Oleh Gatot Arifianto
TAHUN 2012, rangkaian tindak kekerasan massa dan pertikaian antarkelompok warga masih meletup di beberapa tempat di Provinsi Lampung.
Aparat keamanan dan pemerintah daerah seperti tak berdaya menghadapi amuk massa itu, sehingga korban pun berjatuhan, dan ancaman konflik serupa tetap mengintai.
"Seseorang mengenali orang lain menjadi tidak penting, karena tidak ada lagi manfaat yang bisa diperoleh," kata Sosiolog Universitas Lampung (Unila) Dr Hartoyo, mengomentari kondisi faktual di tengah masyarakat Lampung yang cenderung gampang terpicu terlibat konflik antarsesama warga itu.
Dia mengingatkan, bila kondisi tersebut dibiarkan, menandakan kehidupan sosial di daerah ini dalam kondisi berbahaya.
Belum hilang tangis dan jerit korban pertikaian antarwarga di Desa Balinuraga Kecamatan Waypanji yang bentrok dengan warga Desa Agom dan beberapa desa sekitar Kecamatan Kalianda di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi, 27-29 Oktober 2012.
Pertikaian antarwarga kembali terjadi di Kabupaten Lampung Tengah pada 8 November 2012, diduga akibat adanya kesalahpahaman yang menyebabkan salah satu warga Hairil, meninggal dunia.
Warga Kampung Buyut Udik Kecamatan Gunungsugih itu menjadi korban aksi main hakim sendiri, karena diduga telah mencuri ternak sapi warga Kampung Kesumadadi Kecamatan Bekri, hingga korban meninggal dunia pada 19 Oktober 2012.
Akibat kejadian itu, rentetan aksi main hakim sendiri kembali berlangsung, belasan rumah warga Kampung Kesumadadi terbakar karena sekelompok anak muda dari kampung tempat korban Hairil yang terpicu bertindak emosional menyikapi peristiwa itu.
"Telah terjadi pendangkalan sosial dan hukum nonlitigasi di Lampung," ujar Hartoyo, menanggapi konflik berlangsung di daerah itu.
Struktur adat pada semua etnis yang ada di daerah ini, kata dia pula, sudah tidak efektif menghadapi permasalahan sosial itu karena telah terjadi krisis ketokohan dan kepemimpinan.
"Saya analogikan kepala daerah itu seperti kepala rumah tangga," ujar akademisi unila lainnya, Dr Wahyu Sasongko.
Karena itu pula, ujar Wahyu, menanggapi konflik horizontal yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Tengah, kepala daerah juga harus sadar jika dirinya perlu maju tampil ke depan menjadi juru damai bagi masyarakatnya yang sedang bertikai.
Peran kepala daerah sebagai juru damai itulah, menurut Wahyu, perlu dikedepankan agar eskalasi konflik sosial di daerah ini dapat ditekan dan diminimalkan.
PR Bersama
Provinsi Lampung yang memiliki luas wilayah mencapai 35.376 km persegi merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera.
Potensi sumberdaya alam yang beragam, seperti kelautan, perkebunan dan pariwisata, dan daya tarik ekonomi Lampung menjadi daerah yang diminati masyarakat Indonesia dari daerah lainnya untuk beraktivitas di sini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk Lampung sekitar 7.596.115 jiwa, terdiri dari beragam suku bangsa, yaitu Lampung, Jawa, Bali, Batak, Sunda, Padang, dan lain-lainnya.
Fakta tersebut membuat sejumlah budayawan mengatakan Lampung merupakan Indonesia Mini.
Lampung menjadi cermin salah satu provinsi yang heterogenitas masyarakatnya sangat kentara, berbaur dalam keseharian.
Tetapi kenapa alkuturasi budaya antarwarga itu selama ini belum berlangsung baik di provinsi Indonesia Mini itu?
Konflik bernuansa kekerasan di Lampung, menurut Hartoyo, telah terjadi berkali-kali.
Artinya, ujar dia pula, struktur jejaring sosial vertikal dan horizontal di sini sudah mengalami kerusakan.
