Oleh Muhammad Harya Ramdhoni**
TABIK dan terima kasih kepada Udo Z Karzi yang telah memberi kehormatan
luar biasa dan kesempatan kepada seorang junior seperti saya untuk
menulis kata pengantar buku berbobot ini. Udo mulai dikenal sebagai
pengarang muda berbakat di Lampung di era 1990-an kala saya masih
ingusan dan berstatus siswa di SDN 2 Teladan, Rawa Laut. Rentang waktu
karier kepengarangan Udo Z. Karzi dengan percobaan saya mengarang secara
nekat dan tak tahu malu terbentang hampir 14 tahun lamanya. Itulah
mengapa saya amat teruja dengan kehormatan yang Udo berikan kepada saya
dalam menulis kata pengantar buku ini.
Membaca karya-karya Udo Z. Karzi, baik berupa puisi, esei maupun artikel adalah sama dengan menyelami hakikat masyarakat dan adab Lampung beserta beragam problematikanya yang khas dan unik. Sejak lebih dari dua puluh tahun silam Udo telah memulai usaha dan kerja kerasnya sebagai sebuah cita-cita luhur mengangkat harkat dan maruah bahasa dan tamadun Lampung. Mengapa bahasa dan tamadun? Sebab keduanya saling berhubung-kait. Kita dapat memulai mengkaji tamadun bangsa yang bernama Lampung dimulai dari bahasa dan aksaranya. Bahasa Lampung selain dipergunakan oleh sedikit orang di tempat-tempat tertentu juga memiliki kekhasan, keseksian, ketulenan, dan keistimewaan tersendiri. Ia merupakan warisan dari suatu zaman yang begitu purba, begitu kuno dan hampir tidak tergapai oleh imajinasi kita yang hidup di masa kini.
Silakan sidang pembaca mencari kata-kata bahasa Lampung berikut ini dari bahasa Nusantara lain (kecuali dari suku-suku bangsa di Sumsel temurun Sekala Brak seperti Minanga dan Kayu Agung yang masih menggunakannya): sumang (beda), gegoh (mirip), lehot (pesan), betungga (bertemu), kenui (elang), metong (kenyang), handak (putih), risok (sering), kahut (sayang), dan masih banyak kata-kata lainnya yang begitu unik dan purba. Sampai setakat ini, saya belum menjumpai kata-kata tersebut digunakan oleh suku-suku bangsa Melayu lainnya baik di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau di Semenanjung Malaya tempat saya bermastautin saat ini. Memang, terdapat banyak ayat dalam bahasa Lampung yang bisa kita temui dalam bahasa Melayu Malaysia seperti katil (ranjang) dan sudu (sendok). Namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kata-kata yang hanya ditemukan/masih digunakan oleh suku bangsa Lampung Sekala Brak dan keturunannya di saentro Lampung dan Sumatera Selatan.
Saya yakin Udo Z. Karzi sepakat dengan keyakinan saya bahwa bahasa Lampung memiliki sifat-sifat misterius yang masih belum selesai dikaji dan diteliti dengan baik. Dengan keterbatasan pengetahuan saya mengenai teori sastra dan bahasa, akan coba menghuraikan bagaimana hujahan tersebut bermula. Seperti yang dihuraikan Udo Z. Karzi dalam buku Feodalisme Modern ini bahwa terdapat kosakata bahasa Lampung yang mirip dengan kosakata dalam bahasa Talagalog di Filipina dan bahasa Melayu Banjar di Kalimantan. “Api Muneh?”, menyitir salah satu tajuk karya Udo Z Karzi dalam buku ini. Tapi ini adalah kenyataan yang tidak dapat ditampik. Disebabkan, lagi-lagi oleh ketidakpahaman saya mengenai teori sejarah diaspora bahasa Melayu di Nusantara, membuat saya sempat membuat analisis yang ngawur dan tidak layak dipercaya, “bahasa Lampung dan juga bahasa Melayu Sumatera berasal dari salah satu rumpun bahasa Tagalog dan rumpun bahasa Melayu Kalimantan/Borneo” seperti yang pernah dipaparkan oleh pakar bahasa Indonesia dan bahasa Melayu dari Universitas Naples L’Orientale, Italia Prof. Dr. Antonia Soriente (alumnus PhD Sastra Melayu ATMA Universitas Kebangsaan Malaysia) sempena kuliah umum di UKM pada 21 Februari 2013 yang lalu. Jadi bila mengikuti teori yang dihujahkan Prof. Antonia bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu modern berasal dari ibunda yang sama yaitu bahasa Melayu Dahayunik/Kenyah setelah melampaui evolusi selama, mungkin, ribuan tahun.
