DI Bali, sebatang pohon bakau mampu menarik minat seribu orang turis bahkan bisa lebih. Dan itu menjadi mimpi masyarakat Pulau Pahawang. Mereka tak lagi ingin mencari uang dengan merusak lingkungan, tapi dengan menjual kekayaan jenis hutan mangrove yang ada di pulau tersebut sebagai wisata penelitian hutan mangrove.
Sekarang, masyarakat Pulau Pahawang memiliki sekitar 30 hektare zona inti hutan mangrove. Sistem zonasi ini untuk memetakan mana kawasan hutan mangrove yang bisa dimanfaatkan dan kawasan mana yang dilarang untuk dimanfaatkan kecuali untuk perlindungan.
Masyarakat pun membuat kesepakatan membentuk Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove (BPDPM) di bawah supervisi langsung Mitra Bentala. Badan ini diberikan pemahaman pengelolaan sampai pengawasan hutan mangrove.
Hasilnya, tingkat ketebalan hutan mangrove di Pulau Pahawang ini pun bervariasi mulai dari 4 meter hingga 10 meter dari bibir pantai. "Kita sedang mengarah ke pemanfaatan hutan mangrove sebagai kawasan wisata penelitian dengan model pengelolaan sepenuhnya oleh masyarakat, termasuk hasil yang didapat nanti," kata Suprianto dari Mitra Bentala.
Pada dasarnya, hutan mangrove tak melulu didominasi oleh pohon bakau sebagai satu-satunya vegetasi pesisir yang hidup dan harus dilindungi. Menurut Suprianto, terdapat sedikitnya 22 jenis vegetasi hutan mangrove yang dikembangkan di Pulau Pahawang. Yang ada di Pulau Puhawang sekarang adalah bakau besar, bakau kecil, bakau tinggi, bogem, nipah dan waru laut.
Meski demikian, vegetasi tanaman bakau atau yang memiliki nama latin Rhizopora sp. ini memang menjadi objek utama penarik perhatian wisatawan untuk datang meneliti vegetasi pohon bakau.
Selembar daun pohon bakau yang jatuh ke laut, mampu menetralisasi air laut dari pencemaran yang ditimbulkan oleh nelayan, limbah rumah tangga sampai limbah tambak udang.
Di kawasan vegetasi hutan mangrove juga bisa banyak dijumpai hewan-hewan laut langka yang sekarang sudah sangat jarang dijumpai di sekitar Teluk Lampung karena sabuk hijaunya habis untuk tambak udang dan permukiman maupun wisata konvensional biasa. Pada habitat hutan mangrove yang masih alami bisa dengan mudah dijumpai hewan sejenis berang-berang, mangrove jack, ikan khas yang hanya ada di hutan mangrove.
Termasuk penelitian yang lebih ekstrem, yakni nyamuk Anopheles penyebab penyakit malaria, yang menjadikan hutan mangrove sebagai habitat serangga ini. Apalagi sebagian gugusan pulau di Teluk Pedada termasuk Pulau Pahawang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan sebagai pusat populasi nyamuk penyebab malaria terbesar kedua di Indonesia, setelah Irian Jaya.
Di sisi lain, buah pohon bakau juga menjadi penganan utama sekawanan monyet yang ada di Pulau Pahawang ini. Atau menjajal keunikan makanan lain, yakni dodol bakau, penganan baru hasil kreasi kerajinan ibu rumah tangga yang ada di Pulau Pahawang. Dodol ini berbahan baku utama buah pohon bakau, rasanya tak kalah dengan dodol durian atau lempok durian.
Awalnya, minat penelitian terhadap hutan mangrove ini muncul pascagelombang besar tsunami yang hampir meluluhlantakkan sebagian besar daerah kepulan di Samudera Hindia.
Seperti di Nangroe Aceh Darussalam, gelombang tsunami begitu banyak menimbulkan korban jiwa dan materi karena punahnya hutan mangrove. Kepunahan itu membuat mainland tak lagi mampu menahan kuatnya gelombang.
Kondisi kepulauan Aceh yang berhadapan langsung dengan laut lepas juga membuat tingkat kerusakan akibat tsunami cukup masif. Ketiadaan pulau terluar lain membuat konsentrasi gelombang tsunami tidak bisa terpecah sehingga tak heran jika gelombang setinggi pohon kelapa menerjang Aceh hanya dengan hitungan menit saja. n MEZA SWASTIKA/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2009
No comments:
Post a Comment