"Kondisi dan pranata sosial sudah menurun di Lampung, termasuk tidak hadirnya perekat sosial antarkelompok agama dan etnis yang berbeda itu, dan pranata hukum yang memperkuat posisi ketahanan sosial prakonflik seperti tindakan preventif kurang berjalan efektif," ujar Hartoyo lagi.
Padahal tindakan main hakim sendiri sesungguhnya menafikan Indonesia sebagai negara hukum dan menepiskan bahwa kita manusia beradab dan berbudaya tinggi yang taat hukum.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Ruang Belajar Masyarakat (RBM) Kabupaten Waykanan, Triwana, menyatakan harus ada upaya preventif dilakukan secara kontinu guna mencegah aksi main hakim sendiri seperti itu.
"Sosialisasi mengenai penegakan hukum kiranya bisa dilakukan mulai dari kampung secara rutin," kata Triwana pula.
Tindakan main hakim sendiri seperti terjadi belakangan ini di beberapa daerah di Lampung, ujar dia, sebenarnya bisa didorong untuk setiap permasalahan yang mencuat dapat diselesaikan secara damai melalui musyawarah.
"Apa artinya hukum di negara kita, bila tindakan main hakim sendiri terus terjadi," ujar Triwana lagi.
Penegakan hukum dan perbaikan pendidikan merupakan variabel penting untuk mencegah konflik horizontal antarwarga, ujar Ketua Yayasan Bioenergi Akademi, Neri Juliawan.
Menanggapi konflik antarwarga di Kabupaten Lampung Tengah dan di Kabupaten Lampung Selatan, Neri berpendapat, semestinya penegakan hukum harus berjalan secara nyata.
Selain itu pula, harus ada perbaikan dan pemerataan pendidikan untuk semua lapisan masyarakat.
Pada daerah rawan konflik, ujar Neri lagi, sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan warga di daerah tersebut masih perlu ditingkatkan, untuk tidak menyebut mereka masih berpendidikan rendah.
Di Lampung saat ini, ujar Hartoyo lagi, tingkat kepercayaan dalam diri masyarakat baik secara horizontal maupun vertikal, sudah menurun.
Norma sistem sosial yang ada di Lampung menurut dia, juga tidak terbangun sebagai instrumen untuk menyelesaikan konflik, baik itu sistem sosial formal maupun tradisional.
Konflik terjadi di sejumlah daerah di Lampung adalah konflik akumulatif dan berkepanjangan.
Ciri konflik berkepanjangan antara lain adanya benturan ideologi.
Pemicu konflik itu berbasis isu adanya benturan interpretasi nilai-nilai dasar.
Konflik di Lampung menurut dia, juga merupakan konflik vetikal dan horizontal.
Tapi permasalahan ekonomi, etnis, agama tidak selalu menjadi salah satu faktor pemicu yang menimbulkan konflik.
Hartoyo menambahkan bahwa konflik yang terjadi di provinsi bermotto "Sang Bumi Ruwai Jurai" ini, juga bersifat ekspresif dan instrumental.
"Konflik ekspresif diakibatkan massa yang frustrasi, tidak teroganisir, bersifat mendadak dan cepat meledak di lapangan, lalu muncul menjadi sentimen kolektif dan merusak," kata dia.
Adapun konflik instrumental menurut Hartoyo, biasanya lebih ke arah vertikal, seperti konflik perburuhan berhadapan dengan pengambil kebijakan, yaitu konflik sebagai alat untuk mengubah kebijakan, sedangkan konflik ekspresif justru menjadikannya sebagai tujuan.
Konflik terjadi di daerah ini membuat sejumlah aktivis, jurnalis profesional, pekerja seni, budayawan, tokoh adat dan masyarakat lintas agama menyerukan deklarasi "Gerakan Masyarakat Lampung Damai" bertema "Damailah Lampungku Damailah Indonesiaku".
"Dengan sangat kumohon kutukan Mu, ya Tuhan, demi membayar rasa malu atas kegagalan menghentikan tumbangnya pohon-pohon nilai Mu di perkebunan dunia, serta atas ketidaksanggupan dan kepengecutan dalam upaya menanam pohon-pohon Mu yang baru," ujar aktivis Pusat Studi Strategi dan Kebijakan Lampung Idhan Januwardhana, membacakan sajak karya Emha Ainun Nadjib saat deklarasi itu.
