-- Teguh Prasetyo
TERBUKANYA sebuah ruang yang selama ini gelap dan tertutup tak terjamah merupakan satu pesan yang amat sangat terasa saat dilakukannya peluncuran buku puisi Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi yang dibarengi diskusi tentang bahasa Lampung yang digelar Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) di Kantor Bahasa Provinsi Lampung, Senin (3-3) yang lalu.
Mengapa pesan tersebut amat terasa? Tentu saja, pertama, disebabkan selama ini bahasa Lampung dapat diibaratkan bagai katak dalam tempurung. Sebab, sebagai bahasa daerah, bahasa Lampung amat sangat terbatas penggunaannya. Bahkan, masyarakat asli Lampung sendiri sepertinya sangat enggan menggunakan bahasa itu dalam melakukan komunikasi kesehariannya.
Ini terlihat pada masyarakat Lampung yang tinggal di daerah perkotaan. Selama ini, mereka hanya menggunakan bahasa Lampung pada kalangannya sendiri. Misalnya, pada anggota keluarga ataupun pada saat ada pertemuan atau acara perkumpulan masyarakat Lampung. Sedangkan pada kegiatan lain, terutama yang digelar di ranah publik, bahasa Lampung ditinggalkan oleh pemiliknya. Entah dikarenakan adanya perasaan malu menggunakan bahasa Lampung atau dikarenakan sebab lainnya. Akibatnya, perkembangan bahasa Lampung sangat terbatas atau malahan bisa dikatakan tidak berkembang dan mengalami kemunduran.
Dampaknya yang amat terasa adalah sangat minimnya masyarakat pendatang, yang menjadi mayoritas penduduk Lampung, yang bisa mengerti dan bisa menggunakan bahasa Lampung dalam kesehariannya. Padahal di daerah lain, setiap pendatang secara otomatis akan mempelajari bahasa daerah tempat tinggalnya yang baru. Akhirnya, bahasa daerah akan tetap terjaga dan lestari, karena selalu digunakan dalam bahasa kesehariannya.
Walaupun alasan adanya keengganan masyarakat pendatang untuk mempelajari bahasa Lampung, bisa menjadi alasan lainnya yang melatarbelakangi. Karena kemungkinan masyarakat pendatang merasa bahwa mereka tidak memperoleh kemanfaatan dengan mempelajari bahasa Lampung. Misalnya saja dari motif ekonomi yang termudah, bila mempelajari bahasa Lampung, akan mendapatkan harga murah di pasar karena mayoritas pedagang menggunakan bahasa Lampung dalam bertransaksi.
Ataupun faktor keselamatan, ketika misalnya dengan menggunakan bahasa Lampung, akan selamat saat berada di terminal ataupun tempat lainnya. Sehingga ada alasan atau motif lain yang melatarbelakangi seseorang mempelajari bahasa Lampung. Itu juga yang dikemukakan Ketua Harian Dewan Kesenian Lampung (DKL) Syaiful Irba Tanpaka pada diskusi tersebut.
Kondisi ini menyebabkan bahasa Lampung tidak menarik untuk dipelajari para pendatang. Tidak salah bila kemudian anak-anak dan remaja di Lampung lebih tertarik mempelajari bahasa Inggris.
Sedangkan penggiat seni tradisi Lampung, Sutan Purnama, mengemukakan bahwa yang bisa jadi menyebabkan bahasa Lampung berada dalam tempurung adalah dikarenakan adanya perbedaan dialek antarmasyarakat Lampung sendiri. Ada Pesisir, Abung, Menggala, Pubian, dan lainnya yang dari pengucapan hingga penulisannya berbeda. Ini yang menurut Sutan menjadi salah satu penyebab bahasa Lampung tidak berkembang.
Namun, ketika peluncuran buku Mak Dawah Mak Dibingi karya Udo Z. Karzi tersebut, ada suatu yang terkuak. Tiba-tiba semuanya mencoba berkomunikasi menggunakan bahasa Lampung, lewat puisi-puisi yang terdapat dalam buku tersebut. Para penyair, guru, birokrat, semuanya mencoba melafalkan puisi Udo yang kesemuanya menggunakan bahasa Lampung. Sehingga ada sebuah ruang yang kini mulai terbuka.
Dan selain itu juga, alasan kedua bahasa Lampung sudah membuka ruang yang lebih luas lagi, yakni mencoba menjamah dunia nasional dengan munculnya buku puisi berbahasa Lampung karya Udo Z. Karzi tersebut. Ini semakin membuka ruang bagi masyarakat luas untuk bisa mengapresiasi dan mempelajari bahasa Lampung. Tidak hanya mereka yang tinggal di Lampung saja, tapi siapa saja.
