Oleh Dian Wahyu Kusuma
RUMAH di Jalan Raden Intan Gang Sawo (sekarang Hotel Arinas) menjadi sejarah bagi Jalu Mampang. Ayahnya mendirikan Sanggar Sembrani, berasal dari nama legenda kuda bersayap.
Teguh Karya, Waroli Sitompul, Christine Hakim, tokoh lama sutradara ini murid ayahnya saat itu. Bahkan Rahman Yakub, aktor asal Kalianda, juga dari sanggar ayahnya kemudian lanjut sekolah ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Di halaman rumah itu juga, Jalu berproses.
Bapaknya, almarhum B.M. Gutomo, adalah seniman lulusan Akademi Seni Drama dan Film Yogyakarta (Asgrafi) sekolah di zaman itu. ?Sepulang dari sekolah di Yogya, ayah saya mendirikan sanggar. Itu cikal bakal terbentuknya taman budaya sekarang,? kata Jalu saat ditemui di rumahnya, Perumahan Beringin Raya, Kemiling, Bandar Lampung, Rabu (4/12).
Taman budaya itu institusi pemerintah, perpanjangan dari kanwil pendidikan bidang kesenian. Saat taman budaya terbentuk aktivitas, dari sanggar rumahnya beralih ke taman budaya. Satuan kerja baru, taman budaya itu laboratoium seni.
?Hal yang penting, tradisi kesenian khususnya teater, saya temui setiap hari. Murid-murid bapak latihan dari sore sampai malam. Itu mungkin yang menjadi anugerah saya untuk ikut ke dunia yang sama,? kata lelaki kelahiran Tanjungkarang, 16 April 1964 ini.
Pernah waktu SMA, Jalu ikut deklamasi (saat ini populer membacakan puisi tanpa teks), ayahnya yang menjadi jurinya. Jalu mengaku ikut lomba tanpa sepengetahuan ayahnya. Sejak SMA Jalu ditawari untuk terlibat di teater, karya-karya ayahnya. Saat peringatan Bulan Bahasa, perpisahan sekolah, Jalu ikut pentas, bapaknya yang menjadi sutradara.
"Di saat anak-anak lain bermain, saya sudah membaca buku filsafat punya ayah saya. Saya suka," kata Jalu.
Ibunya, Seriwati Srie Mulyandie, juga seorang penari keturunan Jawa. Putri pertamanya, Arum Puspita Putri, sekarang kuliah di FKIP Seni Tari Unila. "Orang tua saya demokratis, tidak memaksakan anaknya untuk menjadi apa. Kami sekeluarga dianugerahi bakat seni," kata bapak dua anak ini.
"Moto hidup saya sederhana, berkarisma dan penuh selera. Penuh minat di berbagai hal, pengin dikenang orang, berkualitas dan berkarya monumental, sederhana, tidak sombong, minat semangat apa saja mau dikerjakan," kata Jalu dengan semangat.
Jalu banyak main teater di taman budaya, hingga hidupnya sekarang mengabdi sebagai PNS di taman budaya. Kesukaannya membaca buku filsafat milik ayahnya juga pernah PNS di Perpustakaan Daerah (dulu Perpustakaan Nasional RI).
Jalu juga pernah bekerja di koran Tantama, sekarang Lampung Ekspress. Saat menjadi wartawan, Jalu suka menggambar karikatur dan memancing.
Dulu, cerita Jalu, banyak film layar lebar syuting di Lampung. "Film Cintaku di Way Kambas, saya juga dilibatkan, Teguh Karya, Matias Mucus, Ira Wibowo, Film Kembali ke Desa dan Hutan Hijau Hutan Cinta sutradara Sofyan Soni."
Menurut Jalu, zaman dulu teater masih jarang yang menggelutinya. Hampir setiap produksi film di Lampung Jalu selalu dilibatkan. Sekarang justru jarang film layar lebar main ke Lampung. Padahal Lampung dekat dengan Jakarta dan punya potensi untuk itu.
Jalu juga ikut organisasi Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Lampung cabang Jakarta. Ia pernah menjadi ketua komite Lampung dua periode di Dewan Kesenian Lampung. Juga di Dewan Kesenian Kota di ketua komite teater dua periode.
Rumahnya artistik, di ruang keluarga ada tangga menuju lantai dua yang hanya separuh, cukup untuk komputer dan satu orang dan buku-bukunya. Di situlah Jalu biasa beraktivitas, menulis puisi, menuangkan ide membuat teks teater drama dan membaca buku.
"Hidup ini sederhana, apa yang menonjol di dalam diri kita dikembangkan, kadang manusia sendiri yang membuat sulit hidup ini. Jangan iri dengan orang lain. Lihat kemampuan kita, kalau enggak mungkin kekejar lihat orang lain," kata lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Tulangbawang Bandar Lampung ini.
