Oleh Helena F Nababan
BAGI masyarakat Lampung, bahasa Lampung berarti dialek [o] dan dialek [a]. Perbedaannya hanyalah geografis. Pengertian umum di masyarakat Lampung, bahasa Lampung dengan dialek [o] adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Lampung di wilayah nonpesisir. Adapun bahasa Lampung dialek [a] adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat pesisir.
Admi Syarif (KOMPAS/HELENA F NABABAN)
Meskipun bagi masyarakat Lampung kebanyakan, dua dialek adalah perbedaan, bagi Admi Syarif (43), perbedaan dialek bukan suatu masalah. Baginya, justru perlakuan terhadap bahasa Lampung yang memprihatinkan.
Saat ini, bahasa Lampung hanya berkembang dan dipergunakan di lingkungan sesuai dialeknya. Sementara di masyarakat umum jarang sekali terdengar percakapan dalam bahasa Lampung, apalagi oleh anak muda di daerah itu.
Bagi pria yang sehari-harinya mengajar di ilmu komputer di Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Lampung (Unila) tersebut, bahasa Lampung adalah bahasa ibu bagi masyarakat Lampung. Karena itu, bahasa Lampung harus tetap digunakan dalam keseharian, bukan ditinggalkan.
Kegelisahan Admi akan bahasa Lampung memang beralasan. Di provinsi dengan penduduk 7,4 juta jiwa ini, jumlah penutur bahasa Lampung hanya sekitar 1 juta orang.
Berdasarkan kriteria bahasa lestari atau terancam punah, bahasa dengan jumlah penutur 1 juta orang masih tergolong aman. ”Namun, kalau sekarang saja komunikasi dalam bahasa Lampung semakin sepi, bagaimana ke depannya?” ujarnya.
Admi menemukan ujung kegelisahannya mengenai perlakuan masyarakat terhadap bahasa Lampung dan perkembangan bahasa Lampung terkini saat dia menyelesaikan S-3-nya di Ashikaga Institute of Technology di Yokohama, Jepang, pada 2004. Di kota itu Admi bertemu dan berdiskusi dengan antropolog dari Kyoei University, Prof Yoshie Yamazaki.
Yamazaki sangat fasih, sangat ahli, dan paham betul tentang Lampung, masyarakat Lampung asli, masyarakat pendatang, hingga kebudayaan Lampung asli. Pertemuan itu memberi Admi pencerahan mengenai kultur suku bangsa dari mana dia berasal, juga jawaban mengapa bahasa Lampung susah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat Lampung memiliki sifat terbuka. Itu terlihat ketika Lampung dijadikan tempat tujuan transmigrasi oleh Belanda tahun 1905 dan sukses.
Pola hidup masyarakat Lampung berbeda dengan masyarakat pendatang. Pendatang awal di Lampung yang notabene transmigran dari Jawa hidup dari bersawah. Adapun masyarakat Lampung asli hidup dari berkebun dan bertanam padi di ladang. ”Di sini jelas tidak ada benturan antara kebun dan sawah,” ujar Admi.
Sifat terbuka muncul pula dalam komunikasi. ”Sedemikian terbukanya, sampai sekarang masyarakat Lampung lebih banyak berbahasa Indonesia kepada siapa pun dalam berkomunikasi, bukan bahasa Lampung,” ujar Admi. Metode pembelajaran juga kurang tepat. ”Bahan ajar seperti kamus juga seadanya.”
Berangkat dari pemahaman tersebut, saat kembali ke Indonesia Admi mulai memikirkan penelitian bahasa Lampung yang ingin ia wujudkan dalam bentuk kamus lengkap.
Kamus bahasa Lampung
Dia mendatangi 26 titik wilayah yang dianggap mewakili masyarakat penutur bahasa Lampung dari dua dialek itu. Dari penelitian itu, Admi mengambil 100 kata dalam dialek [o] sebagai acuan pembanding dengan kosakata di 26 wilayah.
Dengan dukungan kawan-kawannya peneliti di Lembaga Penelitian Unila, sebuah proposal penelitian untuk pembuatan kamus bahasa Lampung elektronik ia ajukan ke Kementerian Riset dan Teknologi. Presentasi yang ia lakukan pada Juli 2007 diterima, mengalahkan 50 pengaju proposal karya yang semuanya melibatkan teknologi tinggi.
Kebetulan, Kementerian Riset dan Teknologi tengah mencari terobosan baru dalam bidang penelitian berbasis teknologi. Itu sebabnya presentasi karya berjudul ”Revitalisasi Bahasa dan Budaya Lampung Berbasis Multimedia dan Teknologi Informasi” diterima dan didukung.
Admi mulai bekerja menyusun kamus pada November 2007. Beberapa penutur asli bahasa Lampung dialek [o] ia kumpulkan. Bersama-sama mereka menginventarisasi kosakata bahasa Lampung pedalaman. Mereka mendata, mencari padanan kata, mengartikan dalam bahasa Indonesia, dan mengedit.
Proses itu selesai Januari 2008. Admi lantas menyusunnya dalam bentuk kamus bersampul tebal eksklusif. Tak lupa kamus versi multimedia dalam bentuk keping cakram ia buat untuk memudahkan pembelajaran di sekolah.
Peluncuran kamus bahasa Lampung lengkap karya Admi pada akhir Desember 2008 menuai banyak kritik dan respons. Sejumlah kalangan, mulai dari tokoh adat, budayawan, hingga pendidik, mempertanyakan kelengkapan kamus bahasa Lampung dialek [o].
”Tanpa kamus dialek [a], kamus itu tidak akan lengkap,” ujar Admi mengungkapkan salah satu protes. Menurut Admi, dia akan melengkapi penerbitan kamus bahasa Lampung dialek [o] dengan dialek [a].
Bagi Pemprov Lampung, terbitnya kamus bahasa Lampung mendukung Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Revitalisasi Bahasa Lampung. Pemprov mengalokasikan pendanaan bagi penerbitan 37.500 eksemplar kamus itu untuk dibagikan ke 7.500 SD dan SMP di Lampung.
Bagi pemerintah daerah lain, rintisan Admi di Lampung itu sungguh menarik. Admi menyebut Pemprov Sumatera Selatan meminta dia mentransfer ilmu untuk penyusunan kamus bahasa Sumsel. Adapun Pemprov Kalimantan Timur meminta dia meneliti bahasa Dayak.
Lantaran ide itu pula, Kementerian Ristek menetapkan Admi sebagai peneliti terbaik tahun 2009.
Sumber: Kompas, Jumat, 19 Februari 2010
No comments:
Post a Comment