Oleh Meza Swastika
Pemerintah tak berdaya bersikap tegas agar mendapat pemasukan daerah dari pengelolaan pantai itu. "Seribu perak pun tak ada yang masuk ke kas daerah."
SODIKAN masih ingat betul letak pondokan tempatnya berjualan sekaligus tinggal di Pantai Mutun. Sejak awal 2000, ia bersama beberapa orang lainnya mengubah nasib, dari kuli panggul di TPI Lempasing menjadi pedagang makanan ringan di sekitar Pantai Mutun.
"Dulu masih belum ramai seperti sekarang. Malah pengunjung kadang kucing-kucingan masuk lewat pantai agar tak perlu membayar. Dagangan saya juga kadang laku kadang enggak," ujarnya mengenang.
Sembari nyambi berdagang yang penghasilannya tak menentu, ia kerap ikut rekannya mencari ikan ke laut untuk menambal kebutuhan atau mencari kelapa muda untuk dijual.
Tahun 2007, saat Pantai Mutun mulai ramai dan Sodikin beserta 150 warga lainnya merasakan nikmatnya berjualan, tiba-tiba datang Muchtar Sani. Pengusaha lokal itu mengklaim sebagai pemilik Pantai Mutun dan mulai melirik pantai ini. Warga pun mulai resah, status mereka yang hanya menumpang mulai diusik.
Konflik mulai muncul. Di pengujung 2009, sekitar 150 warga ini dimintai tanda tangan yang diakui mereka sebagai upaya untuk mengusir mereka. "Waktu itu kami dimintai tanda tangan, katanya untuk persetujuan bagi hasil pengelolaan pondok yang ada di Pantai Mutun. Tetapi, ternyata surat itu berisi persetujuan pembongkaran pondok-pondok milik kami," ujar Sodikin yang sempat mengadu ke DPRD Pesawaran pada 2010.
Kini, total pengelolaan Pantai Mutun dikuasai sepenuhnya oleh Muchtar Sani. Sodikin bersama ratusan warga lainnya tersisih dan hanya bisa tinggal di gubuk-gubuk kecil di dekat pantai dengan tetap berjualan. "Yah, sekarang cuma bisa ngeliat dari luar, jualan juga sekadarnya".
Pantai Mutun kini menjadi salah satu objek wisata favorit di Lampung. Setiap akhir pekan, tempat ini selalu dijejali ribuan pengunjung. Belum lagi saat menjelang pergantian tahun atau hari raya, tempat ini menjadi penyumbang kemacetan paling parah, karena semua kendaraan menuju ke satu titik, Pantai Mutun.
Namun, model pengelolaan Pantai Mutun dikritisi oleh Herza Yulianto dari Mitra Bentala. Menurutnya, tak selayaknya pantai dipagari secara permanen dengan tembok-tembok pagar yang tinggi. "Pantai itu akses publik, siapa pun boleh masuk ke pantai itu."
Ia juga melihat rusaknya ekosistem pantai akibat pengelolaan wisata yang dilakukan secara sporadis tanpa mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan. "Pemerintah seharusnya melihat perizinannya."
Menurutnya, pengelolaan objek wisata secara pribadi harus dievaluasi kembai. Pemanfaatan sumber daya alam laut sebagai objek wisata memang diperbolehkan, tetapi harus juga memperhatikan kondisi lingkungannya.
"Pantai itu kawasan lindung, pengelolaannya harus memperhatikan ekosistem, tidak boleh melakukan perusakan seperti mereklamasi atau membabat hutan mangrove," ujar Herza Yulianto yang bersama Mitra Bentala berhasil mengelola Pulau Puhawang sebagai lokasi ekowisata dengan memberdayakan masyarakat yang tinggal di pulau tersebut.
Selama ini ia melihat para pemilik objek wisata itu juga tak berkontribusi terhadap daerah. Semua pendapatan mulai dari tiket masuk hingga penyewaan pondok masuk kantong pribadi pemilik. "Masyarakat sekitar juga tidak diberdayakan."
