Oleh Isbedy Stiawan Z.S.
PARA kandidat wali kota/wakil wali kota Bandarlampung berjanji mengembangkan seni budaya di daerah ini. Kesepakatan para kandidat tanpa bersepakat lebih dahulu itu mencuat saat Debat Kandidat Wakil Wali Kota yang ditayangkan Radar TV. Meski dianggap ’’terlambat’’, setidaknya hal tersebut sebagai bukti kepedulian pemkot atas nasib seni budaya yang nyaris tak terurus.
Hanya, statement para wakil wali kota Bandarlampung dalam debat itu tidak dibarengi kontrak politik. Sehingga bukan tidak mustahil setelah mereka jadi orang nomor satu dan dua di kota ini, janji ketika kampanye bisa saja tidak dipenuhi. Alasannya, masih banyak pembangunan di Bandarlampung yang sangat mendesak dibandingkan program pengembangan seni budaya –apalagi di dalamnya adalah pariwisata.
Terlalu banyak pengembangan seni budaya di kota Bandarlampung yang selama kurang disentuh pemerintah. Kampung budaya yang ada di Kotakarang, Gedungpakuon, Rajabasa, Kampungsawah, dan lainnya kurang diurus. Betapa banyak perkampungan yang masih mempertahankan nilai-nilai seni budaya. Seperti rumah-rumah panggung khas Lampung yang nyaris ambruk karena tidak ada bantuan pemeliharaan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandarlampung.
Belum lagi sanggar-sanggar seni ataupun komunitas kesenian yang pernah tumbuh di kota ini lalu hanya tinggal papan nama. Pemkot Bandarlampung hanya memperhatikan satu atau dua sanggar, yang notabene dibina orang-rang dekat wali kota. Sanggar seni inilah yang kemudian kerap ditunjuk untuk ke luar daerah –bahkan luar negeri–dengan mengatasnamakan ’’demi misi’’ memperkenalkan seni budaya daerah Lampung.
Padahal, Bandarlampung memiliki Dewan Kesenian (DK). Sayangnya, sampai kini yang saya ketahui sangat minim anggaran yang dikucurkan APBD Bandarlampung. Sehingga, DKBL (Dewan Kesenian Bandarlampung) bagai hidup tanpa gizi. Program DKBL sebagai katalisator dan dinamisator pemkot menjadi tak berarti. Gurauan seniman di kota ini atas nasib DKBL bagai ’’hidup segan matipun tak hendak’’ seperti pas disematkan.
Sementara kehidupan seni budaya di Bandarlampung sangat berpotensi. Hanya, potensi itu tidak digali dan dikembangkan. Akibatnya, potensi seni budaya hanya ada di kabupaten-kabupaten lain. Sebagai ibu kota Provinsi Lampung, seniman tumplek di Bandarlampung. Begitu pula para budayawan, juga ada di Bandarlampung. Misalnya MPAL (Majelis Penyimbang Adat Lampung), pusatnya di kota ini. Demikian pula di kota ini ada Dewan Kesenian Lampung.
Kota Bandarlampung bahkan kini sudah menghilangkan cirinya sebagai pusat dari Provinsi Lampung. Di pusat perkotaan, sulit kita mendapati banguan yang menjadi ikon Lampung. Demi pembangunan yang cenderung ingin menjadi metropolis, banyak bangunan khas dan sudah menjadi ikon kota ini dihancurkan. Kota ini pun tumbuh banyak pusat perbelanjaan modern dan rumah toko (ruko). Bahkan, ruko sudah menyebar hingga mendekati pinggiran kota. Sementara kekhasan kota ini, hanya ditandai patung sepasang pengantin adat di simpang tiga Jalan Dipnegoro–Dr. Susilo dan Ahmad Yani–Kartini–Wolter Monginsidi.
Pengembangan seni budaya yang disepakati calon wakil kota-wakil wali kota, sebetulnya bukan kesenian dalam pengertian tarian dan musik tradisional. Tetapi, kebudayaan sebagaimana dirumuskan Kuntjoroningrat. Yaitu termasuk di dalamnya adalah bahasa dan mata pencarian.
Untuk bahasa, apakah calon wali kota/wakil wali kota sudah berkomitmen akan mengembangkan bahasa daerah (Lampung). Setidaknya dimulai dari tingkat sekolah. Untuk itu, diperlukan pengajar yang khusus mata pelajaran bahasa daerah. Kemudian menyosialisasikan bahasa daerah ke masyarakat lewat media massa atau penerbitan khusus. Ini baru ihwal bahasa.