Akan tetapi teori Prof. Antonia ternyata telah lama dibantah oleh para pakar bahasa Melayu dari semenanjung tanah Melayu Malaysia sendiri. Setidaknya terdapat dua sanggahan/hipotesis dan sebuah fakta sejarah yang secara langsung maupun tidak langsung malah mengukuhkan sifat-sifat misterius, khas, unik, jenial dan tulen terhadap eksistensi bahasa dan tamadun Lampung.
Pertama, seorang peserta program Pasca Doctoral Filologi di Institute ATMA UKM yang menguasai dua lusin bahasa Nusantara telah menyatakan kepada saya pada medio 2005 bahwa bahasa Melayu Sumatera justru merupakan akar bahasa Melayu modern saat ini. Masalahnya kemudian, ujarnya, bahasa yang manakah di antara semua bahasa di Sumatera hingga kini yang merupakan Ibunda asali bahasa Melayu. Sang Filolog curiga bahwa bahasa Lampung yang kurang dikenal oleh mayoritas masyarakat Indonesia sebab tertelan oleh arus kedatangan transmigran dari luar Lampung dengan adab, bahasa dan budayanya justeru merupakan ibunda asali bahasa Melayu modern. Berdasarkan analisisnya terhadap bahasa Lampung, ia memiliki hujahan tersendiri mengenai sifat-sifat kepurbaan dan ketulenan bahasa itu yang masih kekal hingga kini.
Masih terngiang dalam ingatan saya ketika sang Filolog menampilkan hujahannya, “Saya menguasai dua lusin bahasa-bahasa Nusantara, tetapi baru kali ini saya bertemu dengan bahasa yang jauh lebih tua dibanding dengan apa yang sudah saya pelajari. Bahasa Lampung adalah keturunan langsung bahasa Sansekerta dengan sedikit perubahan. Saya curiga bahasa Lampung adalah ibunda bahasa Melayu, terutama di Sumatera.” Sampai di sini usaha dan ide Udo Z. Karzi menulis karya-karyanya dalam bahasa Lampung memiliki landasan yang kuat dan beralasan. Mak Dawah Mak Dibingi (2007) karya Udo yang ditulis sepenuhnya dalam bahasa Lampung dan memperoleh Hadiah Sastra Rancage 2008 sepatutnya merupakan tonggak yang mesti diapresiasi sebagai usaha melestarikan bahasa purba yang tulen ini.
Kedua, hipotesis kedua mengenai keunikan, ketulenan dan kecurigaan bahasa Lampung sebagai (salah satu) akar bahasa Melayu Sumatera (yang saya yakin telah lama pula dicurigai oleh Udo Z. Karzi) justru berasal dari seorang pakar bahasa Melayu bertenis Tionghoa, Prof. Dr. Ding Choo Ming dari Institute ATMA UKM yang amat disegani sebagai pakar bahasa dan peradaban Melayu di Malaysia. Prof. Ding menyoroti bahasa Lampung yang menggunakan huruf tersendiri dan ditulis dalam kulit kayu atau kulit hewan. Sementara media yang mempertemukan titah raja Sekala Brak dengan rakyatnya dilakukan melalui batu bertulis dengan menggunakan huruf Jawi dan berbahasa Melayu.