Kabid Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pesawaran Suhanda yang dihubungi melalui telepon pun mengakui tak sepeser pun pemerintah memperoleh pendapatan dari pengelolaan Pantai Mutun. "Tiket masuk dan sewa pondok semuanya tidak ada yang disetor sebagai pendapatan daerah," kata Suhanda.
Pemerintah, lanjut Suhanda, tak berdaya untuk bersikap tegas agar mendapat pemasukan daerah dari pengelolaan pantai itu. "Seribu perak pun tak ada yang masuk ke kas daerah."
Ketiadaan peraturan daerah yang mengatur secara khusus tentang pungutan seperti retribusi di objek wisata serta tidak kooperatifnya pengelola membuat pemerintah hanya bisa diam saja melihat pengelola itu meraih keuntungan dari objek wisata tersebut.
Pemilik Pantai Mutun, Muchtar Sani, yang dicoba dimintai tanggapannya, tidak berhasil dihubungi. Pesan singkat permintaan wawancara pun tak mendapat tanggapan.
Di tempat lain, Kabid Destinasi Wisata dan ODTW Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Ulida menyebut tugas dinas hanya melakukan pembinaan dan menarik minat wisatawan untuk mau datang ke Lampung.
Namun, menurut Yaman Aziz, ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), pembinaan yang dilakukan oleh dinas masih nihil. Buktinya pengelolaan objek wisata terkesan semaunya.
Selama ini, ia melihat dari sisi pendapatan (revenue) objek wisata yang dikelola individu terkesan asal-asalan. Orientasi yang ada di benak pengelola adalah bagaimana mendapatkan banyak pendapatan dari objek wisata itu. "Yang penting duit masuk, mereka tidak peduli mau bersih atau tidak, lantas di mana pembinaan yang sudah dilakukan oleh dinasnya," kata Yaman Aziz.
Dampak dari pelayanan yang buruk, fasilitas yang asal-asalan, serta pengelolaan yang tak mengindahkan lingkungan ekosistem bagi wisatawan yang berkunjung adalah rendahnya tingkat kepuasan wisatawan. (M1)
mezaswastika@lampungpost.com
Lampung Post, Minggu, 1 Desember 2013
Pemerintah tak berdaya bersikap tegas agar mendapat pemasukan daerah dari pengelolaan pantai itu. "Seribu perak pun tak ada yang masuk ke kas daerah."
SODIKAN masih ingat betul letak pondokan tempatnya berjualan sekaligus tinggal di Pantai Mutun. Sejak awal 2000, ia bersama beberapa orang lainnya mengubah nasib, dari kuli panggul di TPI Lempasing menjadi pedagang makanan ringan di sekitar Pantai Mutun.
"Dulu masih belum ramai seperti sekarang. Malah pengunjung kadang kucing-kucingan masuk lewat pantai agar tak perlu membayar. Dagangan saya juga kadang laku kadang enggak," ujarnya mengenang.
Sembari nyambi berdagang yang penghasilannya tak menentu, ia kerap ikut rekannya mencari ikan ke laut untuk menambal kebutuhan atau mencari kelapa muda untuk dijual.
Tahun 2007, saat Pantai Mutun mulai ramai dan Sodikin beserta 150 warga lainnya merasakan nikmatnya berjualan, tiba-tiba datang Muchtar Sani. Pengusaha lokal itu mengklaim sebagai pemilik Pantai Mutun dan mulai melirik pantai ini. Warga pun mulai resah, status mereka yang hanya menumpang mulai diusik.
Konflik mulai muncul. Di pengujung 2009, sekitar 150 warga ini dimintai tanda tangan yang diakui mereka sebagai upaya untuk mengusir mereka. "Waktu itu kami dimintai tanda tangan, katanya untuk persetujuan bagi hasil pengelolaan pondok yang ada di Pantai Mutun. Tetapi, ternyata surat itu berisi persetujuan pembongkaran pondok-pondok milik kami," ujar Sodikin yang sempat mengadu ke DPRD Pesawaran pada 2010.
Kini, total pengelolaan Pantai Mutun dikuasai sepenuhnya oleh Muchtar Sani. Sodikin bersama ratusan warga lainnya tersisih dan hanya bisa tinggal di gubuk-gubuk kecil di dekat pantai dengan tetap berjualan. "Yah, sekarang cuma bisa ngeliat dari luar, jualan juga sekadarnya".
