Oleh Endri Y.
APAKAH bahasa atau logika yang menjadi prinsip fundamental dari pemahaman manusia dalam menemukan jati diri kelampungannya? Jika logika menyediakan kriteria tentang kebenaran dan kesalahan universal yang berlaku untuk semua manusia, bahasa sudah ada sebelum logika dan semua makna melekat dalam bahasa. Maka, manakah yang muncul lebih dulu?
Pemahaman hanya dapat dicapai melalui suatu bahasa tertentu. Karena, tidak mungkin ada dalil rasionalitas universal yang lintas bahasa. Demikian menurut Joel L. Kraemer dalam Humanism in The Renaissance of Islam (1992:110-113) yang mencatat perdebatan sengit di Bagdad pada tahun 932 Masehi. Akhirnya, perdebatan (baca: manakah yang lebih dulu ada, antara bahasa dan logika) itu dimenangkan bahasa.
Bahasa dinilai lebih dulu memengaruhi manusia ketimbang logika. Sebab, logika harus dibahasakan meski bahasa pun perlu dinalar. Dengan alat kaji urai ini dapat dibuat tesis, jika bahasa daerah Lampung punah, tak ada logika tentang identitas dan ciri terkait dengan Lampung. Premisnya, daerah tanpa logika maka semua warga yang menghuninya gila.
Kegelisahan kolektif tentang ancaman punahnya bahasa daerah Lampung menjadi pendulum kesejarahan yang terus diperlukan sang penyuara kebajikan. Kita punya banyak tokoh-tokoh yang intens menggeluti agenda "penyelamatan" bahasa Lampung ini. Sayangnya, mereka adalah penyelamat tanpa sistematika kerja yang jelas dan terukur terkait dengan agenda penyelamatan dan pelestarian ini. Selain masih berjalan sendiri- sendiri, juga belum ada output dengan logical frame work yang jelas.
Tulisan ini hanyalah suara sumbang yang semoga bisa menjadi sumbang saran sekaligus mengetuk naluri semua pemangku kepentingan akan warisan leluhur yang tak ternilai harganya tapi masih diabaikan, yaitu bahasa Lampung. Padahal, kebenaran dan falsafah esensi pembangunan di Lampung hanya bisa dirumuskan dalam ajaran dan hakikat bahasa Lampung. Sekadar kamuflase dan penyuaraan imitasi ketika berkata menyelamatkan kebudayaan Lampung tetapi abai terhadap bahasa daerahnya.
Tanpa Kepedulian Sejarah
Mungkin kita masih ingat ketika kain tapis asli Lampung dibukukan dan dipamerkan di Berlin serta diakui dunia internasional, terbit kebanggaan. Tapi kemudian, kita harus kembali disudutkan berbagai pertanyaan, ini akibat kecintaan akan nilai warisan leluhur atau hanya kepentingan industri? Saya adalah orang yang pesimistis ketika sebuah usaha pelestarian dimunculkan bukan oleh orang yang asli daerahnya, yang publikasi dan produksinya tidak dilakukan oleh orang daerahnya yang sudah dikenal rekam jejak atas usaha dan kecintaannya melestarikan (apalagi peneliti asing) jelas mengundang berbagai kecurigaan.
Kita ketahui, betapa sekelompok orang atau seseorang di antara kita begitu simbolik memahami akar kesejarahannya. Bahkan lacur, berani mengubur artefak dan bukti sejarah yang menjadi kebanggaan daerah. Sebut saja misalnya pelestarian Gunung Anak Krakatau. Semua orang tahu, bahkan dunia mengakuinya, akan sejarah Krakatau yang kemudian mampu mengantar Lampung pada puncak popularitas ketika meletus, yang akibat letusannya itu mungkin salah satu penyebab sedikitnya penutur bahasa dan atau suku asli Lampung.
Tapi lihatlah, kebijakan yang mengatasnamakan mitigasi dan observasi itu kemudian dengan sengaja mengeruk kekayaan alam yang sekaligus bukti sejarah kebanggaan Lampung (sekaligus merusak lingkungan) hanya untuk kepentingan finansial segelintir orang. Semua ilmuwan dan akademisi tahu hal ini tapi tak bisa berbuat apa-apa, selain justru ada pula yang terlibat mengambil peran oportunis.