Pemulihan pascakonflik atas sejumlah persoalan bentrok massa di Lampung menurut Wahyu Sasongko, jangan sampai diabaikan.
"Kepala daerah harus berperan sebagai bapaknya masyarakat kecil," ujar Wahyu.
Institusi dan aparat penegak hukum, terutama kepolisian, di tingkat sektor (polsek), menurut dia, harus secara cepat dan tepat dapat mengetahui adanya kejahatan di wilayah hukumnya guna mencegah masyarakat main hakim sendiri.
Hukum harus ditegakkan dari bawah sampai ke atas, ujar dosen yang juga aktivis antikorupsi ini.
Hal-hal tersebut, termasuk alkuturasi budaya, merupakan pekerjaan rumah harus diselesaikan bersama-sama.
Selain itu, instrumen dan pranata sosial di Provinsi Lampung perlu pula diperbaiki guna memajukan daerah ini di masa depan.
Nilai-nilai kehidupan yang luhur telah diwariskan nenek moyang dari berbagai suku bangsa Indonesia yang ada di Lampung berupa kearifan lokal (local wisdom) dan tatanan sosial yang telah hilang ditelan modernitas zaman, perlu dicari bersama-sama sampai ketemu.
Kearifan lokal itulah yang seharusnya menjadi nilai bersama untuk diterapkan sebagai pegangan masyarakat bangsa Indonesia di sini maupun daerah lainnya, menghadapi dinamika sosial dan pembangunan yang terus berlangsung dengan segala problematikanya.
"Demi Engkau wahai Tuhan tambatan hatiku, aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu akhirat, hidupku hanyalah memandang Mu sampai kembali hakikat tiadaku," ujar Idhan, aktivis di Lampung, mengakhiri sajak Emha itu pula.
Jangan biarkan lagi konflik sosial dan amuk massa kembali mengoyak tatanan sosial di Lampung ini....
Sumber: Antara, Rabu, 12 Desember 2012
TAHUN 2012, rangkaian tindak kekerasan massa dan pertikaian antarkelompok warga masih meletup di beberapa tempat di Provinsi Lampung.
Aparat keamanan dan pemerintah daerah seperti tak berdaya menghadapi amuk massa itu, sehingga korban pun berjatuhan, dan ancaman konflik serupa tetap mengintai.
"Seseorang mengenali orang lain menjadi tidak penting, karena tidak ada lagi manfaat yang bisa diperoleh," kata Sosiolog Universitas Lampung (Unila) Dr Hartoyo, mengomentari kondisi faktual di tengah masyarakat Lampung yang cenderung gampang terpicu terlibat konflik antarsesama warga itu.
Dia mengingatkan, bila kondisi tersebut dibiarkan, menandakan kehidupan sosial di daerah ini dalam kondisi berbahaya.
Belum hilang tangis dan jerit korban pertikaian antarwarga di Desa Balinuraga Kecamatan Waypanji yang bentrok dengan warga Desa Agom dan beberapa desa sekitar Kecamatan Kalianda di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi, 27-29 Oktober 2012.
Pertikaian antarwarga kembali terjadi di Kabupaten Lampung Tengah pada 8 November 2012, diduga akibat adanya kesalahpahaman yang menyebabkan salah satu warga Hairil, meninggal dunia.
Warga Kampung Buyut Udik Kecamatan Gunungsugih itu menjadi korban aksi main hakim sendiri, karena diduga telah mencuri ternak sapi warga Kampung Kesumadadi Kecamatan Bekri, hingga korban meninggal dunia pada 19 Oktober 2012.
Akibat kejadian itu, rentetan aksi main hakim sendiri kembali berlangsung, belasan rumah warga Kampung Kesumadadi terbakar karena sekelompok anak muda dari kampung tempat korban Hairil yang terpicu bertindak emosional menyikapi peristiwa itu.
"Telah terjadi pendangkalan sosial dan hukum nonlitigasi di Lampung," ujar Hartoyo, menanggapi konflik berlangsung di daerah itu.