Apa yang dikatakan Prof. Ding adalah betul belaka. Hampir semua batu bertulis di bekas wilayah kerajaan Sekala Brak ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan berbahasa Melayu. Sementara itu, bahasa Lampung hanya digunakan oleh kalangan tertentu saja di dalam istana raja Sekala Brak. Menurut Prof. Ding, hal ini aneh dan unik sebab tidak ditemui dalam sejarah pentarikhan dan pembuatan batu bertulis di dunia Melayu yang konsisten menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa istana maupun bahasa pergaulan raja dengan rakyat atau rakyat jelata dengan sesamanya. Jika mencermati betapa kukuhnya bahasa Lampung hingga sekarang dengan hurufnya serta keberadaan bahasa Melayu yang kekal sebagai bahasa pergaulan sejak dulu di seluruh Lampung, Prof. Ding berhipotesis bahwa bahasa Melayu bukan berasal dari luar Sekala Brak. Ia bukan bahasa yang diimpor dari tamadun lain secara tiba-tiba sebagai bahasa pergaulan antara raja dengan rakyat atau rakyat dengan sesamanya. Bahasa Melayu Sumatera adalah anak kandung bahasa Lampung itu sendiri setelah melalui proses evolusi selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Saya terkejut bukan kepalang dengan hipotesis tersebut.
Saya berharap hipotesis mentah yang dilemparkan sebagai wacana baru ini dapat menjadi “makanan latihan otak” bagi para akademisi dan siapa saja yang peduli dengan tamadun dan budaya masyarakat Lampung. Syukur-syukur jika suatu hari nanti ada seorang gubernur atau bupati yang baik hati mau mendanai riset serius untuk membuktikan sejauhmana kebenaran atau bahkan kesilapan hipotesis mentah di atas. Atau tegakah kita membiarkan ilmuwan-ilmuwan pakar bahasa Melayu dari Malaysia berdatangan ke kaki Gunung Pesagi untuk membuktikan kebenaran hipotesis di atas? Saya curiga Prof. Ding telah memikirkan hal itu sebab salah satu obsesi terbesar beliau adalah mencari “ibu asli” bahasa Melayu modern yang hingga kini kekal menjadi bahan pertanyaan sebagian besar pakar peradaban Melayu di Malaysia yang berpikiran dan berhujah kritikal.
Ketiga, pengakuan jujur dan terbuka Sunan Keraton Surakarta Hadingrat mengenai keterkaitan dinasti-dinasti Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya sejak 1.500 tahun silam kepada Bapak Dalom Pangeran Edward Syah Pernong (Sultan Sekala Brak XXIII) sempena Festival Kraton Nusantara tahun 2006 yang silam di Solo cukup menggemparkan bagi Sang Sultan sendiri. Saat itu, Sunan Solo mengeluarkan sebuah naskah kuno berhuruf Pallawa mengenai keterkaitan tiga wangsa tersebut. Beliau menceritakan susur galur evolusi Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya sejak keluarnya Dapunta Sailendra (moyang Samaratungga pendiri Borobudur) dari dataran tinggi Sekala Brak sekitar 14-15 abad yang lalu hingga munculnya dinasti Sanjaya di Jawa Tengah yang kemudian menurunkan raja-raja Jawa hingga saat ini. Pak Dalom Pangeran Edward mengaku menyesal sekali kepada Yang Mulia Sunan Solo karena disebabkan kesibukan pekerjaan sebagai Wakapoltabes Palembang pernah tidak memenuhi undangan mendiang ayahanda Sunan Solo sekitar enam tahun sebelumnya. Kala itu, mendiang Sunan Solo mengirimkan pesan melalui orang kepercayaan beliau untuk mengundang Pak Dalom Pangeran Edward bertandang ke Solo. Bahasa yang digunakan mendiang Sunan pun teramat getir dan berbau sejarah sekali, “Sampaikan kepada Sultan Sekala Brak bahwa saudaranya dari Dinasti Sanjaya menunggu di Solo.”
