Oleh Novan Saliwa
SANGAT menarik membaca tulisan Diandra Natakembahang berjudul Perdebatan Penggunaan Kh dan Gh dalam Penulisan Kotakata Lampung, yang dimuat Lampung Ekspres Plus, 13 dan 15 Januari 2014 di halaman 1. Terus terang saya yang di Yogyakarta tidak mempunyai akses membaca yang dimuat di Lampung Ekspres Plus. Tapi, syukurlah beliau telah menyebarkan tulisannya itu dalam bentuk catatan Facebook (10/01/2014), sehingga saya bisa membacanya secara utuh, termasuk menyimak komentar-komentar di dinding Facebook Diandra.
Sebelum masuk ke isi tulisan, judul ini saya pinjam dari catatan Facebook Udo Z. Karzi (07/06/2013) berjudul sama. Semoga Udo tidak keberatan. Lalu, saya baca judul tulisan Diandra: Perdebatan Penggunaan Kh dan Gh dalam Penulisan Kosakata Lampung. Kalau melihat judul itu, seolah terjadi "pertengkaran" antara pengguna huruf kh dan pemakai huruf gh. Barulah ketika saya membaca artikelnya, saya mafhum bahwa Diandra justru meributkan penggunaan huruf r (ra) dalam penulisan bahasa Lampung. Dan, yang menjadi sasaran tembak adalah Udo Z. Karzi.
Diandra antara lain menulis: "Udo Karzi yang didakwa sebagai revolusioner dalam sastra Lampung justru terjebak pada klaim sepihak tentang pembenaran penggunaan huruf r sebagai satu satunya yang sah dalam penulisan huruf Lampung pada kosakata berlafal kh dan gh... Namun sepertinya dalam hal penggunaan kh dan gh yang jelas jelas mengakomodir lafal kosakata Lampung, Udo justru memilih status quo."
Paragraf tersebut tidak saya kutip semua. Saya hanya mengernyitkan dahi dengan istilah yang dipakai Diandra "didakwa sebagai revolusioner", "terjebak pada klaim sepihak", dan "memilih status qua". Pertanyaannya, siapa dan bagaimana Udo didakwa? Revolusioner seperti apa dan kata siapa? Klaim yang mana atau tulisan yang dimaksud Diandra sebagai sebuah klaim? Terus, kalau Diandra bilang revolusioner kok dia katakan juga status quo? Sejak awal-awal paragraf logika tulisan tersebut sudah kusut masai.
Di tengah mulai merebaknya semangat karya tulis dari kreator Lampung di antaranya Udo Z. Karzi yang bagi saya secara konsisten turun ke sekolah-sekolah dan berbagai seminar dan diskusi untuk memperkenalkan bahasa Lampung dalam tradisi tulis di dunia modern sekarang ini, sebut saja beberapa karya beliau yang tak pernah lari dari pijakan tradisi tanah kelahirannya, sebagai pembaca saya sungguh mengambil pelajaran dari keluwesan udo menulis serta bangga membaca karya putra daerah sendiri.
***
Sebelum lebih jauh, saya ingin menceritakan betapa tulisan Diandra ini sangat menginspirasi. Setelah menyimak tulisan tersebut saya segera mencari manuskrip (naskah kuno) Tambo Buay Nyerupa, yang pernah saya coba ketik ulang dan kemudian saya posting ke blog saya. Sungguh saya terperanjat ketika Selasa (14/1/2014) saya dengan seksama membaca setiap huruf dalam Tambo berusia dua abad tersebut, ternyata aksaranya sama persis dengan aksara Lampung yang disebutkan William Marsden dalam bukunya yang sangat terkenal Sejarah Sumatera.
Untuk transliterasi (penyalinan dari aksara Lampung ke aksara Latin) sesungguhnya memakai huruf R seperti radu, ratu, mari, mesir, nyerupa, kerui, gelar dan lain-lain. Ada juga Warahan Radin Jambat dari Way Kanan dan karya lainnya yang sudah cukup tua. Lihat pula "Kukuk Kedok 1933" karya Ahmad Syafei gelar Sultan Ratu Pikulun yang menulis serta banyak menerjemahkan tambo-tambo beraksara Lampung dari atas lembaran kulit kayu dengan menggunakan huruf r. Begitu juga dengan karya-karya beliau berbahasa Lampung lainnya, memakai huruf r.
Jadi, bagaimana mungkin gerinung-gerinung tumbai (nenek moyang orang Lampung) menciptakan huruf ra sekaligus menggunakannya dalam setiap menulis petuah, sesuatu yang dikatakan merusak bahasa Lampung? Dari sini saja tuduhan Diandra dengan sendirinya runtuh oleh kenyataan dalam lembaran lembaran tulisan leluhur terdahulu.