Struktur adat pada semua etnis yang ada di daerah ini, kata dia pula, sudah tidak efektif menghadapi permasalahan sosial itu karena telah terjadi krisis ketokohan dan kepemimpinan.
"Saya analogikan kepala daerah itu seperti kepala rumah tangga," ujar akademisi unila lainnya, Dr Wahyu Sasongko.
Karena itu pula, ujar Wahyu, menanggapi konflik horizontal yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Tengah, kepala daerah juga harus sadar jika dirinya perlu maju tampil ke depan menjadi juru damai bagi masyarakatnya yang sedang bertikai.
Peran kepala daerah sebagai juru damai itulah, menurut Wahyu, perlu dikedepankan agar eskalasi konflik sosial di daerah ini dapat ditekan dan diminimalkan.
PR Bersama
Provinsi Lampung yang memiliki luas wilayah mencapai 35.376 km persegi merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera.
Potensi sumberdaya alam yang beragam, seperti kelautan, perkebunan dan pariwisata, dan daya tarik ekonomi Lampung menjadi daerah yang diminati masyarakat Indonesia dari daerah lainnya untuk beraktivitas di sini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk Lampung sekitar 7.596.115 jiwa, terdiri dari beragam suku bangsa, yaitu Lampung, Jawa, Bali, Batak, Sunda, Padang, dan lain-lainnya.
Fakta tersebut membuat sejumlah budayawan mengatakan Lampung merupakan Indonesia Mini.
Lampung menjadi cermin salah satu provinsi yang heterogenitas masyarakatnya sangat kentara, berbaur dalam keseharian.
Tetapi kenapa alkuturasi budaya antarwarga itu selama ini belum berlangsung baik di provinsi Indonesia Mini itu?
Konflik bernuansa kekerasan di Lampung, menurut Hartoyo, telah terjadi berkali-kali.
Artinya, ujar dia pula, struktur jejaring sosial vertikal dan horizontal di sini sudah mengalami kerusakan.
"Kondisi dan pranata sosial sudah menurun di Lampung, termasuk tidak hadirnya perekat sosial antarkelompok agama dan etnis yang berbeda itu, dan pranata hukum yang memperkuat posisi ketahanan sosial prakonflik seperti tindakan preventif kurang berjalan efektif," ujar Hartoyo lagi.
Padahal tindakan main hakim sendiri sesungguhnya menafikan Indonesia sebagai negara hukum dan menepiskan bahwa kita manusia beradab dan berbudaya tinggi yang taat hukum.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Ruang Belajar Masyarakat (RBM) Kabupaten Waykanan, Triwana, menyatakan harus ada upaya preventif dilakukan secara kontinu guna mencegah aksi main hakim sendiri seperti itu.
"Sosialisasi mengenai penegakan hukum kiranya bisa dilakukan mulai dari kampung secara rutin," kata Triwana pula.
Tindakan main hakim sendiri seperti terjadi belakangan ini di beberapa daerah di Lampung, ujar dia, sebenarnya bisa didorong untuk setiap permasalahan yang mencuat dapat diselesaikan secara damai melalui musyawarah.
"Apa artinya hukum di negara kita, bila tindakan main hakim sendiri terus terjadi," ujar Triwana lagi.
Penegakan hukum dan perbaikan pendidikan merupakan variabel penting untuk mencegah konflik horizontal antarwarga, ujar Ketua Yayasan Bioenergi Akademi, Neri Juliawan.
Menanggapi konflik antarwarga di Kabupaten Lampung Tengah dan di Kabupaten Lampung Selatan, Neri berpendapat, semestinya penegakan hukum harus berjalan secara nyata.
Selain itu pula, harus ada perbaikan dan pemerataan pendidikan untuk semua lapisan masyarakat.
Pada daerah rawan konflik, ujar Neri lagi, sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan warga di daerah tersebut masih perlu ditingkatkan, untuk tidak menyebut mereka masih berpendidikan rendah.
Di Lampung saat ini, ujar Hartoyo lagi, tingkat kepercayaan dalam diri masyarakat baik secara horizontal maupun vertikal, sudah menurun.
