Data buku
Feodalisme Modern, Wacana Kritis
tentang Lampung dan Kelampungan
Udo Z Karzi
xii + 144
halamanIndepth Publishing, Bandar Lampung I, April 2013 |
HARUS diakui bahwa pembicaraan tentang Lampung sebagai etnis (ethnic) yang inhern di
dalamnya masyarakat (society), bahasa (language),
sastra (literature), kesenian (art), adat-istiadat (customs) , kebiasaan (habit), dan segala sesuatu
yang berkaitan dengan kebudayaan (culture)
Lampung yang mahakompleks; boleh dikatakan sangat minim. Dalam skala nasional,
kebudayaan Lampung boleh dibilang selalu luput dari perhatian.
Berangkat dari kondisi yang serba memprihatinkan itu, buku Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan ini memiliki relevansi yang signifikan bagi upaya pemartabatan ulun Lampung dan kebudayaannya. Melalui buku ini, Udo menggugat empat hal besar mengenai Lampung dan kelampungan, yaitu kebudayaan Lampung, sastra Lampung, bahasa Lampung, dan literasi Lampung.
Secara gamblang, Udo memaparkan fenomena yang terjadi tentang Lampung dan kelampungan yang kini hadir di tengah-tengah masyarakat Lampung. Sebagai pemantik, masyarakat - khususnya ulun Lampung- harus mau menerima setiap kritik sebagaimana Udo melakukan otokritik kepada dirinya sendiri (ulun Lampung) untuk kemajuan pesat di Bumi Ruwa Jurai tercinta. Gaya bahasa buku yang ditulis secara populer pun menambah kajian budaya - yang terkesan berat - semakin menarik untuk diikuti. Bahasa atau pun tuturan Udo yang tanpa tedeng aling-aling menyoroti persoalan Lampung dan kelampungan benar-benar menohok sesiapa saja tanpa terkecuali.
Sebagai buku bernuansa budaya Lampung, buku Udo menambah khazanah kepustakaan Lampung semakin kaya dan beragam. Di tangan Udo, persoalan budaya yang berat-berat itu, terasa mudah. Hampir tak ada cela yang bisa dilihat dari buku redaktur opini dan budaya Lampung Post ini. Hanya tabik yang setinggi-tingginya bisa diberikan kepada Udo yang sudah memberikan karya dan pemikrannya untuk kemajuan Lampung ke depannya. Udo sudah bercerita kepada kita, lalu bagaimana dengan kita?
Buyung Ridwan, penikmat buku tinggal di Panjang, Lampung
Pertanyaan yang cukup keras adalah benarkah apa yang disebut dengan
kebudayaan Lampung itu ada. Bukankah yang muncul di permukaan selama lebih seremoni-seremoni
yang cenderung simbolik dan jauh dari esensi dari keberadaan adat (baca:
kebudayaan) Lampung itu sendiri? Yang lebih kelihatan dari ulun Lampung adalah klaim-klaim pihak-pihak
tertentu atau sebaliknya, acap kali ada tendensi untuk meniadakan kebudayaan
Lampung. Dan, yang paling sering adalah pemaknaan sporadis dan “menyesatkan”
dari adat Lampung itu sendiri.
Berangkat dari kondisi yang serba memprihatinkan itu, buku Feodalisme Modern, Wacana Kritis tentang Lampung dan Kelampungan ini memiliki relevansi yang signifikan bagi upaya pemartabatan ulun Lampung dan kebudayaannya. Melalui buku ini, Udo menggugat empat hal besar mengenai Lampung dan kelampungan, yaitu kebudayaan Lampung, sastra Lampung, bahasa Lampung, dan literasi Lampung.
Yang paling
terbuka, pada sampul penutup buku ini misalnya. Di situ Udo sudah langsung mempersoalkan
tentang gampangnya kaum elite (tokoh adat?) Lampung memberikan gelar adat atau adok kepada pejabat dalam di berbagai
kesempatan. Di sisi lain ada kesan para pejabat di tingkat lokal, nasional,
bahkan pihak asing seperti gemar berburu adok.
Tentang
kebudayaan Lampung, Udo membongkar semua hal yang terkesan remeh dan jarang
dipersoalkan, menjadi soal yang lebih terbuka untuk dikritisi, mulai dari istilah
ulun Lampung sampai feodalisme modern
di Lampung. Buku ini membuka “luka-luka budaya” yang mesti diobati oleh
seluruh masyarakat Lampung.
Tentang sastra Lampung, Udo yang meraih Hadiah Sastra Rancage 2008 menggambarkan bagaimana potensi sastra (berbahasa) Lampung yang terabaikan. Sastra Lampung tak ubahnya kerakap di atas batu hidup segan mati tak mau. Keberadaan sastra Lampung seperti kehilangan generasi penerus (lost the next generation) sangat menarik untuk diselami lebih dalam. Dengan bahasa yang lincah dan mengalir Udo menunjukkan kepada kita bagaimana sastra tradisional Lampung yang mulai dilupakan sementara sastra modern Lampung berjalan terseok-seok.
Tentang sastra Lampung, Udo yang meraih Hadiah Sastra Rancage 2008 menggambarkan bagaimana potensi sastra (berbahasa) Lampung yang terabaikan. Sastra Lampung tak ubahnya kerakap di atas batu hidup segan mati tak mau. Keberadaan sastra Lampung seperti kehilangan generasi penerus (lost the next generation) sangat menarik untuk diselami lebih dalam. Dengan bahasa yang lincah dan mengalir Udo menunjukkan kepada kita bagaimana sastra tradisional Lampung yang mulai dilupakan sementara sastra modern Lampung berjalan terseok-seok.
