya memasang foto ini supaya anak-anak terpacu. Kalau ingin seperti Eko, mereka harus latihan,” kata Yon Haryono, pemilik sasana angkat besi di Metro, kota kecil di Lampung.
Sasana milik Yon sangat bersahaja. Berdinding kayu, sasana itu menempel di samping rumah Yon. Tak ada barang baru di dalam sasana, semuanya bekas.
Dengan fasilitas seadanya, Yon gigih melatih anak-anak yang datang ke sasana. Ada 25 anak usia sekolah dasar yang rutin berlatih tiga-lima kali seminggu. Tanpa dipungut bayaran, anak-anak bebas berlatih sesuai program yang disusun Yon.
Profesi orangtua anak-anak itu antara lain tukang batu dan petani. Mereka tinggal tak jauh dari rumah Yon. ”Tidak ada bantuan sama sekali. Ini betul-betul pekerjaan sukarela. Saya ingin nasib mereka berubah,” kata Yon.
Yon, yang mencari nafkah dari usaha penggilingan padi, berambisi menemukan ”Eko baru” dan ”Triyatno baru”. Ambisi ini menjadi sumber utama kegairahan dia melatih anak-anak di tengah kondisi seadanya.
Ambisi Yon bukan ambisi kosong yang tidak realistis. Hampir satu dekade lalu ia melakukan hal serupa, mengumpulkan anak-anak berusia sekolah dasar di Metro dan mengenalkan mereka kepada olahraga angkat besi. Dua di antara mereka adalah Eko dan Triyatno.
Delapan tahun setelah Yon memperkenalkan olahraga angkat besi untuk pertama kalinya, Eko dan Triyatno mengharumkan nama Indonesia dengan merebut medali perunggu Olimpiade Beijing 2008. Eko waktu itu mendapatkannya dari kelas 56 kilogram, sedangkan Triyatno dari kelas 62 kilogram.
Joko Buntoro
Yon tertarik dunia angkat besi karena sosok almarhum Joko Buntoro, tetangganya. Suatu hari Joko Buntoro pulang dari pemusatan latihan nasional (pelatnas) angkat besi di Jakarta dengan memakai jaket.
Joko Buntoro tampak gagah dengan jaket itu. Joko lantas bercerita kepada Yon tentang enaknya menjadi atlet angkat besi karena bisa jalan-jalan ke luar negeri.
Yon lantas bergabung dengan sasana angkat besi Gajah Lampung pada 1981, atau saat dia duduk di kelas V SD. Yon cilik ingin seperti Joko yang memakai jaket pelatnas dan jalan-jalan ke negeri orang.
Gajah Lampung terkenal di Pringsewu. Sasana atau pedepokan ini dikelola Imron Rosyadi, nama besar dalam kancah angkat besi Indonesia. Didirikan pada 1960-an, Gajah Lampung terus eksis, bahkan kini memiliki asrama bagi puluhan lifter binaannya.
Setelah satu tahun berada di bawah gemblengan Imron yang sangat keras, Yon merebut perak untuk semua kategori angkatan (snatch, clean and jerk, serta total) dalam kejurnas remaja yunior. Pada 1983 Yon hijrah ke Jakarta karena mendapat beasiswa bersekolah sembari latihan di SMP Ragunan, sekolah khusus atlet.
Saat duduk di SMA Ragunan, Yon bergabung dengan pelatnas persiapan Olimpiade Seoul 1988. Turun di kelas 56 kilogram, Yon menempati urutan ke-12. Pada 1988 ia juga menjajal kejuaraan dunia dan mendapati dirinya berada di peringkat ketujuh.
Dalam persiapan mengikuti Olimpiade 1988, Yon ditangani pelatih Polandia, Waldemar Basanovsky, selama dua tahun. Ia mendapat pelajaran berharga yang kelak berguna dalam pelatihan angkat besi untuk anak-anak, yakni metode snatch on the box. Dengan metode ini, anak-anak berlatih angkatan snatch memakai kotak penyangga sehingga mereka fokus terhadap teknik mengangkat barbel secepat mungkin dari posisi lutut ke pangkal paha.
”Saya lihat tidak ada daerah lain yang menerapkan metode latihan ini untuk anak-anak,” katanya.