Norma sistem sosial yang ada di Lampung menurut dia, juga tidak terbangun sebagai instrumen untuk menyelesaikan konflik, baik itu sistem sosial formal maupun tradisional.
Konflik terjadi di sejumlah daerah di Lampung adalah konflik akumulatif dan berkepanjangan.
Ciri konflik berkepanjangan antara lain adanya benturan ideologi.
Pemicu konflik itu berbasis isu adanya benturan interpretasi nilai-nilai dasar.
Konflik di Lampung menurut dia, juga merupakan konflik vetikal dan horizontal.
Tapi permasalahan ekonomi, etnis, agama tidak selalu menjadi salah satu faktor pemicu yang menimbulkan konflik.
Hartoyo menambahkan bahwa konflik yang terjadi di provinsi bermotto "Sang Bumi Ruwai Jurai" ini, juga bersifat ekspresif dan instrumental.
"Konflik ekspresif diakibatkan massa yang frustrasi, tidak teroganisir, bersifat mendadak dan cepat meledak di lapangan, lalu muncul menjadi sentimen kolektif dan merusak," kata dia.
Adapun konflik instrumental menurut Hartoyo, biasanya lebih ke arah vertikal, seperti konflik perburuhan berhadapan dengan pengambil kebijakan, yaitu konflik sebagai alat untuk mengubah kebijakan, sedangkan konflik ekspresif justru menjadikannya sebagai tujuan.
Konflik terjadi di daerah ini membuat sejumlah aktivis, jurnalis profesional, pekerja seni, budayawan, tokoh adat dan masyarakat lintas agama menyerukan deklarasi "Gerakan Masyarakat Lampung Damai" bertema "Damailah Lampungku Damailah Indonesiaku".
"Dengan sangat kumohon kutukan Mu, ya Tuhan, demi membayar rasa malu atas kegagalan menghentikan tumbangnya pohon-pohon nilai Mu di perkebunan dunia, serta atas ketidaksanggupan dan kepengecutan dalam upaya menanam pohon-pohon Mu yang baru," ujar aktivis Pusat Studi Strategi dan Kebijakan Lampung Idhan Januwardhana, membacakan sajak karya Emha Ainun Nadjib saat deklarasi itu.
Pemulihan pascakonflik atas sejumlah persoalan bentrok massa di Lampung menurut Wahyu Sasongko, jangan sampai diabaikan.
"Kepala daerah harus berperan sebagai bapaknya masyarakat kecil," ujar Wahyu.
Institusi dan aparat penegak hukum, terutama kepolisian, di tingkat sektor (polsek), menurut dia, harus secara cepat dan tepat dapat mengetahui adanya kejahatan di wilayah hukumnya guna mencegah masyarakat main hakim sendiri.
Hukum harus ditegakkan dari bawah sampai ke atas, ujar dosen yang juga aktivis antikorupsi ini.
Hal-hal tersebut, termasuk alkuturasi budaya, merupakan pekerjaan rumah harus diselesaikan bersama-sama.
Selain itu, instrumen dan pranata sosial di Provinsi Lampung perlu pula diperbaiki guna memajukan daerah ini di masa depan.
Nilai-nilai kehidupan yang luhur telah diwariskan nenek moyang dari berbagai suku bangsa Indonesia yang ada di Lampung berupa kearifan lokal (local wisdom) dan tatanan sosial yang telah hilang ditelan modernitas zaman, perlu dicari bersama-sama sampai ketemu.
Kearifan lokal itulah yang seharusnya menjadi nilai bersama untuk diterapkan sebagai pegangan masyarakat bangsa Indonesia di sini maupun daerah lainnya, menghadapi dinamika sosial dan pembangunan yang terus berlangsung dengan segala problematikanya.
"Demi Engkau wahai Tuhan tambatan hatiku, aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu akhirat, hidupku hanyalah memandang Mu sampai kembali hakikat tiadaku," ujar Idhan, aktivis di Lampung, mengakhiri sajak Emha itu pula.
Jangan biarkan lagi konflik sosial dan amuk massa kembali mengoyak tatanan sosial di Lampung ini....
Sumber: Antara, Rabu, 12 Desember 2012
No comments:
Post a Comment