MEMBACA karya enam cerpenis Lampung yang terhimpun dalam antologi Kawin Massal seperti menelusuri setiap renik yang ada di Tanah Lada ini. Meski tak semua cerpen bernuansa lokal, bagaimanapun isinya mencercap dari segala ruah peristiwa yang terjadi di Ruwa Jurai ini. Menelusuri peristiwa demi peristiwa membuat kita mendapat tiupan energi lain meski kekuatannya tak membahana.
F. Moses menyuguhkan sisi wabah yang mendunia, terorisme, tapi tetap saja tak lepas dari provinsi ini. Karena Lampung diklaim sebagai salah satu tempat aman bagi para pembuat onar tersebut. Moses seperti hendak mengatakan bahwa teroris bagaimanapun sangat mungkin berada di sekeliling kita, bahkan sangat dekat dengan kita.
Ia bahkan bisa merasuk kepada orang-orang yang kita cintai, keluarga, saudara, kekasih, atau sahabat dekat. Dan cerpen Belajar bercerita tentang tokoh fiktif belaka yang di antaranya bernama Kasdi, membuat kita semakin terteror dengan wabah terorisme.
Berbeda dengan cerpen Moses lainnya yang sedikit berbau melankolis dan mengeruk emosi, karena setiap kita pasti mempunyai ibu dan sayang kepadanya. Dan pada di sajak Ibu Namaku Disebut, Moses mengajak kita mengaduk-aduk rasa.
Berbeda dengan Moses, Ika Nur
liana menceritakan peliknya rumah tangga saat dilanda kemelut. Ika menjlentrehkan perang bating sepasang suami-istri yang galau, anatar bercerai dan mempertahankan keutuhan rumah tangga. Ini seperti menjadi satir bagi banyaknya kasus perceraian di Lampung khususnya dan Indonesia lebih luas lagi.
Di cerpen lain, Ika mencoba memunculkan fenomena yang banyak terjadi di zaman ini. Seorang adik harus menikah lebih dulu meski kakak perempuannya belum menikah. Hal ini dulu dianggap sebagai tindakan tabu yang tidak pantas. Dan ternyata, di zaman yang banyak menafikan ketabuan, masih ada beberapa gelintir orang yang menjaganya. Meski ongkos semua itu sangat mahal, yaitu nyawa.
Sedangkan Muhammad Amin membawa kita ke zaman lalu, saat mitologi masih begitu subur. Penggalan cerita demi cerita tentang batu yang hidup di masa lalu, dihadirkannya dengan begitu piawai sehingga seperti masih nyata di hari ini. Membacanya membuat kita mencecap kebijaksanaan dari umpu tuyuk orang Lampung.
Begitu pun pada cerpen Pemetik Dadi, M. Amin menguras emosi kita akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang dilambangkan dengan pemuda pemetik dadi. Ya..kita telah kehilangan keindahan, keselarasan, kemasyukan dengan seni budaya agung nenek moyang kita. Tinggallah zaman yang lembap dan riuh dengan seni yang bukan milik kita. Seni yang asing tapi dipaksa memerkosa budaya luhur kita. Meski semula terpaksa, kini generasi baru menikmatinya dan mengganggap miliknya.
S.W. Teofani lain lagi, dengan gaya monolog, dia membuncahkan kesenduan alam yang dihancurkan oleh zaman yang semakin kapitalis. Kearifan lokal dan kesejukan semesta menjadi hal yang tak dihargai. Semua terkalahkan oleh kebijakan pemerintah yang punya pandangan kapitalisme.
Pada ceritanya yang lain, Teofani mencoba mendedah zaman lampau dengan mendeskripsikan gebalau hati R.A Kartini dengan perbandingan pejuang lain dari Sumatera Barat, Rohana Kudus. Meski monolog imajiner, cerita yang disuguhkannya berdasar fakta sejarah. Sepertinya Teofani ingin mengkritik sejarah secara diam-diam.
Sedangkan Yuli Nugrahani mengangkat masyarakat miskin kota yang kesulitan untuk mengikuti acara kawin massal. Yuli seperti ingin mempertontonkan realitas pilu di masyarakat perkotaan yang juga terjadi di Tanjungkarang, sebagai kotanya Lampung. Pada cerpen Sebelum Pulang, Yuli pun ingin menyuguhkan realitas kehidupan kini yang serbasibuk, sehingga sulit bagi sebuah keluarga untuk mengurus anggota yang sudah tua sekalipun.
Dengan membaca cerpen Yulizar Fadli, kita dibawa ke sebuah kampung kecubung di mana pemudanya banyak yang mabuk kecubung, sebagai pengganti minuman beralkohol yang digandrungi kaum muda. Yulizar mencoba menyuguhkan realitas kini di mana daerah kampung pun sudah dimasuki obat-obat terlarang, dan masih banyak yang menggunakan tanaman tradisional sebagai pengganti, kecubung.
Pada cerpen penutup, Makam Keramat, Yulizar masih mengajak kita menengok realitas pemuda kamupung yang ingin mendapatkan keinginannya dengan cara cepat. Ya.. mereka tak punya cara lain selain membongkar kuburan China yang konon juga dipendam bersama harta-hartanya yang berlimpah. Tapi berhasilkah mereka? Tidak.