Apalagi buku yang diterbitkan BE Press, Bandar Lampung tahun 2007 ini berhasil memenangkan Hadiah Sastera Rancage 2008. Tentu saja ini menjadi sebuah prestise yang sangat membanggakan dan patut mendapat apresiasi seluruh masyarakat Lampung. Sebab, Yayasan Kebudayaan Rancage pimpinan sastrawan Ajip Rosidi ini biasanya memberikan penghargaan pada karya sastra yang berasal dari Sunda, Jawa, dan Bali saja.
Irfan Anshori, salah seorang Dewan Juri Hadiah Sastera Rancage 2008, yang juga anggota Pusat Studi Kebudayaan Sunda, mengemukakan, Ini pertama sekali Rancage Award diberikan untuk karya sastra berbahasa daerah dari luar Pulau Jawa. Sudah sepuluh kali Rancage Award diberikan kepada karya sastra berbahasa daerah, baru kali ini penghargaan itu diberikan kepada sastra berbahasa Lampung.
Dia mengatakan ada dua buku berbahasa Lampung yang ditulis Udo Z. Karzi dan diikutsertakan dalam penilaian Rancage. Tapi, penghargaan yang diberikan setiap tahun untuk karya sastra berbahasa daerah itu akhirnya jatuh ke Mak Dawah Mak Dibingi. "Kami berharap hadiah ini menjadi pemicu bagi pelestarian bahasa Lampung di lingkungan masyarakatnya. Semoga menjadi pemicu penerbitan buku-buku sastra berbahasa Lampung," kata Irfan.
Menurut dia, Yayasan Kebudayaan Rancage pimpinan sastrawan Ajip Rosidi sudah sejak lama mengamati perkembangan karya sastra berbahasa daerah yang ada di luar Pulau Jawa. Tapi, ternyata perkembangan karya sastra berbahasa Lampung lebih semarak dibandingkan daerah lainnya.
"Begitu kami menemukan buku berbahasa daerah Lampung, kami menghubungi penerbitnya. Mereka respek dan mengirimkan buku Udo Z. Karzi serta menyanggupi akan menerbitkan buku berbahasa Lampung secara kontinu."
Sementara Direktur Riset Yayasan Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) Budi Hutasuhut yang menerbitkan buku Mak Dawah Mak Dibingi mengemukakan pihaknya akan mencoba terus menerbitkan buku sejenis terutama yang menggunakan bahasa Lampung. "Buku itu diterbitkan dalam rangka memopulerkan penggunaan bahasa Lampung di lingkungan masyarakat. Kami berharap pemerintah daerah bisa menjadikan buku ini sebagai bahan ajar untuk mata pelajaran muatan lokal."
Budi mengatakan Yayasan SKL yang mengelola sudah mempersiapkan beberapa naskah buku berbahasa Lampung untuk diterbitkan sebagai buku. "Kegiatan ini tidak ada kaitannya dengan mengharapkan Hadiah Rancage , tetapi sudah bagian dari program pelestarian nilai budaya lokal yang digalakkan Yayasan SKL sejak 2004," kata dia.
Bila akhirnya keinginan tersebut bisa terealisasikan, bisa dipastikan akan mulai banyak bermunculan buku-buku yang dikeluarkan menggunakan bahasa Lampung. Ini berarti bahasa Lampung akan semakin dikenal tidak hanya di daerahnya sendiri, tetapi juga menasional. Apalagi bila kemudian semakin banyak penerbit yang juga mulai turut menerbitkan karya-karya sastra berbahasa Lampung lainnya.
Dengan begitu, ungkapan yang dikemukakan Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung Agus Sri Danardana, berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa bahasa Lampung akan punah pada kurun waktu 70 tahun yang akan datang, tidak akan terjadi. Terlebih lagi, menurut dia, sampai saat ini bahasa Lampung termasuk 13 bahasa daerah atau bahasa ibu yang jumlah penuturnya masih banyak di Indonesia di antaranya bahasa Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Batak, Minang, Bali, dan bahasa daerah lainnya yang memiliki jumlah penduduk pribumi lebih dari 1,5 juta jiwa. "Tapi bila bahasa Lampung tidak dipelihara, prediksi tersebut akan benar-benar terjadi."
Dan, Udo Z. Karzi yang merupakan pelopor lahirnya sastra Lampung modern, sehingga diganjar Hadiah Sastra Rancage 2008 diharapkan mampu merangsang para sastrawan Lampung lain menulis karya-karya sastra dalam bahasa ibunya: Lampung. Dengan demikian, Lampung yang merupakan negerinya penyair ini, tidak hanya menyemarakan khazanah dunia sastra nasional dengan karya sastra berbahasa Indonesia, tetapi juga karya sastra berbahasa Lampung.
Semoga ruang gelap yang selama ini menyelimuti bahasa Lampung, bisa semakin terbuka dan terkuak.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Maret 2008
No comments:
Post a Comment