Contoh lain, institusi yang menjadi lambang kebudayaan dan keilmuan di Lampung, Universitas Lampung (Unila), membuang program studi/jurusan kebanggaan dan satu-satunya yang ada di dunia ini, yaitu program studi bahasa Lampung. Bahkan, dengan alasan-alasan irasional, seperti tidak ada peminat dan semacamnya yang nyinyir dan asbun (asal bunyi). Ironis, ketika praksis penyelamatan justru diganti dengan kajian dan penelitian. Jelaslah ini sebuah langkah mundur atas usaha menyelamatkan bahasa Lampung.
Bersatulah dalam Praksis
Menarik mengikuti perkembangan diskursus tentang bahasa Lampung ini. Sebab, semua masih berkutat pada refleksi tanpa aksi. Maka, tulisan ini sebenarnya mengarah pada usaha atau sekadar interupsi atas tokoh-tokoh Lampung yang concern terhadap kecintaan akan identitas daerahnya, khususnya bahasa Lampung. Kenapa kalian tidak menggelar focus discussion group atau semacam duduk bareng membincangkan masalah bahasa Lampung kemudian menjadi tim kerja sebagai pahlawan penyelamat bahasa Lampung?
Jika para pendekar kebudayaan dari Lampung masih berjalan sendiri- sendiri, para pendekar ini hanya menjadi ronnin tanpa tuan. Pembuktian atas kecintaan dan pemikiran mereka hanya menjadi katarsis atau oasis di tengah padang imajinasi. Tanpa praksis. Sekadar oral dan embrional pemikiran, kemudian gugur sebab goncangan derasnya globalisasi atau malah dikuret, lalu dikubur.
Sebut saja misalnya Imelda, Etnolinguistik LIPI, yang pernah 4 tahun meneliti kemudian terbit sebuah buku yang mengungkapkan hasil penelitian soal penyebab punahnya bahasa daerah Hamab dan Yaben di Papua.
Penulis membayangkan jika dalam bahasa Hamab dan Yaben, Imelda, yang asli Lampung ini berhasil merumuskan gagasan brilian meski ditemani Kutubi yang juga peneliti LIPI, kenapa Imelda tidak berjuang meneliti dan merumuskan penyelamatan bahasa Lampung bersama yang lain-lain untuk kemudian menculek mata dengan fakta para pejabat dan akademisi yang membuat kebijakan untuk memusnahkan bahasa Lampung secara laten itu? Dalam kaitan ini, menghimpun penelitian saja tidak cukup karena bahasa Lampung masih belum punah, sehingga usahanya bisa terkonsentrasi pada sistematika penyelamatan dan memasyarakatkan.
Sekaligus praksis mereka membuat corong penyadar masyarakat Lampung untuk bahu-membahu mentradisikan bahasa Lampung. Kita banyak memiliki tokoh sebagai muazin kebudayaan, tetapi sayangnya tanpa lafaz dan standar irama yang bisa disuarakan bersama-sama. Sehingga, meski semua pemikiran dan tujuan serta maksud yang sama untuk menyelamatkan bahasa Lampung, masih tercecer dalam ruang-ruang kosong tanpa gerakan. Bersatulah wahai para pendekar, para muazin kebudayaan, untuk bahasa Lampung yang kian tersudut ini.
Tanpa pemikiran bersama dan keterlibatan pendekar kebudayaan, termasuk semua pemangku kepentingan, penulis khawatir semua pemikiran cerdas itu kemudian menguap tanpa ada pressure group yang mampu menjadi lokomotif untuk mendorong terwujudnya buah pemikiran, manifestasi kebijakan, sekaligus usaha-usaha konkret semua stakeholder, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat, untuk terlibat menggunakan dan menyelamatkan sekaligus memopulerkan bahasa Lampung. n
* Endri Y., Pencinta kesenian, bermukim di Kalianda
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 20 Februari 2010
No comments:
Post a Comment