Enam tahun kemudian Bapak Dalom Pangeran Edward Pernong baru sadar bahwa perkataan sang Sunan bukan sebuah lelucon belaka. Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya bukan sekadar mitologi ciptaan pujangga kemawasan. Ia adalah konstruksi adab dan sejarah yang telah berlangsung sejak belasan abad silam. Lagi-lagi saya harus menoleh dan memberi tabik kepada Udo Z. Karzi yang konsisten mengkampanyekan bahasa Lampung sebagai bahasa muasal adab. Udo berada di atas track yang benar sebab secara tidak langsung telah mendokumentasikan bahasa Lampung dengan cara-cara modern. Itulah pula kekurangan Sekala Brak di masa lampau yang tidak memiliki catatan lengkap dan hanya sepotong-sepotong mengenai diaspora wangsa dan tamadunnya. Akhirnya, yang hidup di bumi Sekala Brak adalah dongeng dan hikayat ajaib yang tidak bertapak kukuh pada alam pikir rasional. Sorry to say, orang gunung jadi makin terbelakang. Secara jujur dan tulus hati kita mesti mengakui bahwa Sailendra dan Sanjaya yang berleluhurkan Sekala Brak ternyata memiliki kapasitas yang lebih baik dalam hal usaha-usaha dokumentasi mengenai adab, tamadun dan leluhurnya sejak ribuan tahun silam. Saya tiba-tiba teringat pesan DN Aidit, bekas Ketua CC PKI: “Jawa adalah kunci!”
Di akhir kata pengantar ini, saya setuju dengan Udo Z. Karzi dalam buku ini bahwa feodalisme modern yang dilaungkan segelintir penjilat kepada para petinggi di provinsi Lampung sama sekali tidak bermanfaat, tidak produktif dan justru lebih banyak mudharatnya. Feodalisme jenis ini hanya akan melahirkan megaloman-megaloman baru dengan persfektif diri yang absurd dan terbelakang. Tamadun Lampung tidak cukup hanya dimaknai dengan gelar suttan, suntan, settan, kyai, pun, pangiran, dalom, atin, ratu, dan sebagainya. Adab Lampung bermula dari bahasa, tutur kata, huruf Lappung yang merupakan hasil evolusi entah berapa abad; dan juga tata hukum serta tata masyarakat yang menjadi asas bagi berdirinya masyarakat Lampung modern hingga setakat ini. Budaya Lampung seperti yang dikatakan Udo bukan sebuah barang dagangan untuk membikin-bikin proyek baru yang hanya bernuansa simbolik dan semakin menerbitkan perilaku kolutif dan korupsi di kalangan birokrasi pemerintahan. Budaya Lampung mesti dikembalikan kepada esensi jati diri dan sejarahnya sebagai usaha memahami ulun Lappung (seperti dihujahkan oleh Udo) itu sendiri beserta permasalahannya, termasuk setiap kontradiksi dalam dirinya dan tentu saja sebagai titik tolak untuk membangun Provinsi Lampung dan rakyatnya di masa hadapan.
Kepada Udo Z. Karzi, saya haturkan tabik yang setinggi-tingginya sebab tanpa segan silu melalui buku ini telah mengangkat derajat bahasa dan tamadun Lampung ke peringkat yang lebih tinggi dan terhormat. Saya yakin usaha dan kerja keras Udo bukan sesuatu hal yang sia-sia apalagi jika kelak terbukti bahwa ternyata “Api Muneh?” merupakan salah satu akar bahasa Melayu Sumatera. Tetaplah menjadi Guru kami, wahai Udo Z. Karzi. Anda layak disebut sebagai Pujangga Lampung Terakhir. Tetap pula berbangga hati dengan Api Muneh, gulai paku, bekasom, iwa tuhuk dan sambol tetos. Salam.
Kampus UKM Bangi, Selangor DE, Malaysia
3 April 2013
* Prolog untuk Udo Z. Karzi. 2013. Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan. Bandar Lampung: Indepth Publishing.