***
Sekadar ingin menanggapi lima poin yang dikemukakan Diandra untuk mendukung penggunaan kh dan gh dalam -- istilah Diandra -- "penulisan kosakata yang berlafal sama". Pertama, kata Diandra huruf Lampung berjumlah 20, yaitu ka ga nga pa ba ma ta da na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gha/kha. Ya, itu memang sudah disepakati dan kemudian diajarkan di sekolah-sekolah. Dan itu memang tidak salah! Tapi, Udo Z. Karzi (2008) dan Irfan Anshory (2009) mengemukakan bahwa William Marsden dan H.N. van der Tuuk antara lain menuliskan aksara Lampung terdiri dari 19 huruf. Dan, itu jelas bukan karangan Udo dan Irfan. Sangat jelas rujukannnya. Jadi, pendapat yang mengatakan aksara Lampung ada 19 juga tidak salah.
Terus, kata Diandra, penulisan yang salah akan mengaburkan arti. Dia mencontohkan kata "haru" (arti bahasa Indonesia: bahasa Indonesia) dan "hakhu" (artinya bahasa Lampung: pengaduk tanakan nasi). Sejatinya ditulis "haru" dan harus diartikan dalam bahasa Lampung karena kita toh sedang menulis/membaca bahasa Lampung. Kalau diartikan dalam bahasa lain ya kacaulah. Contohnya: "bujang" dalam bahasa Indonesia kalau diartikan dalam bahasa Batak ya -- maaf -- alat kelamin laki-laki.
Kedua, Diandra mengatakan, komparasi yang tepat dan ideal dalam menggambarkan penggunaan lafal kh dan gh adalah seperti kho dan ghin dalam huruf Arab persis sama dengan penggunaan kh dan gh dalam bahasa Lampung. Ini juga pandangan ngawur dan tidak memiliki dasar ilmiah. Tidak ada hubungan kekerabatan bahasa dan aksara Lampung dengan bahasa dan aksara Arab. Sangat jelas sebagaimana ditelusuri James T. Collins (2009) dan para linguis lainnya bahwa bahasa Lampung termasuk rumpun Malayo-Polynesian (Austronesia). Sedangkan bahasa Arab ya rumpun bahasa Arab (Afro Asiatik). Akan halnya aksara seperti juga aksara Batak, Jawa, Bugis, dll, aksara Lampung diturunkan dari huruf Pallawa (India). Jadi, kalau ada kata Arab dalam bahasa Lampung seperti akhirat, akhlak, dll itu adalah serapan; huruf kh dipertahankan karena memang dalam bahasa Arabnya mengandung huruf kho.
Ketiga, kata Diandra, penulisan kh/gh pada kosakata Lampung yang berlafal sama lebih lazim digunakan ketimbang digantikan atau ditulis dengan huruf r. Ia kemudian menyebutkan kamus-kamus Lampung yang menggunakan huruf gh/kh. Ya, tak masalah dan tak salah. Tapi, harap diingat ada kamus bahasa Lampung lain yang menggunakan huruf r. Sebut saja: Herman Neubronner van der Tuuk yang menulis kamus bahasa Lampung pertama ratusan tahun lalu, tepatnya 1868-1869; yang menggunakan huruf r (ra dalam aksara Lampung). Lalu, Setelah itu ada Proeve van Een Lampongsch-Hollandsch, bepaald voor het dialect van Kroe (Kamus dwibahasa Lampung-Belanda, dialek Krui) yang disusun O.L. Helfrich di Batavia (1891). Lalu, Kamus Bahasa Lampung susunan Hilman Hadikusuma (1994) dan Kamus Bahasa Lampung-Indonesia oleh Junaiyah H.M. (2001).
Keempat, yang ini lebih ngawur lagi. Diandra mengatakan, dalam bahasa Indonesia dikenal beberapa gabungan huruf: ng, ny, sy dan kh, hal ini jelas membuktikan bahwa penggunaan kh adalah sesuai dengan tata bahasa Indonesia. Sangat jelas itu peraturan tatabahasa Indonesia. Tatabahasa Lampung kan lain lagi: nga, nya itu salah huruf-huruf induk dalam alfabet Kaganga Lampung. Huruf sy di tatabahasa Lampung tidak ada dan karena itu ditulis dengan huruf sa.