Yon lalu ditangani pelatih China, Huang. Darinya, ia mendapatkan pelajaran berharga berupa metode latihan untuk meningkatkan kemampuan tenaga (power). Jadi, dari Basanovsky dan Huang, Yon memperoleh metode efektif gabungan untuk latihan teknik dan latihan peningkatan tenaga bagi anak-anak.
Pada 1991 Yon mengalami cedera saat mengikuti kejurnas senior. Tulang siku tangan kirinya lepas. Selama 1991 ia tidak berlatih. Yon baru berlatih lagi tahun 1992 dibimbing Imron.
Setahun kemudian Yon mendapat panggilan bergabung dengan pelatnas SEA Games 1993. Ia menolak. Ia memilih berkonsentrasi mengikuti PON 1993 agar bisa menyumbangkan emas bagi Lampung. Meski Imron menasihatinya agar tak bertanding, Yon ngotot.
Ia mengikuti PON 1993 di kelas 59 kilogram. Saat Yon melakukan angkatan snatch 110 kilogram guna memburu emas, cederanya kambuh. Ia gagal menyumbangkan medali. Inilah pertandingan angkat besi terakhir yang diikutinya sebagai atlet. Setahun kemudian Yon menikah.
Tak bertindak keras
Tahun 1999 ide membuka tempat latihan muncul di kepalanya. Yon mencari peralatan awal pada 2000. Joko Buntoro membantunya dengan menghibahkan sejumlah besi dan barbel. Persiapan semakin lancar karena Yon menemukan pihak yang bersedia menjadi penyandang dana, yaitu Pengurus Daerah Persatuan Angkat Besi, Angkat Berat, dan Binaraga Seluruh Indonesia (Pabbsi) Kalimantan Selatan. Ketua Pengda Pabbsi Kalimantan Selatan kala itu adalah Karli Hanafi.
Pada Februari 2000 peserta sasana milik Yon berdatangan. Ada sembilan anak yang bertahan berlatih di sasananya. Dua di antaranya Eko dan Triyatno. Satu orang lagi, Edi Kurniawan, kelak juga menjadi lifter nasional peraih emas SEA Games dan ikut dalam Olimpiade 2008.
”Saya memotivasi mereka, dengan menjadi atlet angkat besi bisa jalan-jalan ke negeri yang jauh,” kenangnya.
Yon mengontrak rumah sederhana di Metro sebagai tempat berlatih. Tak berapa lama, ia pindah ke rumah kontrakan lain. Setidaknya dua kali ia berganti rumah kontrakan. Eko dan Triyatno ikut bersamanya, tinggal satu atap dengan Yon dan keluarga.
Yon sedapat mungkin menerapkan metode latihan yang efektif untuk anak-anak. Ia tak mau bertindak keras terhadap anak asuhnya. Mereka memanggil Yon dengan sebutan Mas.
Pada 2001 atau setahun setelah dilatih Yon, Eko dan kawan-kawan mengikuti Kejurnas Remaja Yunior di Indramayu, Jawa Barat, dengan mengusung bendera Kalimantan Selatan, bukan Lampung. Mereka berhasil mendulang lima emas.
Akhir 2002 Eko dan kawan-kawan meninggalkan Lampung. Kepergian Eko dan kawan-kawan tak membuat Yon patah arang. Ia tetap mencintai angkat besi. Sekitar sebulan sekali Yon naik motor bebek dari Metro ke Pringsewu yang berjarak 70-an kilometer selama dua jam, untuk membantu melatih anak-anak di pedepokan Gajah Lampung.
Ia juga tetap berupaya menggelar latihan di sasananya sendiri walau kondisinya sangat bersahaja. Mengandalkan peralatan bekas dan secarik guntingan koran yang memuat foto Eko, Yon terus berjuang untuk menghasilkan lifter muda yang pada masa depan diharapkan dapat mengharumkan nama bangsa.
YON HARYONO
• Lahir: Pringsewu, Lampung, 16 Februari 1969
• Istri: Yati (35)
• Anak:
- Yolanda Haryono (14)
- Yordan Haryono (11)
- Yosefi Haryono (3)
Sumber: Kompas, Senin, 30 November 2009
No comments:
Post a Comment