** Muhammad Harya Ramdhoni, dosen FISIP Universitas Lampung, kandidat PhD Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Sai Batin Marga Liwa, Paksi Pak SekalaBrak ini menulis novel sejarah Perempuan Penunggang Harimau (2011) dan kumpulan cerpen Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (2012).
Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan. Udo Z. Karzi Indepth Publishing I, April 2013 xii + 144 hlm |
Membaca karya-karya Udo Z. Karzi, baik berupa puisi, esei maupun artikel adalah sama dengan menyelami hakikat masyarakat dan adab Lampung beserta beragam problematikanya yang khas dan unik. Sejak lebih dari dua puluh tahun silam Udo telah memulai usaha dan kerja kerasnya sebagai sebuah cita-cita luhur mengangkat harkat dan maruah bahasa dan tamadun Lampung. Mengapa bahasa dan tamadun? Sebab keduanya saling berhubung-kait. Kita dapat memulai mengkaji tamadun bangsa yang bernama Lampung dimulai dari bahasa dan aksaranya. Bahasa Lampung selain dipergunakan oleh sedikit orang di tempat-tempat tertentu juga memiliki kekhasan, keseksian, ketulenan, dan keistimewaan tersendiri. Ia merupakan warisan dari suatu zaman yang begitu purba, begitu kuno dan hampir tidak tergapai oleh imajinasi kita yang hidup di masa kini.
Silakan sidang pembaca mencari kata-kata bahasa Lampung berikut ini dari bahasa Nusantara lain (kecuali dari suku-suku bangsa di Sumsel temurun Sekala Brak seperti Minanga dan Kayu Agung yang masih menggunakannya): sumang (beda), gegoh (mirip), lehot (pesan), betungga (bertemu), kenui (elang), metong (kenyang), handak (putih), risok (sering), kahut (sayang), dan masih banyak kata-kata lainnya yang begitu unik dan purba. Sampai setakat ini, saya belum menjumpai kata-kata tersebut digunakan oleh suku-suku bangsa Melayu lainnya baik di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi atau di Semenanjung Malaya tempat saya bermastautin saat ini. Memang, terdapat banyak ayat dalam bahasa Lampung yang bisa kita temui dalam bahasa Melayu Malaysia seperti katil (ranjang) dan sudu (sendok). Namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kata-kata yang hanya ditemukan/masih digunakan oleh suku bangsa Lampung Sekala Brak dan keturunannya di saentro Lampung dan Sumatera Selatan.
Saya yakin Udo Z. Karzi sepakat dengan keyakinan saya bahwa bahasa Lampung memiliki sifat-sifat misterius yang masih belum selesai dikaji dan diteliti dengan baik. Dengan keterbatasan pengetahuan saya mengenai teori sastra dan bahasa, akan coba menghuraikan bagaimana hujahan tersebut bermula. Seperti yang dihuraikan Udo Z. Karzi dalam buku Feodalisme Modern ini bahwa terdapat kosakata bahasa Lampung yang mirip dengan kosakata dalam bahasa Talagalog di Filipina dan bahasa Melayu Banjar di Kalimantan. “Api Muneh?”, menyitir salah satu tajuk karya Udo Z Karzi dalam buku ini. Tapi ini adalah kenyataan yang tidak dapat ditampik. Disebabkan, lagi-lagi oleh ketidakpahaman saya mengenai teori sejarah diaspora bahasa Melayu di Nusantara, membuat saya sempat membuat analisis yang ngawur dan tidak layak dipercaya, “bahasa Lampung dan juga bahasa Melayu Sumatera berasal dari salah satu rumpun bahasa Tagalog dan rumpun bahasa Melayu Kalimantan/Borneo” seperti yang pernah dipaparkan oleh pakar bahasa Indonesia dan bahasa Melayu dari Universitas Naples L’Orientale, Italia Prof. Dr. Antonia Soriente (alumnus PhD Sastra Melayu ATMA Universitas Kebangsaan Malaysia) sempena kuliah umum di UKM pada 21 Februari 2013 yang lalu. Jadi bila mengikuti teori yang dihujahkan Prof. Antonia bahwa bahasa Indonesia dan bahasa Melayu modern berasal dari ibunda yang sama yaitu bahasa Melayu Dahayunik/Kenyah setelah melampaui evolusi selama, mungkin, ribuan tahun.