Akan halnya kh, inilah yang kita ributkan. Huruf kh dalam bahasa Indonesia bunyinya sangat lain dengan bunyi yang dimaksud dalam bahasa Lampung. Bahasa Indonesia misalnya, akhir, akhlak, khas... dst. Bahasa Lampung (versi pakai kh-nya Diandra!) misalnya akhis, sekhom, hakhu... dst. Maksud saya, bunyi kh pada kata "akhir" (bahasa Indonesia) tidak sama dengan bunyi kh dalam "hakhu" (bahasa Lampung).
Kelima, kata Diandra, penulisan huruf di beberapa bahasa daerah di Indonesia seperti dalam bahasa Sunda dan Jawa, penulisan kosakatanya disesuaikan juga dengan lafalnya. Seperti bahasa Sunda yang mengenal tujuh vokal, selain a, i, u, e, o, bahasa Sunda juga mengenal vokal e pepet dan eu yang mirip dengan e pepet namun memproduksi suaranya dengan mulut lebih terbuka.
Lagi-lagi Diandra membandingkan bahasa Lampung dengan bahasa lain, yang dalam hal ini bahasa Sunda. Begini, bahasa Sunda sudah mengalami pembakuan sehingga ada huruf e pepet (yang dalam penulisannya diberi tanda koma di atas huruf e) dan eu. Itu sudah distandarkan! Bagaimana dengan bahasa Lampung? Sampai sekarang Lampung tidak memiliki bahasa baku atau bahasa standar, sehingga wajar kalau kita masih ribut soal pemakaian huruf r, kh, atau gh.
***
Akhirnya, saya hanya ingin mengatakan, orang Lampung juga pakai huruf R. Jadi, tidak pada tempatnya jika pemakai huruf R ketika menulis dalam bahasa Lampung dikatakan sebagai perusak bahasa. Kesimpulan saya singkat saja: betapa "hebatnya" orang Lampung ini untuk satu bunyi saja, kita bisa menuliskannya dengan lambang bunyi r/kh/gh/gr, bahkan lebih “nyeleneh” lagi x seperti yang dituliskan dalam A Grammar of the Lampung Language: the Pesisir Dialect of Way Lima, karya Dale F Walker, 1976.
Jadi, tak usahlah ngotot mengatakan pendapat kita yang paling benar. Kendatipun kita sulit untuk menerima sesuatu di luar kebiasaan atas pengetahuan kita, paling tidak kita bisa saling hormat menghormati bukankah puyang puyang kita berpesan, “Pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu.“
Tabik, dinyalahan, mawat kintu sebabah andah, kalau kemuarian ram tetop indah, uleh kik hurik bida genalah, ram dapok sekenian paedah. n
Sumber: Lampung Ekspres Plus, Senin, 20 Januari 2014
Novan Saliwa |
Sebelum masuk ke isi tulisan, judul ini saya pinjam dari catatan Facebook Udo Z. Karzi (07/06/2013) berjudul sama. Semoga Udo tidak keberatan. Lalu, saya baca judul tulisan Diandra: Perdebatan Penggunaan Kh dan Gh dalam Penulisan Kosakata Lampung. Kalau melihat judul itu, seolah terjadi "pertengkaran" antara pengguna huruf kh dan pemakai huruf gh. Barulah ketika saya membaca artikelnya, saya mafhum bahwa Diandra justru meributkan penggunaan huruf r (ra) dalam penulisan bahasa Lampung. Dan, yang menjadi sasaran tembak adalah Udo Z. Karzi.
Diandra antara lain menulis: "Udo Karzi yang didakwa sebagai revolusioner dalam sastra Lampung justru terjebak pada klaim sepihak tentang pembenaran penggunaan huruf r sebagai satu satunya yang sah dalam penulisan huruf Lampung pada kosakata berlafal kh dan gh... Namun sepertinya dalam hal penggunaan kh dan gh yang jelas jelas mengakomodir lafal kosakata Lampung, Udo justru memilih status quo."
Paragraf tersebut tidak saya kutip semua. Saya hanya mengernyitkan dahi dengan istilah yang dipakai Diandra "didakwa sebagai revolusioner", "terjebak pada klaim sepihak", dan "memilih status qua". Pertanyaannya, siapa dan bagaimana Udo didakwa? Revolusioner seperti apa dan kata siapa? Klaim yang mana atau tulisan yang dimaksud Diandra sebagai sebuah klaim? Terus, kalau Diandra bilang revolusioner kok dia katakan juga status quo? Sejak awal-awal paragraf logika tulisan tersebut sudah kusut masai.