Saat di kampus, saya sudah mulai memperhatikan sekumpulan wanita di bawah pohon, saya perhatikan gerak tubuhnya berbicara, saya tebak pasti berbicara tentang cowok, dan saat saya konfirmasi ke orangnya ternyata benar.
Tiga tahun silam, ketika Ibu Kapolda Lampung, Erin Sulistyo Ishak, memintanya membuat film tentang sisi lain istri seorang Kapolda. Saat itu Sulistyo Ishak menjadi Kapolda Lampung. Erin bercerita bahwa istri Kapolda yang dinilai enak, hidup makmur, tenang, tenteram, damai, tapi di lain sisi, istri selalu cemas, khawatir, ketika saat melepas suami bertugas, takut adanya intervensi, tekanan, atau pengancaman di dalam keluarga. Ide Erin itu dituangkan ke dalam film dan puisi.
Kelebihan saya, meskipun orang belum pernah main film tapi bisa saya jadikan ia bermain film.
Jalu mengobservasi langsung aktor-aktor, yang akan diperankan pada yang aslinya. "Senyuman seorang pembunuh dengan senyuman kiai pasti berbeda, saya harus melihatnya sendiri."
Film berjudul Perempuan Pilihan berdurasi 30 menit itu diputar di stasiun televisi swasta di Lampung. Ia juga membuat naskah puisi dengan judul yang sama untuk Erin. "Cukup tiga hari shoot saja, film sudah bisa selesai dari estimasi satu minggu, pengalaman banyak saya di lapangan itu yang membuat orang tidak bisa menjadi bisa bermain film," kata Jalu.
"Sangat jarang sekali pejabat negara yang menyukai seni. Kalau pejabat seperti ini semua, Lampung bisa bagus," kata alumnus SMA Negeri 1 Bandar Lampung ini.
Kegiatan Jalu di seni sekarang sudah mulai dibatasi, ketika pascaoperasi jantung beberapa tahun lalu. Ia diminta untuk tidak terlalu lelah. Sekarang juga murid-muridnya di rumah sudah pada bekerja. "Rumah saya kalau malam dulu selalu ramai, saya juga tidak meminta bayaran ke mereka," kata dia.
Jalu pernah mengajar seni teater siswa SMA Perintis bernama Teater Pelopor. Terater itu pernah menjadi juara saat kompetisi. ?Ke depannya saya ingin mementaskan karya saya yang belum pernah dipublikasikan, tinggal menunggu momen yang tepat,? kata anak pertama dari lima bersaudara ini. (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 Desember 2013
Jalu Mampang |
Teguh Karya, Waroli Sitompul, Christine Hakim, tokoh lama sutradara ini murid ayahnya saat itu. Bahkan Rahman Yakub, aktor asal Kalianda, juga dari sanggar ayahnya kemudian lanjut sekolah ke Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Di halaman rumah itu juga, Jalu berproses.
Bapaknya, almarhum B.M. Gutomo, adalah seniman lulusan Akademi Seni Drama dan Film Yogyakarta (Asgrafi) sekolah di zaman itu. ?Sepulang dari sekolah di Yogya, ayah saya mendirikan sanggar. Itu cikal bakal terbentuknya taman budaya sekarang,? kata Jalu saat ditemui di rumahnya, Perumahan Beringin Raya, Kemiling, Bandar Lampung, Rabu (4/12).
Taman budaya itu institusi pemerintah, perpanjangan dari kanwil pendidikan bidang kesenian. Saat taman budaya terbentuk aktivitas, dari sanggar rumahnya beralih ke taman budaya. Satuan kerja baru, taman budaya itu laboratoium seni.
?Hal yang penting, tradisi kesenian khususnya teater, saya temui setiap hari. Murid-murid bapak latihan dari sore sampai malam. Itu mungkin yang menjadi anugerah saya untuk ikut ke dunia yang sama,? kata lelaki kelahiran Tanjungkarang, 16 April 1964 ini.
Pernah waktu SMA, Jalu ikut deklamasi (saat ini populer membacakan puisi tanpa teks), ayahnya yang menjadi jurinya. Jalu mengaku ikut lomba tanpa sepengetahuan ayahnya. Sejak SMA Jalu ditawari untuk terlibat di teater, karya-karya ayahnya. Saat peringatan Bulan Bahasa, perpisahan sekolah, Jalu ikut pentas, bapaknya yang menjadi sutradara.
"Di saat anak-anak lain bermain, saya sudah membaca buku filsafat punya ayah saya. Saya suka," kata Jalu.
Ibunya, Seriwati Srie Mulyandie, juga seorang penari keturunan Jawa. Putri pertamanya, Arum Puspita Putri, sekarang kuliah di FKIP Seni Tari Unila. "Orang tua saya demokratis, tidak memaksakan anaknya untuk menjadi apa. Kami sekeluarga dianugerahi bakat seni," kata bapak dua anak ini.