Kemudian mata pencarian. Apakah para kandidat yang nantinya terpilih menjadi wali kota/wakil kota pasca 30 Juni 2010, juga sudah punya komitmen memperkecil antre para generasi muda di loket tenaga kerja. Kenyataannya, pemerintah seperti hendak mengubah cara masyarakat dalam mencari mata pencarian. Sebagai contoh, kekhawatiran masyarakat nelayan di pesisir pantai oleh sebab program water front city. Belum lagi mata pencarian para pengusaha lemah yang mengharap hidup dari kaki lima. Hari-harinya senantiasa dicekam ancaman penggusuran.
Saya meragukan komitmen tanpa dibarengi kontrak politik dari para kandidat pilkada kota Bandarlampung mengenai pengembangan seni budaya (dan pariwisata). Nantinya, hanya berhenti sebagai jargon politik di arena kampanye. Masyarakat seni budaya tidak punya kekuatan untuk menagih janji. Lalu seperti juga sebelum-sebelumnya, kehidupan seni budaya di Bandarlampung dibiarkan matisuri.
Kesenian pula, sekali lagi bukan hanya urusan tari-tarian. Tari-tarian juga bukan melulu tari tradisional seperti Sigeh Penguten, Melinting, dan seterusnya. Tari kreasi dan tari kontemporer juga punya hak hidup. Begitu pula seni musik. Para seniman musik kreatif pun mesti dikembangkan. Belum lagi film, seni sastra, rupa, ataupun teater.
Kalau Pemkot Bandarlampung mampu ’’menerbangkan’’ para seniman binaan Disbudpar ke Festival Tong Tong di Belanda, konsekuensinya pemkot juga tak keberatan memberikan bantuan bagi sanggar/komunitas seni lainnya yang diundang ke luar Bandarlampung karena kreativitasnya.
Tegasnya, seni budaya bukan hanya diukur dari senitari. Sanggar seni yang ‘diakui’ pemkot, juga bukan hanya yang dibina oleh isteri wailota atau Disbudpar. Sanggar-sanggar (komunitas) seni yang tumbuh di luar linggakaran pemerintah, seperti di Pasar Seni Enggal, di halaman Taman Budaya Lampung, di rumah-rumah kontrakan, serta individu-individu seniman sejatinya mendapat perhatian pemerintah untuk dikembangmajukan.
Oleh sebab itu, sebagai masukan bagi kandidat yang terpilih menjadi wali kota/wakil kota perlu komitmen regulasi anggaran bagi pengembangan seni budaya. Tanpa itu, pengembangan kesenian hanya temporer. Boleh dipikirkan, pada waktu lain bisa saja diabaikan. Ini pula yang terjadi terhadap nasib DKBL, yang konon 2010 tak jelas anggarannya.
Harapan saya tidak muluk-muluk kepada wali kota/wakil wali kota terpilih nanti. Cukuplah meregulasi anggaran bagi kesenian. Dengan cara mengucurkan kembali dana untuk DKBL. Selain itu, Disbudpar Bandarlampung bertanggung jawab hidup-matinya sanggar-sanggar (komunitas) yang selama ini terbukti kreativitasnya. Instansi itu juga bertanggung jawab pada potensi pariwisata di kota ini, yang selama ini dibiarkan semrawut dan tak tertata. Salah satu contoh, pasar seni, hutan monyet, terowongan yang ditengarai benteng peninggalan kolonial yang membentang dari kawasan Hotel Hartono hingga SMAN 2 Bandarlampung.
Bahkan, sebenarnya, kalau pemkot kreatif ,bisa membuat reflik Batuserampok yang ceritanya kini hanya abadi dalam cerita yang dikarang Motinggo Busye dan beberapa puisi yang ditulis penyair Lampung. Termasuk pula kapal yang terdamnpar di kawasan Sumurputri karena letusan Gunung Krakatau 1883 dan kini sudah tak berbekas lantaran rongsokannya dipereteli masyarakat, bisa dibuat reflik kembali.
Tentulah ini hanya sebuah harapan. Mungkin saja nantinya tak bisa dipenuhi wali kota/wakil wali kota yang baru. Tetapi kadung janji. Itu adalah utang. Maka, masyarakat seni laik menagih.
* Isbedy Stiawan Z.S., Seniman Lampung
Sumber: Radar Lampung, Selasa, 29 Juni 2010
saya sangat setuju bang atas argumentasinya. sebab daerah yg dipandang memiliki peradaban, dilihat dari budayanya yg terlahir dg baik dg tidak meninggalkan atau memusnahkan sejarah dari budayanya.
ReplyDelete