Di tengah mulai merebaknya semangat karya tulis dari kreator Lampung di antaranya Udo Z. Karzi yang bagi saya secara konsisten turun ke sekolah-sekolah dan berbagai seminar dan diskusi untuk memperkenalkan bahasa Lampung dalam tradisi tulis di dunia modern sekarang ini, sebut saja beberapa karya beliau yang tak pernah lari dari pijakan tradisi tanah kelahirannya, sebagai pembaca saya sungguh mengambil pelajaran dari keluwesan udo menulis serta bangga membaca karya putra daerah sendiri.
***
Sebelum lebih jauh, saya ingin menceritakan betapa tulisan Diandra ini sangat menginspirasi. Setelah menyimak tulisan tersebut saya segera mencari manuskrip (naskah kuno) Tambo Buay Nyerupa, yang pernah saya coba ketik ulang dan kemudian saya posting ke blog saya. Sungguh saya terperanjat ketika Selasa (14/1/2014) saya dengan seksama membaca setiap huruf dalam Tambo berusia dua abad tersebut, ternyata aksaranya sama persis dengan aksara Lampung yang disebutkan William Marsden dalam bukunya yang sangat terkenal Sejarah Sumatera.
Untuk transliterasi (penyalinan dari aksara Lampung ke aksara Latin) sesungguhnya memakai huruf R seperti radu, ratu, mari, mesir, nyerupa, kerui, gelar dan lain-lain. Ada juga Warahan Radin Jambat dari Way Kanan dan karya lainnya yang sudah cukup tua. Lihat pula "Kukuk Kedok 1933" karya Ahmad Syafei gelar Sultan Ratu Pikulun yang menulis serta banyak menerjemahkan tambo-tambo beraksara Lampung dari atas lembaran kulit kayu dengan menggunakan huruf r. Begitu juga dengan karya-karya beliau berbahasa Lampung lainnya, memakai huruf r.
Jadi, bagaimana mungkin gerinung-gerinung tumbai (nenek moyang orang Lampung) menciptakan huruf ra sekaligus menggunakannya dalam setiap menulis petuah, sesuatu yang dikatakan merusak bahasa Lampung? Dari sini saja tuduhan Diandra dengan sendirinya runtuh oleh kenyataan dalam lembaran lembaran tulisan leluhur terdahulu.
***
Sekadar ingin menanggapi lima poin yang dikemukakan Diandra untuk mendukung penggunaan kh dan gh dalam -- istilah Diandra -- "penulisan kosakata yang berlafal sama". Pertama, kata Diandra huruf Lampung berjumlah 20, yaitu ka ga nga pa ba ma ta da na ca ja nya ya a la ra sa wa ha gha/kha. Ya, itu memang sudah disepakati dan kemudian diajarkan di sekolah-sekolah. Dan itu memang tidak salah! Tapi, Udo Z. Karzi (2008) dan Irfan Anshory (2009) mengemukakan bahwa William Marsden dan H.N. van der Tuuk antara lain menuliskan aksara Lampung terdiri dari 19 huruf. Dan, itu jelas bukan karangan Udo dan Irfan. Sangat jelas rujukannnya. Jadi, pendapat yang mengatakan aksara Lampung ada 19 juga tidak salah.
Terus, kata Diandra, penulisan yang salah akan mengaburkan arti. Dia mencontohkan kata "haru" (arti bahasa Indonesia: bahasa Indonesia) dan "hakhu" (artinya bahasa Lampung: pengaduk tanakan nasi). Sejatinya ditulis "haru" dan harus diartikan dalam bahasa Lampung karena kita toh sedang menulis/membaca bahasa Lampung. Kalau diartikan dalam bahasa lain ya kacaulah. Contohnya: "bujang" dalam bahasa Indonesia kalau diartikan dalam bahasa Batak ya -- maaf -- alat kelamin laki-laki.
Kedua, Diandra mengatakan, komparasi yang tepat dan ideal dalam menggambarkan penggunaan lafal kh dan gh adalah seperti kho dan ghin dalam huruf Arab persis sama dengan penggunaan kh dan gh dalam bahasa Lampung. Ini juga pandangan ngawur dan tidak memiliki dasar ilmiah. Tidak ada hubungan kekerabatan bahasa dan aksara Lampung dengan bahasa dan aksara Arab. Sangat jelas sebagaimana ditelusuri James T. Collins (2009) dan para linguis lainnya bahwa bahasa Lampung termasuk rumpun Malayo-Polynesian (Austronesia). Sedangkan bahasa Arab ya rumpun bahasa Arab (Afro Asiatik). Akan halnya aksara seperti juga aksara Batak, Jawa, Bugis, dll, aksara Lampung diturunkan dari huruf Pallawa (India). Jadi, kalau ada kata Arab dalam bahasa Lampung seperti akhirat, akhlak, dll itu adalah serapan; huruf kh dipertahankan karena memang dalam bahasa Arabnya mengandung huruf kho.