Membaca buku ini membuat kita penasaran, dan membacanya membuat kita mendapat beragam realitas yang dikemas dalam cerita.
Darojat Gustian Syafaat, penikmat sastra, kini sebagai pengasuh Pusat Pendidikan Islam Al Fatih, Jatimulyo.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Januari 2014
F. Moses menyuguhkan sisi wabah yang mendunia, terorisme, tapi tetap saja tak lepas dari provinsi ini. Karena Lampung diklaim sebagai salah satu tempat aman bagi para pembuat onar tersebut. Moses seperti hendak mengatakan bahwa teroris bagaimanapun sangat mungkin berada di sekeliling kita, bahkan sangat dekat dengan kita.
Ia bahkan bisa merasuk kepada orang-orang yang kita cintai, keluarga, saudara, kekasih, atau sahabat dekat. Dan cerpen Belajar bercerita tentang tokoh fiktif belaka yang di antaranya bernama Kasdi, membuat kita semakin terteror dengan wabah terorisme.
Berbeda dengan cerpen Moses lainnya yang sedikit berbau melankolis dan mengeruk emosi, karena setiap kita pasti mempunyai ibu dan sayang kepadanya. Dan pada di sajak Ibu Namaku Disebut, Moses mengajak kita mengaduk-aduk rasa.
Berbeda dengan Moses, Ika Nur
Di cerpen lain, Ika mencoba memunculkan fenomena yang banyak terjadi di zaman ini. Seorang adik harus menikah lebih dulu meski kakak perempuannya belum menikah. Hal ini dulu dianggap sebagai tindakan tabu yang tidak pantas. Dan ternyata, di zaman yang banyak menafikan ketabuan, masih ada beberapa gelintir orang yang menjaganya. Meski ongkos semua itu sangat mahal, yaitu nyawa.
Sedangkan Muhammad Amin membawa kita ke zaman lalu, saat mitologi masih begitu subur. Penggalan cerita demi cerita tentang batu yang hidup di masa lalu, dihadirkannya dengan begitu piawai sehingga seperti masih nyata di hari ini. Membacanya membuat kita mencecap kebijaksanaan dari umpu tuyuk orang Lampung.
Begitu pun pada cerpen Pemetik Dadi, M. Amin menguras emosi kita akan kehilangan sesuatu yang sangat berharga yang dilambangkan dengan pemuda pemetik dadi. Ya..kita telah kehilangan keindahan, keselarasan, kemasyukan dengan seni budaya agung nenek moyang kita. Tinggallah zaman yang lembap dan riuh dengan seni yang bukan milik kita. Seni yang asing tapi dipaksa memerkosa budaya luhur kita. Meski semula terpaksa, kini generasi baru menikmatinya dan mengganggap miliknya.
S.W. Teofani lain lagi, dengan gaya monolog, dia membuncahkan kesenduan alam yang dihancurkan oleh zaman yang semakin kapitalis. Kearifan lokal dan kesejukan semesta menjadi hal yang tak dihargai. Semua terkalahkan oleh kebijakan pemerintah yang punya pandangan kapitalisme.
Pada ceritanya yang lain, Teofani mencoba mendedah zaman lampau dengan mendeskripsikan gebalau hati R.A Kartini dengan perbandingan pejuang lain dari Sumatera Barat, Rohana Kudus. Meski monolog imajiner, cerita yang disuguhkannya berdasar fakta sejarah. Sepertinya Teofani ingin mengkritik sejarah secara diam-diam.
Sedangkan Yuli Nugrahani mengangkat masyarakat miskin kota yang kesulitan untuk mengikuti acara kawin massal. Yuli seperti ingin mempertontonkan realitas pilu di masyarakat perkotaan yang juga terjadi di Tanjungkarang, sebagai kotanya Lampung. Pada cerpen Sebelum Pulang, Yuli pun ingin menyuguhkan realitas kehidupan kini yang serbasibuk, sehingga sulit bagi sebuah keluarga untuk mengurus anggota yang sudah tua sekalipun.
Dengan membaca cerpen Yulizar Fadli, kita dibawa ke sebuah kampung kecubung di mana pemudanya banyak yang mabuk kecubung, sebagai pengganti minuman beralkohol yang digandrungi kaum muda. Yulizar mencoba menyuguhkan realitas kini di mana daerah kampung pun sudah dimasuki obat-obat terlarang, dan masih banyak yang menggunakan tanaman tradisional sebagai pengganti, kecubung.
Pada cerpen penutup, Makam Keramat, Yulizar masih mengajak kita menengok realitas pemuda kamupung yang ingin mendapatkan keinginannya dengan cara cepat. Ya.. mereka tak punya cara lain selain membongkar kuburan China yang konon juga dipendam bersama harta-hartanya yang berlimpah. Tapi berhasilkah mereka? Tidak.
Membaca buku ini membuat kita penasaran, dan membacanya membuat kita mendapat beragam realitas yang dikemas dalam cerita.
Darojat Gustian Syafaat, penikmat sastra, kini sebagai pengasuh Pusat Pendidikan Islam Al Fatih, Jatimulyo.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 12 Januari 2014
No comments:
Post a Comment