WALAUPUN semua permainan memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, ada satu yang tak tergantikan dari permainan tradisional, yaitu kebersamaan dan kerja sama.
Tawa riang anak-anak riuh memecah sore. ?Awas!? sesekali pekik peringatan keluar dari anggota tim yang mendapat giliran menerobos garis jaga. Ada sepuluh anak yang bergerak gesit.
Mereka terbagi dari dua tim: masing-masing terdiri dari lima anak. Lima tim lawan bertugas menjaga garis-garis yang telah ditentukan dalam permaian gobak sodor.
Untuk bisa memang dibutuhkan kerja sama, kekompakan, kecepatan, dan kelihaian mengalihkan perhatian lawan. Permainan ini sudah sangat jarang ditemui. Hanya sesekali, saat melintasi perkampungan, anak-anak tampak riang bermain di alam terbuka.
Pengajar psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung, Hetty Anggraini, menilai banyak sekali manfaat yang didapat anak-anak ketika memainkan permainan tradisional. Mulai dari kebersamaan, kerja sama, sportivitas, kompetisi, kreativitas, dan kesabaran. Permainan tradisional mengasah karakter anak-anak secara alami dan menyenangkan.
Berbeda dengan permainan modern, seperti game online dan PlayStation, lanjut Hetty, sangat minim interaksi. Meskipun bisa dimainkan berdua atau beberapa anak, permainan modern kurang interaksi dan kerja sama.
?Dampaknya cukup besar, anak-anak kurang peka dan tidak peduli dengan lingkungan serta kondisi di sekitarnya. Kadang tidak kenal dengan tetangga di samping rumah,? kata dia.
Permainan tradisional juga mengajarkan kepatuhan dan ketaatan pada aturan. Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada ini mengatakan semua permainan tradisional disepakati dengan aturan bersama. Ini mengajarkan soal kepatuhan pada aturan yang dibuat. ?Harapannnya anak-anak diajarkan untuk mematuhi hukum yang berlaku,? kata dia.
Guru SMPN 22 Bandar Lampung, Nurdin Darsan, mengatakan permainan tradisional memiliki makna yang dalam. Tidak hanya membentuk karakter anak, tapi juga mengajarkan nilai ketuhanan. ?Dalam permainan hompimpa yang mengajarkan penyerahan diri pada Tuhan soal kemenangan dan kekalahan,? ujarnya.
Sayangnya, permainan tradisional itu kini makin tersingkir. Bahkan, banyak permainan tradisional Lampung mendekati kepunahan. Beberapa permainan hanya diketahui oleh orang-orang yang sudah tua, tapi tidak diajarkan lagi ke anak-anak.
Pada pertemuan permainan tradisional di Yogyakarta pada Oktober lalu, Nurdin menyampaikan materi tentang permainan tradisional di Lampung Barat yang sudah tidak pernah dimainkan lagi, yaitu gundang-gundangan.
Dia menyarankan agar permainan tradisional diajarkan di sekolah dan masuk muatan lokal. Ini merupakan salah satu langkah untuk melestarikan dan menghidupkan kembali permainan nasional. ?Ini juga menjadi rekomendasi dalam pertemuan permainan tradisional tingkat nasional kemarin,? kata Nurdin.
Dengan diajarkan di tingkat TK, SD, dan SMP, diharapkan anak-anak tetap mengenal dan mengetahui. ?Bahkan perlu dipaketkan dalam pelajaran olahraga,? katanya.
Selain melalui mulok, permainan tradisional juga bisa digalakkan lewat perlombaan-perlombaan. (PADLI RAMDAN/M-2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2012
Tawa riang anak-anak riuh memecah sore. ?Awas!? sesekali pekik peringatan keluar dari anggota tim yang mendapat giliran menerobos garis jaga. Ada sepuluh anak yang bergerak gesit.
Mereka terbagi dari dua tim: masing-masing terdiri dari lima anak. Lima tim lawan bertugas menjaga garis-garis yang telah ditentukan dalam permaian gobak sodor.
Untuk bisa memang dibutuhkan kerja sama, kekompakan, kecepatan, dan kelihaian mengalihkan perhatian lawan. Permainan ini sudah sangat jarang ditemui. Hanya sesekali, saat melintasi perkampungan, anak-anak tampak riang bermain di alam terbuka.
Pengajar psikologi Universitas Muhammadiyah Lampung, Hetty Anggraini, menilai banyak sekali manfaat yang didapat anak-anak ketika memainkan permainan tradisional. Mulai dari kebersamaan, kerja sama, sportivitas, kompetisi, kreativitas, dan kesabaran. Permainan tradisional mengasah karakter anak-anak secara alami dan menyenangkan.
Berbeda dengan permainan modern, seperti game online dan PlayStation, lanjut Hetty, sangat minim interaksi. Meskipun bisa dimainkan berdua atau beberapa anak, permainan modern kurang interaksi dan kerja sama.
?Dampaknya cukup besar, anak-anak kurang peka dan tidak peduli dengan lingkungan serta kondisi di sekitarnya. Kadang tidak kenal dengan tetangga di samping rumah,? kata dia.
Permainan tradisional juga mengajarkan kepatuhan dan ketaatan pada aturan. Magister Psikologi Universitas Gadjah Mada ini mengatakan semua permainan tradisional disepakati dengan aturan bersama. Ini mengajarkan soal kepatuhan pada aturan yang dibuat. ?Harapannnya anak-anak diajarkan untuk mematuhi hukum yang berlaku,? kata dia.
Guru SMPN 22 Bandar Lampung, Nurdin Darsan, mengatakan permainan tradisional memiliki makna yang dalam. Tidak hanya membentuk karakter anak, tapi juga mengajarkan nilai ketuhanan. ?Dalam permainan hompimpa yang mengajarkan penyerahan diri pada Tuhan soal kemenangan dan kekalahan,? ujarnya.
Sayangnya, permainan tradisional itu kini makin tersingkir. Bahkan, banyak permainan tradisional Lampung mendekati kepunahan. Beberapa permainan hanya diketahui oleh orang-orang yang sudah tua, tapi tidak diajarkan lagi ke anak-anak.
Pada pertemuan permainan tradisional di Yogyakarta pada Oktober lalu, Nurdin menyampaikan materi tentang permainan tradisional di Lampung Barat yang sudah tidak pernah dimainkan lagi, yaitu gundang-gundangan.
Dia menyarankan agar permainan tradisional diajarkan di sekolah dan masuk muatan lokal. Ini merupakan salah satu langkah untuk melestarikan dan menghidupkan kembali permainan nasional. ?Ini juga menjadi rekomendasi dalam pertemuan permainan tradisional tingkat nasional kemarin,? kata Nurdin.
Dengan diajarkan di tingkat TK, SD, dan SMP, diharapkan anak-anak tetap mengenal dan mengetahui. ?Bahkan perlu dipaketkan dalam pelajaran olahraga,? katanya.
Selain melalui mulok, permainan tradisional juga bisa digalakkan lewat perlombaan-perlombaan. (PADLI RAMDAN/M-2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 30 Desember 2012
No comments:
Post a Comment