Ketiga, kata Diandra, penulisan kh/gh pada kosakata Lampung yang berlafal sama lebih lazim digunakan ketimbang digantikan atau ditulis dengan huruf r. Ia kemudian menyebutkan kamus-kamus Lampung yang menggunakan huruf gh/kh. Ya, tak masalah dan tak salah. Tapi, harap diingat ada kamus bahasa Lampung lain yang menggunakan huruf r. Sebut saja: Herman Neubronner van der Tuuk yang menulis kamus bahasa Lampung pertama ratusan tahun lalu, tepatnya 1868-1869; yang menggunakan huruf r (ra dalam aksara Lampung). Lalu, Setelah itu ada Proeve van Een Lampongsch-Hollandsch, bepaald voor het dialect van Kroe (Kamus dwibahasa Lampung-Belanda, dialek Krui) yang disusun O.L. Helfrich di Batavia (1891). Lalu, Kamus Bahasa Lampung susunan Hilman Hadikusuma (1994) dan Kamus Bahasa Lampung-Indonesia oleh Junaiyah H.M. (2001).
Keempat, yang ini lebih ngawur lagi. Diandra mengatakan, dalam bahasa Indonesia dikenal beberapa gabungan huruf: ng, ny, sy dan kh, hal ini jelas membuktikan bahwa penggunaan kh adalah sesuai dengan tata bahasa Indonesia. Sangat jelas itu peraturan tatabahasa Indonesia. Tatabahasa Lampung kan lain lagi: nga, nya itu salah huruf-huruf induk dalam alfabet Kaganga Lampung. Huruf sy di tatabahasa Lampung tidak ada dan karena itu ditulis dengan huruf sa.
Akan halnya kh, inilah yang kita ributkan. Huruf kh dalam bahasa Indonesia bunyinya sangat lain dengan bunyi yang dimaksud dalam bahasa Lampung. Bahasa Indonesia misalnya, akhir, akhlak, khas... dst. Bahasa Lampung (versi pakai kh-nya Diandra!) misalnya akhis, sekhom, hakhu... dst. Maksud saya, bunyi kh pada kata "akhir" (bahasa Indonesia) tidak sama dengan bunyi kh dalam "hakhu" (bahasa Lampung).
Kelima, kata Diandra, penulisan huruf di beberapa bahasa daerah di Indonesia seperti dalam bahasa Sunda dan Jawa, penulisan kosakatanya disesuaikan juga dengan lafalnya. Seperti bahasa Sunda yang mengenal tujuh vokal, selain a, i, u, e, o, bahasa Sunda juga mengenal vokal e pepet dan eu yang mirip dengan e pepet namun memproduksi suaranya dengan mulut lebih terbuka.
Lagi-lagi Diandra membandingkan bahasa Lampung dengan bahasa lain, yang dalam hal ini bahasa Sunda. Begini, bahasa Sunda sudah mengalami pembakuan sehingga ada huruf e pepet (yang dalam penulisannya diberi tanda koma di atas huruf e) dan eu. Itu sudah distandarkan! Bagaimana dengan bahasa Lampung? Sampai sekarang Lampung tidak memiliki bahasa baku atau bahasa standar, sehingga wajar kalau kita masih ribut soal pemakaian huruf r, kh, atau gh.
***
Akhirnya, saya hanya ingin mengatakan, orang Lampung juga pakai huruf R. Jadi, tidak pada tempatnya jika pemakai huruf R ketika menulis dalam bahasa Lampung dikatakan sebagai perusak bahasa. Kesimpulan saya singkat saja: betapa "hebatnya" orang Lampung ini untuk satu bunyi saja, kita bisa menuliskannya dengan lambang bunyi r/kh/gh/gr, bahkan lebih “nyeleneh” lagi x seperti yang dituliskan dalam A Grammar of the Lampung Language: the Pesisir Dialect of Way Lima, karya Dale F Walker, 1976.
Jadi, tak usahlah ngotot mengatakan pendapat kita yang paling benar. Kendatipun kita sulit untuk menerima sesuatu di luar kebiasaan atas pengetahuan kita, paling tidak kita bisa saling hormat menghormati bukankah puyang puyang kita berpesan, “Pak huma pak sapu, pak jelma pak semapu.“
Tabik, dinyalahan, mawat kintu sebabah andah, kalau kemuarian ram tetop indah, uleh kik hurik bida genalah, ram dapok sekenian paedah. n
Sumber: Lampung Ekspres Plus, Senin, 20 Januari 2014
No comments:
Post a Comment