BANDAR LAMPUNG (Lampost): Karya-karya Hanna Fransisca berhasil menyingkap hal-hal yang minor, terutama dari etnik Tionghoa. Hal-hal yang justru tersimpan rapat dan jarang diungkap penyair perempuan lain justru dibongkar habis oleh Hanna.
Penyair dan sutradara Teater Satu, Iswadi Pratama, mengatakan hal itu dalam pidatonya saat roadshow tiga buku Hanna Fransisca di Taman Budaya Lampung (TBL), Kamis (6-9). Tiga buku Hanna tersebut adalah Benih Kayu Dewa Dapur (kumpulan puisi), Kawan Tidur (naskah lakon), dan Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina (kumpulan cerpen). Dalam kesempatan itu pula tampil musikalisasi puisi, pembacaan puisi dan cerpen, dan pembacaan dramatik karya-karya Hanna Fransisca.
Menurut Iswadi, Hanna mampu mengangkat kembali tradisi dalam karyanya untuk diramu menjadi puisi, cerpen, dan juga lakon yang menarik. "Kultur Tionghoa yang ditulis Hanna terasa sangat humanis mengingat selama ini bagaimana etnis ini sering dimarginalkan dan mendapat perlakuan yang tidak adil di negeri ini," ujarnya.
Dalam pandangan Iswadi, sastrawan kelahiran Singkawang, 33 tahun silam ini berhasil menemukan gaya ungkapnya sendiri. "Kalau penyair perempuan lain masih berasyik-asyik dengan dunianya sendiri, Hanna tampil dengan sesuatu yang berbeda. Kalau bicara bunga biasanya yang ditulis bunga melati atau bunga mawar, tetapi Hanna bicara tentang bunga yang lain," kata Iswadi.
Sama dengan puisi, cerpen-cerpen Hanna juga mempunyai daya ungkap yang khas. Cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina, misalnya, sangat menarik karena Hanna yang juga seorang pengusaha di Jakarta, justru mengambil setting Lampung. "Kalaulah itu dilakukan cerpenis Lampung, enggak heran. Tapi Hanna kan orang yang sibuk, sempat-sempatnya melakukan riset di Lampung untuk karyanya."
Sayangnya, kata Iswadi, dalam cerpen itu ada beberapa logika yang mengganggu. "Saya melihat agaknya datanya belum matang diolah, sehingga kurang logis. Atau bisa jadi karena Hanna terlalu asyik membuat cerpennya puitik, sehingga melupakan narasi," kata Iswadi.
Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia), selain menulis puisi, juga menulis cerpen dan naskah drama. Puisi dan cerpennya dimuat di berbagai media, antara lain Kompas, Koran Tempo dan Suara Merdeka. Sebelumnya, ia telah menerbitkan kumpulan puisi Konde Penyair Han (2010) yang menjadi Buku Sastra Terbaik pilihan Tempo 2010. Cerpen-cerpennya bisa ditemukan dalam antologi Kolecer & Hari Raya Hantu (2010).
Pengusaha bidang otomotif ini selain bersastra juga aktif di kegiatan sosial, seperti Lions Club Jakarta Kalbar Prima. Bahkan, ia juga bermain teater. Belum lama ini ia menjadi salah satu pemain pada pentas teater-puisi Kapal Penyeberangan Hukla, Leon Agusta. (UZK/K-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 September 2012
Penyair dan sutradara Teater Satu, Iswadi Pratama, mengatakan hal itu dalam pidatonya saat roadshow tiga buku Hanna Fransisca di Taman Budaya Lampung (TBL), Kamis (6-9). Tiga buku Hanna tersebut adalah Benih Kayu Dewa Dapur (kumpulan puisi), Kawan Tidur (naskah lakon), dan Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina (kumpulan cerpen). Dalam kesempatan itu pula tampil musikalisasi puisi, pembacaan puisi dan cerpen, dan pembacaan dramatik karya-karya Hanna Fransisca.
Menurut Iswadi, Hanna mampu mengangkat kembali tradisi dalam karyanya untuk diramu menjadi puisi, cerpen, dan juga lakon yang menarik. "Kultur Tionghoa yang ditulis Hanna terasa sangat humanis mengingat selama ini bagaimana etnis ini sering dimarginalkan dan mendapat perlakuan yang tidak adil di negeri ini," ujarnya.
Dalam pandangan Iswadi, sastrawan kelahiran Singkawang, 33 tahun silam ini berhasil menemukan gaya ungkapnya sendiri. "Kalau penyair perempuan lain masih berasyik-asyik dengan dunianya sendiri, Hanna tampil dengan sesuatu yang berbeda. Kalau bicara bunga biasanya yang ditulis bunga melati atau bunga mawar, tetapi Hanna bicara tentang bunga yang lain," kata Iswadi.
Sama dengan puisi, cerpen-cerpen Hanna juga mempunyai daya ungkap yang khas. Cerpen Sulaiman Pergi ke Tanjung Cina, misalnya, sangat menarik karena Hanna yang juga seorang pengusaha di Jakarta, justru mengambil setting Lampung. "Kalaulah itu dilakukan cerpenis Lampung, enggak heran. Tapi Hanna kan orang yang sibuk, sempat-sempatnya melakukan riset di Lampung untuk karyanya."
Sayangnya, kata Iswadi, dalam cerpen itu ada beberapa logika yang mengganggu. "Saya melihat agaknya datanya belum matang diolah, sehingga kurang logis. Atau bisa jadi karena Hanna terlalu asyik membuat cerpennya puitik, sehingga melupakan narasi," kata Iswadi.
Hanna Fransisca (Zhu Yong Xia), selain menulis puisi, juga menulis cerpen dan naskah drama. Puisi dan cerpennya dimuat di berbagai media, antara lain Kompas, Koran Tempo dan Suara Merdeka. Sebelumnya, ia telah menerbitkan kumpulan puisi Konde Penyair Han (2010) yang menjadi Buku Sastra Terbaik pilihan Tempo 2010. Cerpen-cerpennya bisa ditemukan dalam antologi Kolecer & Hari Raya Hantu (2010).
Pengusaha bidang otomotif ini selain bersastra juga aktif di kegiatan sosial, seperti Lions Club Jakarta Kalbar Prima. Bahkan, ia juga bermain teater. Belum lama ini ia menjadi salah satu pemain pada pentas teater-puisi Kapal Penyeberangan Hukla, Leon Agusta. (UZK/K-2)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 8 September 2012
No comments:
Post a Comment