Pantai Mutun kini menjadi salah satu objek wisata favorit di Lampung. Setiap akhir pekan, tempat ini selalu dijejali ribuan pengunjung. Belum lagi saat menjelang pergantian tahun atau hari raya, tempat ini menjadi penyumbang kemacetan paling parah, karena semua kendaraan menuju ke satu titik, Pantai Mutun.
Namun, model pengelolaan Pantai Mutun dikritisi oleh Herza Yulianto dari Mitra Bentala. Menurutnya, tak selayaknya pantai dipagari secara permanen dengan tembok-tembok pagar yang tinggi. "Pantai itu akses publik, siapa pun boleh masuk ke pantai itu."
Ia juga melihat rusaknya ekosistem pantai akibat pengelolaan wisata yang dilakukan secara sporadis tanpa mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan. "Pemerintah seharusnya melihat perizinannya."
Menurutnya, pengelolaan objek wisata secara pribadi harus dievaluasi kembai. Pemanfaatan sumber daya alam laut sebagai objek wisata memang diperbolehkan, tetapi harus juga memperhatikan kondisi lingkungannya.
"Pantai itu kawasan lindung, pengelolaannya harus memperhatikan ekosistem, tidak boleh melakukan perusakan seperti mereklamasi atau membabat hutan mangrove," ujar Herza Yulianto yang bersama Mitra Bentala berhasil mengelola Pulau Puhawang sebagai lokasi ekowisata dengan memberdayakan masyarakat yang tinggal di pulau tersebut.
Selama ini ia melihat para pemilik objek wisata itu juga tak berkontribusi terhadap daerah. Semua pendapatan mulai dari tiket masuk hingga penyewaan pondok masuk kantong pribadi pemilik. "Masyarakat sekitar juga tidak diberdayakan."
Kabid Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pesawaran Suhanda yang dihubungi melalui telepon pun mengakui tak sepeser pun pemerintah memperoleh pendapatan dari pengelolaan Pantai Mutun. "Tiket masuk dan sewa pondok semuanya tidak ada yang disetor sebagai pendapatan daerah," kata Suhanda.
Pemerintah, lanjut Suhanda, tak berdaya untuk bersikap tegas agar mendapat pemasukan daerah dari pengelolaan pantai itu. "Seribu perak pun tak ada yang masuk ke kas daerah."
Ketiadaan peraturan daerah yang mengatur secara khusus tentang pungutan seperti retribusi di objek wisata serta tidak kooperatifnya pengelola membuat pemerintah hanya bisa diam saja melihat pengelola itu meraih keuntungan dari objek wisata tersebut.
Pemilik Pantai Mutun, Muchtar Sani, yang dicoba dimintai tanggapannya, tidak berhasil dihubungi. Pesan singkat permintaan wawancara pun tak mendapat tanggapan.
Di tempat lain, Kabid Destinasi Wisata dan ODTW Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung Ulida menyebut tugas dinas hanya melakukan pembinaan dan menarik minat wisatawan untuk mau datang ke Lampung.
Namun, menurut Yaman Aziz, ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), pembinaan yang dilakukan oleh dinas masih nihil. Buktinya pengelolaan objek wisata terkesan semaunya.
Selama ini, ia melihat dari sisi pendapatan (revenue) objek wisata yang dikelola individu terkesan asal-asalan. Orientasi yang ada di benak pengelola adalah bagaimana mendapatkan banyak pendapatan dari objek wisata itu. "Yang penting duit masuk, mereka tidak peduli mau bersih atau tidak, lantas di mana pembinaan yang sudah dilakukan oleh dinasnya," kata Yaman Aziz.
Dampak dari pelayanan yang buruk, fasilitas yang asal-asalan, serta pengelolaan yang tak mengindahkan lingkungan ekosistem bagi wisatawan yang berkunjung adalah rendahnya tingkat kepuasan wisatawan. (M1)
mezaswastika@lampungpost.com
Lampung Post, Minggu, 1 Desember 2013
No comments:
Post a Comment