Akan tetapi teori Prof. Antonia ternyata telah lama dibantah oleh para pakar bahasa Melayu dari semenanjung tanah Melayu Malaysia sendiri. Setidaknya terdapat dua sanggahan/hipotesis dan sebuah fakta sejarah yang secara langsung maupun tidak langsung malah mengukuhkan sifat-sifat misterius, khas, unik, jenial dan tulen terhadap eksistensi bahasa dan tamadun Lampung.
Pertama, seorang peserta program Pasca Doctoral Filologi di Institute ATMA UKM yang menguasai dua lusin bahasa Nusantara telah menyatakan kepada saya pada medio 2005 bahwa bahasa Melayu Sumatera justru merupakan akar bahasa Melayu modern saat ini. Masalahnya kemudian, ujarnya, bahasa yang manakah di antara semua bahasa di Sumatera hingga kini yang merupakan Ibunda asali bahasa Melayu. Sang Filolog curiga bahwa bahasa Lampung yang kurang dikenal oleh mayoritas masyarakat Indonesia sebab tertelan oleh arus kedatangan transmigran dari luar Lampung dengan adab, bahasa dan budayanya justeru merupakan ibunda asali bahasa Melayu modern. Berdasarkan analisisnya terhadap bahasa Lampung, ia memiliki hujahan tersendiri mengenai sifat-sifat kepurbaan dan ketulenan bahasa itu yang masih kekal hingga kini.
Masih terngiang dalam ingatan saya ketika sang Filolog menampilkan hujahannya, “Saya menguasai dua lusin bahasa-bahasa Nusantara, tetapi baru kali ini saya bertemu dengan bahasa yang jauh lebih tua dibanding dengan apa yang sudah saya pelajari. Bahasa Lampung adalah keturunan langsung bahasa Sansekerta dengan sedikit perubahan. Saya curiga bahasa Lampung adalah ibunda bahasa Melayu, terutama di Sumatera.” Sampai di sini usaha dan ide Udo Z. Karzi menulis karya-karyanya dalam bahasa Lampung memiliki landasan yang kuat dan beralasan. Mak Dawah Mak Dibingi (2007) karya Udo yang ditulis sepenuhnya dalam bahasa Lampung dan memperoleh Hadiah Sastra Rancage 2008 sepatutnya merupakan tonggak yang mesti diapresiasi sebagai usaha melestarikan bahasa purba yang tulen ini.
Kedua, hipotesis kedua mengenai keunikan, ketulenan dan kecurigaan bahasa Lampung sebagai (salah satu) akar bahasa Melayu Sumatera (yang saya yakin telah lama pula dicurigai oleh Udo Z. Karzi) justru berasal dari seorang pakar bahasa Melayu bertenis Tionghoa, Prof. Dr. Ding Choo Ming dari Institute ATMA UKM yang amat disegani sebagai pakar bahasa dan peradaban Melayu di Malaysia. Prof. Ding menyoroti bahasa Lampung yang menggunakan huruf tersendiri dan ditulis dalam kulit kayu atau kulit hewan. Sementara media yang mempertemukan titah raja Sekala Brak dengan rakyatnya dilakukan melalui batu bertulis dengan menggunakan huruf Jawi dan berbahasa Melayu.