Senasib
sepenanggungan dengan sastra, bahasa Lampung juga dalam keadaan mengenaskan.
Bahasa Lampung semakin terpinggirkan. Jika tidak ada strategi yang tepat dan
para pihak masih sibuk menjalankan program-program yang justru makin menjauhkan
masyarakat dari bahasa Lampung, bukan tidak mungkin apa yang disampaikan pakar
sosiolinguistik UI Asim Gunarwan (1999) bahwa bahasa Lampung bisa punah dalam
tiga-empat generasi atau 75-100 tahun akan menemui realitas. Keengganan
masyarakat Lampung untuk berbahasa Lampung dalam berbagai situasi dan kondisi
menjadi sorotan tajam.
Buku ini mengingatkan pentingnya untuk terus membangun komunikasi lisan dengan bahasa Lampung, baik penutur yang menggunakan dialek api (a) maupun dialek nyo (o). Dan kalau sudah begitu, menurut Udo, lama-kelamaan lahirlah bahasa Lampung yang dipahami oleh semua penutur bahasa Lampung dari subdialek mana pun (hlm. 111). Bahasa Lampung, tulis Udo, penopang utama kebudayaan Lampung. "Bahasa Lampung punah, kiamatlah kebudayaan Lampung" (hlm. 101).
Terakhir soal literasi Lampung, Udo menyoroti minimnya buku yang lahir dari orang Lampung. Apatah lagi buku berbahasa Lampung. Di tengah kelangkaan referensi mengenai Lampung, Udo berupaya menghimpun hal ihwal kelampungan dalam blognya: http://ulunlampung.blogspot.com. Di situs tersebut, Udo merangkai segala hal tentang Lampung dan kelampungan.
Udo juga menekankan pentingnya tradisi baru. Sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage rutin memberikan hadiah Rancage untuk sastra bahasa Sunda, Jawa, Bali, Lampung. Apa artinya? Lampung mau tidak mau harus menerbitkan buku sastra Lampung minimal satu buku satu tahun. Memahami kondisi demikian, Udo menyarankan pemerintah daerah, penerbit buku, perguruan tinggi, usahawan, sastrawan, dan masyarakat Lampung mau menyisihkan waktu, tenaga, serta dana untuk membangun tradisi bahasa dan sastra Lampung: menulis dan menerbitkan sastra Lampung (hlm. 119). Buku bacaan, termasuk kamus bahasa Lampung adalah hal-hal yang memperkuat keberadaan bahasa-sastra-budaya Lampung.
Buku ini mengingatkan pentingnya untuk terus membangun komunikasi lisan dengan bahasa Lampung, baik penutur yang menggunakan dialek api (a) maupun dialek nyo (o). Dan kalau sudah begitu, menurut Udo, lama-kelamaan lahirlah bahasa Lampung yang dipahami oleh semua penutur bahasa Lampung dari subdialek mana pun (hlm. 111). Bahasa Lampung, tulis Udo, penopang utama kebudayaan Lampung. "Bahasa Lampung punah, kiamatlah kebudayaan Lampung" (hlm. 101).
Terakhir soal literasi Lampung, Udo menyoroti minimnya buku yang lahir dari orang Lampung. Apatah lagi buku berbahasa Lampung. Di tengah kelangkaan referensi mengenai Lampung, Udo berupaya menghimpun hal ihwal kelampungan dalam blognya: http://ulunlampung.blogspot.com. Di situs tersebut, Udo merangkai segala hal tentang Lampung dan kelampungan.
Udo juga menekankan pentingnya tradisi baru. Sejak 2008 Yayasan Kebudayaan Rancage rutin memberikan hadiah Rancage untuk sastra bahasa Sunda, Jawa, Bali, Lampung. Apa artinya? Lampung mau tidak mau harus menerbitkan buku sastra Lampung minimal satu buku satu tahun. Memahami kondisi demikian, Udo menyarankan pemerintah daerah, penerbit buku, perguruan tinggi, usahawan, sastrawan, dan masyarakat Lampung mau menyisihkan waktu, tenaga, serta dana untuk membangun tradisi bahasa dan sastra Lampung: menulis dan menerbitkan sastra Lampung (hlm. 119). Buku bacaan, termasuk kamus bahasa Lampung adalah hal-hal yang memperkuat keberadaan bahasa-sastra-budaya Lampung.
Secara gamblang, Udo memaparkan fenomena yang terjadi tentang Lampung dan kelampungan yang kini hadir di tengah-tengah masyarakat Lampung. Sebagai pemantik, masyarakat - khususnya ulun Lampung- harus mau menerima setiap kritik sebagaimana Udo melakukan otokritik kepada dirinya sendiri (ulun Lampung) untuk kemajuan pesat di Bumi Ruwa Jurai tercinta. Gaya bahasa buku yang ditulis secara populer pun menambah kajian budaya - yang terkesan berat - semakin menarik untuk diikuti. Bahasa atau pun tuturan Udo yang tanpa tedeng aling-aling menyoroti persoalan Lampung dan kelampungan benar-benar menohok sesiapa saja tanpa terkecuali.
Sebagai buku bernuansa budaya Lampung, buku Udo menambah khazanah kepustakaan Lampung semakin kaya dan beragam. Di tangan Udo, persoalan budaya yang berat-berat itu, terasa mudah. Hampir tak ada cela yang bisa dilihat dari buku redaktur opini dan budaya Lampung Post ini. Hanya tabik yang setinggi-tingginya bisa diberikan kepada Udo yang sudah memberikan karya dan pemikrannya untuk kemajuan Lampung ke depannya. Udo sudah bercerita kepada kita, lalu bagaimana dengan kita?
Buyung Ridwan, penikmat buku tinggal di Panjang, Lampung
No comments:
Post a Comment