SETIAP menjelang peringatan Hari Pahlawan 10 November, pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada sejumlah warga negara yang dinilai berjasa besar kepada negara. Namun, pemberian anugerah itu sering menimbulkan pro-kontra dengan sejumlah alasan yang dimiliki masing-masing pihak.
Namun, rakyat setuju atau tidak, ada pro maupun kontra dalam penganugerahan gelar pahlawan nasional, keputusan pemerintah tidak akan berubah. Artinya, gelar pahlawan nasional tetap akan diberikan.
Memang pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk pejuang tidak selalu mulus. Misalnya pemberian gelar pahlawan nasional untuk Bung Tomo, tokoh yang menggelorakan arek-arek Suroboyo dalam perang melawan tentara Inggris berkal-kali mentok. Akhirnya, Bung Tomo baru mendapat gelar pahlawan nasional pada November 2008. Mantan Presiden Soeharto dan mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid juga termasuk tokoh yang tidak mulus untuk mendapatkan gelar pahlawan.
Jika diliat dari perspektif tinjauan sejarah kritis, harus ada penelitian untuk menilai seorang tokoh layak diusulkan menjadi pahlawan nasional. Di sisi lain, sejak beberapa tahun terakhir juga muncul sejumlah gugatan terhadap definisi kata pahlawan nasional.
Para penggugat itu mempertanyakan nasionalisme sejumlah nama pahlawan nasional yang hanya berjuang di area lokal. Misalnya adalah Pangeran Diponegoro yang hanya berjuang di wilayah Jawa Tengah, Tuanku Imam Bonjol yang perjuangan sebatas Sumatera Barat.
Dengan logika bahwa nasionalisme Indonesia muncul pada pada tahun 1920-an dan dideklarasikan pada 28 Oktober 1928, para penggugat mengusulkan agar definisi pahlawan nasional seharusnya acuannya adalah sosok yang berjuang karena nasionalisme Indonesia. Dan itu garisnya harus ditarik mulai tahun 1928.
Tentang pahlawan, Sidney Hook dalam buku The Hero in History (1999) membedakan antara eventfulman dan event-makingman. Yang pertama adalah orang yang terlibat dalam suatu peristiwa, sedangkan yang kedua adalah orang yang membuat peristiwa.
Dalam konteks ini, bisa saja seorang tokoh beruntung karena berada pada posisi dan waktu yang tepat mengambil keputusan yang berdampak besar bagi masyarakat luas. Figur dalam kelompok kedua adalah orang yang mampu mengendalikan dan negara. Gelar itu bisa juga diberikan untuk seseorang yang semasa peristiwa, bahkan mengarahkan masyarakat sesuai dengan tujuan yang diinginkannya.
Pengertian yang diajukan Sidney Hook ini agaknya bisa dijadikan acuan jika kita ingin memperdebatkan tentang definisi pahlawan. Pahlawan, dalam terminologi Hook, tidak harus mengacu pada orang yang memikul senjata untuk berperang melawan penjajah atau mempertahankan Tanah Air.
Pendapat Hook itu sebenarnya selaras juga dengan Peraturan Presiden No.33/1964 Pasal 1, yang menyebutkan bahwa pahlawan sebagai warga negara Republik Indonesia yang gugur atau tewas atau meninggal dunia akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai jasa perjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela negara dan bangsa.
Pahlawan, menurut Perpres tersebut, juga terdiri dari warga negara Indonesia yang masih diridai dalam keadaan hidup sesudah melakukan tindak kepahlawanannya yang cukup membuktikan jasa pengorbanan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela negara dan bangsa dan yang dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda suatu tindak atau perbuatan yang menyebabkan menjadi cacat nilai perjuangan dan kepahlawanannya.
Pemberian gelar pahlawan diatur dalam Undang-Undang Nomor 20/2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Menurut undang-undang tersebut, seseorang dikatakan sebagai pahlawan apabila mendapat penghargaan gelar pahlawan dari presiden.
Pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajah yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa hidupnya, melakukan tindakan kepahlawanan, atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa.
Pemberian gelar pahlawan nasional tidak sembarang tunjuk atau sembarang usul. Diperlukan suatu tata cara pengajuan dan persyaratan lain yang harus dipenuhi si calon pahlawan sesuai dengan undang-undang. Menurut Pasal 24—26 undang-undang tersebut, seseorang harus memenuhi persyaratan umum dan khusus untuk mendapat gelar pahlawan. Syarat umumnya, seorang calon pahlawan haruslah warga negara Indonesia (WNI) atau seseorang yang berjuang di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang juga memiliki integritas moral dan keteladanan.
Calon pahlawan juga harus setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara, berkelakuan baik, dan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan atau diancam pidana penjara di atas lima tahun.