Apa yang dikatakan Prof. Ding adalah betul belaka. Hampir semua batu bertulis di bekas wilayah kerajaan Sekala Brak ditulis dengan menggunakan huruf Jawa dan berbahasa Melayu. Sementara itu, bahasa Lampung hanya digunakan oleh kalangan tertentu saja di dalam istana raja Sekala Brak. Menurut Prof. Ding, hal ini aneh dan unik sebab tidak ditemui dalam sejarah pentarikhan dan pembuatan batu bertulis di dunia Melayu yang konsisten menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa istana maupun bahasa pergaulan raja dengan rakyat atau rakyat jelata dengan sesamanya. Jika mencermati betapa kukuhnya bahasa Lampung hingga sekarang dengan hurufnya serta keberadaan bahasa Melayu yang kekal sebagai bahasa pergaulan sejak dulu di seluruh Lampung, Prof. Ding berhipotesis bahwa bahasa Melayu bukan berasal dari luar Sekala Brak. Ia bukan bahasa yang diimpor dari tamadun lain secara tiba-tiba sebagai bahasa pergaulan antara raja dengan rakyat atau rakyat dengan sesamanya. Bahasa Melayu Sumatera adalah anak kandung bahasa Lampung itu sendiri setelah melalui proses evolusi selama ratusan atau bahkan ribuan tahun. Saya terkejut bukan kepalang dengan hipotesis tersebut.
Saya berharap hipotesis mentah yang dilemparkan sebagai wacana baru ini dapat menjadi “makanan latihan otak” bagi para akademisi dan siapa saja yang peduli dengan tamadun dan budaya masyarakat Lampung. Syukur-syukur jika suatu hari nanti ada seorang gubernur atau bupati yang baik hati mau mendanai riset serius untuk membuktikan sejauhmana kebenaran atau bahkan kesilapan hipotesis mentah di atas. Atau tegakah kita membiarkan ilmuwan-ilmuwan pakar bahasa Melayu dari Malaysia berdatangan ke kaki Gunung Pesagi untuk membuktikan kebenaran hipotesis di atas? Saya curiga Prof. Ding telah memikirkan hal itu sebab salah satu obsesi terbesar beliau adalah mencari “ibu asli” bahasa Melayu modern yang hingga kini kekal menjadi bahan pertanyaan sebagian besar pakar peradaban Melayu di Malaysia yang berpikiran dan berhujah kritikal.
Ketiga, pengakuan jujur dan terbuka Sunan Keraton Surakarta Hadingrat mengenai keterkaitan dinasti-dinasti Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya sejak 1.500 tahun silam kepada Bapak Dalom Pangeran Edward Syah Pernong (Sultan Sekala Brak XXIII) sempena Festival Kraton Nusantara tahun 2006 yang silam di Solo cukup menggemparkan bagi Sang Sultan sendiri. Saat itu, Sunan Solo mengeluarkan sebuah naskah kuno berhuruf Pallawa mengenai keterkaitan tiga wangsa tersebut. Beliau menceritakan susur galur evolusi Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya sejak keluarnya Dapunta Sailendra (moyang Samaratungga pendiri Borobudur) dari dataran tinggi Sekala Brak sekitar 14-15 abad yang lalu hingga munculnya dinasti Sanjaya di Jawa Tengah yang kemudian menurunkan raja-raja Jawa hingga saat ini. Pak Dalom Pangeran Edward mengaku menyesal sekali kepada Yang Mulia Sunan Solo karena disebabkan kesibukan pekerjaan sebagai Wakapoltabes Palembang pernah tidak memenuhi undangan mendiang ayahanda Sunan Solo sekitar enam tahun sebelumnya. Kala itu, mendiang Sunan Solo mengirimkan pesan melalui orang kepercayaan beliau untuk mengundang Pak Dalom Pangeran Edward bertandang ke Solo. Bahasa yang digunakan mendiang Sunan pun teramat getir dan berbau sejarah sekali, “Sampaikan kepada Sultan Sekala Brak bahwa saudaranya dari Dinasti Sanjaya menunggu di Solo.”
