BANDAR LAMPUNG (Lampost): Keberadaan puisi sama dengan karya sastra lain, yakni cerita pendek ataupun novel yang memberikan ruang tafsir yang luas bagi pembacanya untuk membuka semiotika yang ada di dalamnya. Namun, ternyata masih banyak masyarakat yang memberikan pemaknaan tunggal, sehingga menyempitkan pada subjektivitas yang bisa makin menimbulkan konflik penafsiran.
Penyair asal Cirebon, Ahmad Syubbanuddin Alwy, mengemukakan hal tersebut dalam diskusi sastra yang digelar di Aula Harian Umum Lampung Post dalam rangkaian Lampung Arts Festival (LAF) yang bertajuk Puisi sebagai Teks, Selasa (28-8).
Dia mengatakan pemaknaan tunggal akan menyebabkan substansi yang terumuskan dalam karya sastra akan mengalami distorsi dan resistensi pemaknaan.
"Bahkan, akhirnya karya sastra terlebih puisi tidak lagi berdiri sebagai teks yang membebaskan diri dari subjektivitas para kritikus dan pembacanya," kata Alwy.
Apalagi jika kemudian tafsir terhadap puisi yang ada tersebut memosisikan kata, simbol, metafor, kode, dan tema menjadi setting yang sengaja hendak disembunyikan penulisnya sebagai wilayah paling independen. "Akhirnya, seluruh penciptaan teks karya sastra itu menyimpan sekaligus menyembunyikan proses kreatif serta proses empiris yang berlangsung dalam medan pergulatan makna seorang penulis secara privat," ujarnya.
Bahkan, biasanya tafsir para kritikus ataupun pembaca didominasi atas pemahaman serta pengetahuan diri semata saja tanpa menghubungkan relasi teks yang memiliki konotasi tafsir majemuk. "Kondisi ini yang akan mengerdilkan pemahaman para kritikus dan menegasikan kemungkinan adanya pengalaman lain dari teks-teks yang dituliskan dalam puisi," ujarnya.
Sementara itu, penyair asal Bali pada diskusi yang dipandu penyair Oyos Saroso H.N. itu, Wayan Sunarta mengatakan puisi merupakan sebuah teks besar. "Sehingga dalam membacanya akan melahirkan tafsir yang beragam sesuai dengan ketelitian dan kekuatan pembacaan. Tidak ada tafsir tunggal karena semua pembaca sah menafsirkan teks puisi," ujarnya.
Sedangkan penyair Ahmadun Yosi Herfanda mencoba ingin menempatkan puisi dalam konteks pendidikan bukan hanya sebatas politisasi sastra. "Puisi sebagai teks bukan benda mati karena bisa berdialog dengan pembacanya terutama berkaitan dengan maknanya."
Menurut dia, puisi berhasil apabila ia mampu unggul dan secara tematik kuat sesuai dengan ruang yang ada. Lalu aneh secara demografis serta jika menempatkan metaforanya sebagai sebuah antitesis.
Upaya yang bisa dilakukan, katanya, penguatan jaringan sastra dengan tradisi pertemuan yang efektif untuk memilih teks yang unggul dengan penghargaan. "Lalu dengan menghidupkan kembali kritik sastra yang profesional, meningkatkan penerbitan karya unggul, upaya tingkatkan apresiasi sastra di masyarakat, meningkatkan seleksi pemuatan karya unggul di media massa, dan kebersamaan estetik dengan demokratisasi pemikiran teks," ujarnya.
Diskusi yang dihadiri para penyair Lampung dan sejumlah daerah di Indonesia mengangkat kasus puisi "Malaikat" karya Saeful Badar yang kontroversial. Karena puisinya yang dimuat Harian Umum Pikiran Rakyat dianggap melecehkan kesucian malaikat oleh Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) Jawa Barat, Saeful Badar, diminta mencabut dan meminta maaf kepada umat Islam atas karyanya itu.
Malam sebelumnya, penyair asal Lampung dan luar daerah, di antaranya dari Bali, Jakarta, Cirebon, Kalimantan, Makassar, dan daerah lain membacakan puisi karyanya dalam gelaran Dunia Puisi di Panggung Terbuka Pasar Seni Enggal, Senin (27-8) malam. N TYO/X-1
Sumber: Lampung Post, Rabu, 29 Agustus 2007
No comments:
Post a Comment