Oleh Adian Saputra
REDAKTUR opini koran kami, Zulkarnain Zubairi, mengeluh soal perubahan nama Pameran Pembangunan Lampung menjadi Lampung Fair. Udo Zul, demikian ia disapa, mengatakan perubahan nama itu tidak punya makna apa-apa. Bahkan, menghilangkan identitas pameran yang sudah dikenal banyak orang, termasuk di luar Lampung.
Apa yang dikeluhkan rekan kami itu sudah tentu menjadi perhatian kami. Pameran Pembangunan Lampung sudah benar dan apik dipakai. Ia mencerminkan betapa pemerintah telah piawai dalam berbahasa resmi. Itu juga menunjukkan bahwa pemerintah berhasil dalam membangun dan menginformasikan keberhasilan itu kepada khalayak.
Mengapa nama Pameran Pembangunan Lampung tidak tidak dipertahankan? Alih-alih meningkatkan mutu berbahasa Indonesia, penyelenggara malah menggunakan bahasa Inggris. Fair dalam Kamus Inggris-Indonesia yang disusun John M. Echols dan Hassan Shadily berarti pekan raya. Jika definisi ini yang dipakai, gagah juga. Kita tentu akan ingat pada Pekan Raya Jakarta yang digelar untuk memperingati hari ulang tahun Jakarta. Pameran Pembangunan Lampung bagus dipakai. Mau menggunakan Pekan Raya Lampung juga enak didengar. Terdengarnya lebih wah dan kesannya punya muruah. Bisa dibanggakan begitu.
Akan lebih "gurih" pula ketika menggunakan Pekan Raya Buku Jakarta sebagai padanan untuk Jakarta Book Fair atau Bazar Akbar Buku Islami ketimbang menggunakan Jakarta Book Fair. Yakinlah, hanya sedikit orang asing yang datang pada acara yang dihelat orang Indonesia asli itu. Maka itu, buat apa kita bergagah-gagah dengan bahasa Inggris sedangkan bahasa ibu tidak kita gunakan. Apalagi, dalam momentum resmi dan membawa nama daerah sebagai ikon.
Sudah saatnya pemerintah menjadi pihak pertama yang menghormati bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Demikian juga dengan semua masyarakat dan media massa. Keduanya dituntut untuk dapat menjadi penutur bahasa Indonesia yang baik. Kita sukses menyebut Piala Dunia untuk World Cup dan Liga Champions untuk Champions League. Namun, kita ternyata masih gamang untuk menulis rembuk nasional dan memilih menggunakan national summit. Dalam ruang lingkup olahraga pun, penggunaan bahasa Inggris mendominasi.
Untuk olahraga sepak bola, misalnya, penyelenggara menggunakan Indonesian Super League. Padahal, jika penyelenggara menggunakan Liga Super Indonesia masih perlente juga, masih gagah, dan terasa magnetnya. Namun, lagi-lagi, kita belum menghargai bahasa Indonesia. Soal nama ingin gagah, boleh-boleh saja. Cuma, prestasi lebih utama. Buat apa nama kompetisinya mentereng menggunakan bahasa Inggris, tapi prestasi sepak bola nasional melempem. Termasuk juga Lampung Fair ini. Ketimbang bergagah-gagah dengan nama berbahasa Inggris, lebih baik meningkatkan mutu pameran setiap tahunnya. Yang juga harus dijaga mutunya ialah bahasa. Maka itu, kembalikan muruah bahasa Indonesia pada kedudukannya.
* Adian Saputra, Asisten redaktur bahasa Lampung Post
Sumber: Lampung Post, Rabu, 16 Juni 2010
No comments:
Post a Comment