"Moto hidup saya sederhana, berkarisma dan penuh selera. Penuh minat di berbagai hal, pengin dikenang orang, berkualitas dan berkarya monumental, sederhana, tidak sombong, minat semangat apa saja mau dikerjakan," kata Jalu dengan semangat.
Jalu banyak main teater di taman budaya, hingga hidupnya sekarang mengabdi sebagai PNS di taman budaya. Kesukaannya membaca buku filsafat milik ayahnya juga pernah PNS di Perpustakaan Daerah (dulu Perpustakaan Nasional RI).
Jalu juga pernah bekerja di koran Tantama, sekarang Lampung Ekspress. Saat menjadi wartawan, Jalu suka menggambar karikatur dan memancing.
Dulu, cerita Jalu, banyak film layar lebar syuting di Lampung. "Film Cintaku di Way Kambas, saya juga dilibatkan, Teguh Karya, Matias Mucus, Ira Wibowo, Film Kembali ke Desa dan Hutan Hijau Hutan Cinta sutradara Sofyan Soni."
Menurut Jalu, zaman dulu teater masih jarang yang menggelutinya. Hampir setiap produksi film di Lampung Jalu selalu dilibatkan. Sekarang justru jarang film layar lebar main ke Lampung. Padahal Lampung dekat dengan Jakarta dan punya potensi untuk itu.
Jalu juga ikut organisasi Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) Lampung cabang Jakarta. Ia pernah menjadi ketua komite Lampung dua periode di Dewan Kesenian Lampung. Juga di Dewan Kesenian Kota di ketua komite teater dua periode.
Rumahnya artistik, di ruang keluarga ada tangga menuju lantai dua yang hanya separuh, cukup untuk komputer dan satu orang dan buku-bukunya. Di situlah Jalu biasa beraktivitas, menulis puisi, menuangkan ide membuat teks teater drama dan membaca buku.
"Hidup ini sederhana, apa yang menonjol di dalam diri kita dikembangkan, kadang manusia sendiri yang membuat sulit hidup ini. Jangan iri dengan orang lain. Lihat kemampuan kita, kalau enggak mungkin kekejar lihat orang lain," kata lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Tulangbawang Bandar Lampung ini.
Saat di kampus, saya sudah mulai memperhatikan sekumpulan wanita di bawah pohon, saya perhatikan gerak tubuhnya berbicara, saya tebak pasti berbicara tentang cowok, dan saat saya konfirmasi ke orangnya ternyata benar.
Tiga tahun silam, ketika Ibu Kapolda Lampung, Erin Sulistyo Ishak, memintanya membuat film tentang sisi lain istri seorang Kapolda. Saat itu Sulistyo Ishak menjadi Kapolda Lampung. Erin bercerita bahwa istri Kapolda yang dinilai enak, hidup makmur, tenang, tenteram, damai, tapi di lain sisi, istri selalu cemas, khawatir, ketika saat melepas suami bertugas, takut adanya intervensi, tekanan, atau pengancaman di dalam keluarga. Ide Erin itu dituangkan ke dalam film dan puisi.
Kelebihan saya, meskipun orang belum pernah main film tapi bisa saya jadikan ia bermain film.
Jalu mengobservasi langsung aktor-aktor, yang akan diperankan pada yang aslinya. "Senyuman seorang pembunuh dengan senyuman kiai pasti berbeda, saya harus melihatnya sendiri."
Film berjudul Perempuan Pilihan berdurasi 30 menit itu diputar di stasiun televisi swasta di Lampung. Ia juga membuat naskah puisi dengan judul yang sama untuk Erin. "Cukup tiga hari shoot saja, film sudah bisa selesai dari estimasi satu minggu, pengalaman banyak saya di lapangan itu yang membuat orang tidak bisa menjadi bisa bermain film," kata Jalu.
"Sangat jarang sekali pejabat negara yang menyukai seni. Kalau pejabat seperti ini semua, Lampung bisa bagus," kata alumnus SMA Negeri 1 Bandar Lampung ini.
Kegiatan Jalu di seni sekarang sudah mulai dibatasi, ketika pascaoperasi jantung beberapa tahun lalu. Ia diminta untuk tidak terlalu lelah. Sekarang juga murid-muridnya di rumah sudah pada bekerja. "Rumah saya kalau malam dulu selalu ramai, saya juga tidak meminta bayaran ke mereka," kata dia.
Jalu pernah mengajar seni teater siswa SMA Perintis bernama Teater Pelopor. Terater itu pernah menjadi juara saat kompetisi. ?Ke depannya saya ingin mementaskan karya saya yang belum pernah dipublikasikan, tinggal menunggu momen yang tepat,? kata anak pertama dari lima bersaudara ini. (M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 8 Desember 2013
No comments:
Post a Comment