Sejarawan Asvi Marwan Adam mengatakan meskipun hukuman pidana akan luntur jika seseorang telah meninggal dunia, dia tetap saja tidak dapat diajukan sebagai calon pahlawan. “Kalau dalam undang-undang ya tidak, kan kalau meninggal pidananya akan hilang, kecuali perdata yang tetap berlaku. Tapi bagaimana pun, mantan napi tidak dapat dijadikan teladan. Dengan pemikiran ini, berarti seseorang yang akan diberi gelar pahlawan seharusnya tidak memiliki catatan sejarah kehidupan buruk yang menyebabkan haknya untuk mendapatkan gelar pahlawan gugur secara otomatis.
Adapun syarat khusus yang harus dipenuhi calon pahlawan adalah selama masa hidupnya dia pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, perjuangan politik, atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.
Selain itu, dia pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara serta pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Selain sejumlah syarat yang harus dipenuhi, ada beberapa tahapan pengajuan gelar pahlawan yang harus dijalani. Idealnya, mekanisme pengusulan harus berasal dari bawah, yakni dari daerah tingkat II (kabupaten/kota), kemudian ke daerah tingkat I (provinsi), lalu disampaikan kepada Departeman Sosial yang akan menyerahkan usulan kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dewan inilah yang nantinya akan menyampaikan usulan dan pertimbangan kepada presiden.
Sesuai ketentuan, Dewan Gelar diusulkan oleh menteri sosial dan diangkat oleh presiden. Anggota Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan tersebut terdiri dari tujuh orang yang berasal dari dua orang kalangan akademisi, tiga orang kalangan militer, dan tiga orang tokoh masyarakat yang pernah mendapatkan tanda jasa dan/atau tanda kehormatan.
Pahlawan Lampung
Dengan alur pemberian gelar tanda jasa seperti itu, Pemkab/Kota dan Pemerintah Provinsi Lampung juga bisa berperan untuk mengusulkan warga Lampung yang berjasa besar kepada negara untuk memperoleh gelar pahlawan. Lebih spesifik lagi, bahkan Pemerintah Provinsi Lampung juga bisa memberikan anugerah pahlawan Lampung atau gelar tokoh Lampung untuk warga Lampung yang berjasa besar terhadap Lampung.
Provinsi Lampung belum memiliki peraturan daerah atau peraturan gubernur mengenai gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan. Akibatnya, upaya mengangkat tokoh dan kepahlawanan daerah Provinsi Lampung belum bisa operasional karena belum memiliki landasan hukum yang dekat.
Landasan hukum ini idealnya memuat kriteria, syarat, prosedur, riset, publikasi, sosialisasi, uji publik, partisipasi, pengawasan, penghormatan dan penghargaan terhadap tokoh serta pahlawan daerah, dan adanya akuntabilitas.
Provinsi Lampung belum menetapkan dan mengangkat tim kerja berupa Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Provinsi Lampung belum menetapkan dan mengangkat tim peneliti calon penerima gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan untuk kategori penghargaan tingkat provinsi dan nasional. Ketiadaan kedua tim ini menyebabkan rendahnya/tiadanya usulan calon-calon tokoh Lampung penerima gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan, baik untuk penghargaan di tingkat Lampung maupun nasional.
Kurangnya kesadaran akan pentingnya tokoh dan pahlawan daerah. Padahal, tokoh atau pahlawan merupakan sosok teladan yang bisa menginspirasi dan memotivasi generasi penerus. Tokoh atau pahlawan daerah merupakan simbol yang bisa menjadi modal sosial menggerakan roda pembangunan di daerah.
Kriteria, batasan, dan ruang lingkup tokoh dan pahlawan daerah di tingkat Lampung belum dibicarakan bersama melibatkan unsur-unsur terkait. Kriteria yang sering dipakai adalah kriteria di level UU dan PP yang cenderung membatasi ruang lingkup wilayah dan waktu, serta kecenderungan aktor-aktor militer saja yang menjadi pahlawan atau penerima penghargaan.
Taman makam pahlawan di kabupaten kota dan provinsi di Lampung lebih dominan dipergunakan sebagai tempat pemakaman tokoh-tokoh militer ketimbang tokoh-tokoh sipil. Hal ini berakar dari penafsiran sempit terhadap regulasi nasional (UU dan PP) tentang gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.
Pahlawan Baru
Berdasar pemikiran tentang definisi, syarat, dan aturan pemberian gelar pahlawan nasional itu, digelar Sarasehan Pahlawan dan Tokoh Lampung. Kegiatan itu untuk mengidentifikasi pokok pikiran tentang pahlawan dan tokoh Lampung, mengeksplorasi definisi dan syarat-syarat pahlawan Lampung.
Selain itu, juga perlu didorong terbentuknya Dewan Gelar Pahlawan untuk tingkat Provinsi Lampung, sekaligus mengidentifikasi persoalan dan mencarikan solusi terkait dengan taman makam pahlawan serta penghargaan terhadap tokoh dan pejuang Lampung. (D-2)
Sumber: Lampung Post, Kamis, 17 November 2011 06:14
No comments:
Post a Comment