Enam tahun kemudian Bapak Dalom Pangeran Edward Pernong baru sadar bahwa perkataan sang Sunan bukan sebuah lelucon belaka. Sekala Brak-Sailendra-Sanjaya bukan sekadar mitologi ciptaan pujangga kemawasan. Ia adalah konstruksi adab dan sejarah yang telah berlangsung sejak belasan abad silam. Lagi-lagi saya harus menoleh dan memberi tabik kepada Udo Z. Karzi yang konsisten mengkampanyekan bahasa Lampung sebagai bahasa muasal adab. Udo berada di atas track yang benar sebab secara tidak langsung telah mendokumentasikan bahasa Lampung dengan cara-cara modern. Itulah pula kekurangan Sekala Brak di masa lampau yang tidak memiliki catatan lengkap dan hanya sepotong-sepotong mengenai diaspora wangsa dan tamadunnya. Akhirnya, yang hidup di bumi Sekala Brak adalah dongeng dan hikayat ajaib yang tidak bertapak kukuh pada alam pikir rasional. Sorry to say, orang gunung jadi makin terbelakang. Secara jujur dan tulus hati kita mesti mengakui bahwa Sailendra dan Sanjaya yang berleluhurkan Sekala Brak ternyata memiliki kapasitas yang lebih baik dalam hal usaha-usaha dokumentasi mengenai adab, tamadun dan leluhurnya sejak ribuan tahun silam. Saya tiba-tiba teringat pesan DN Aidit, bekas Ketua CC PKI: “Jawa adalah kunci!”
Di akhir kata pengantar ini, saya setuju dengan Udo Z. Karzi dalam buku ini bahwa feodalisme modern yang dilaungkan segelintir penjilat kepada para petinggi di provinsi Lampung sama sekali tidak bermanfaat, tidak produktif dan justru lebih banyak mudharatnya. Feodalisme jenis ini hanya akan melahirkan megaloman-megaloman baru dengan persfektif diri yang absurd dan terbelakang. Tamadun Lampung tidak cukup hanya dimaknai dengan gelar suttan, suntan, settan, kyai, pun, pangiran, dalom, atin, ratu, dan sebagainya. Adab Lampung bermula dari bahasa, tutur kata, huruf Lappung yang merupakan hasil evolusi entah berapa abad; dan juga tata hukum serta tata masyarakat yang menjadi asas bagi berdirinya masyarakat Lampung modern hingga setakat ini. Budaya Lampung seperti yang dikatakan Udo bukan sebuah barang dagangan untuk membikin-bikin proyek baru yang hanya bernuansa simbolik dan semakin menerbitkan perilaku kolutif dan korupsi di kalangan birokrasi pemerintahan. Budaya Lampung mesti dikembalikan kepada esensi jati diri dan sejarahnya sebagai usaha memahami ulun Lappung (seperti dihujahkan oleh Udo) itu sendiri beserta permasalahannya, termasuk setiap kontradiksi dalam dirinya dan tentu saja sebagai titik tolak untuk membangun Provinsi Lampung dan rakyatnya di masa hadapan.
Kepada Udo Z. Karzi, saya haturkan tabik yang setinggi-tingginya sebab tanpa segan silu melalui buku ini telah mengangkat derajat bahasa dan tamadun Lampung ke peringkat yang lebih tinggi dan terhormat. Saya yakin usaha dan kerja keras Udo bukan sesuatu hal yang sia-sia apalagi jika kelak terbukti bahwa ternyata “Api Muneh?” merupakan salah satu akar bahasa Melayu Sumatera. Tetaplah menjadi Guru kami, wahai Udo Z. Karzi. Anda layak disebut sebagai Pujangga Lampung Terakhir. Tetap pula berbangga hati dengan Api Muneh, gulai paku, bekasom, iwa tuhuk dan sambol tetos. Salam.
Kampus UKM Bangi, Selangor DE, Malaysia
3 April 2013
* Prolog untuk Udo Z. Karzi. 2013. Feodalisme Modern: Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan. Bandar Lampung: Indepth Publishing.
** Muhammad Harya Ramdhoni, dosen FISIP Universitas Lampung, kandidat PhD Ilmu Politik Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Sai Batin Marga Liwa, Paksi Pak SekalaBrak ini menulis novel sejarah Perempuan Penunggang Harimau (2011) dan kumpulan cerpen Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (2012).
smangat terus mas...! perjuangken adat kito..:)
ReplyDelete