>> Bagian Terakhir dari Dua Tulisan
Oleh Febrie Hastianto
SOAL asal usul nama Lampung juga menarik didiskusikan. Seperti halnya arus utama (mainstream) penulisan asal usul nama Lampung yang mendasarkan pada catatan I-Tsing, Henry juga mendasarkan teorinya pada catatan musafir China ini. Bedanya, Henry menyebut Lampung berasal dari kata selopun yang berakar dari kata tola p'ohwang.
Bila G. Ferrand dan R.M. Ng Poerbatjaraka berpendapat to-lang-po-hwang sebagai transliterasi dari nama Kerajaan Tulangbawang yang posisinya berada di daerah aliran Way Tulangbawang kini (Sumadio, 1990:79; Muljana, 1981:20), menurut Henry, tola p'ahwang adalah selopun dalam lidah I-Tsing yang tak mahir mengeja suku kata "se" sehingga diucapkan menjadi "to". I-Tsing sesungguhnya tidak pernah singgah di Selopun, atau Sekala yang posisinya diduga berada di Lampung Barat. I-Tsing hanya singgah di muara sungai besar di pantai timur Sumatera (Menarik untuk dikaji, mengapa I-Tsing pun berlayar di pantai timur Sumatera, bukan pantai barat Sumatera sebagaimana pelayaran imigran dari India menurut tesis Henry). Daerah itu dikenal sebagai To-la- P'o-hwang yang kini dikenal sebagai Tulangbawang. Kesimpulan sederhana dapat ditarik dari sejumlah pertanyaan atas realitas ini. Bila Henry menyebut bahwa I-Tsing keliru menyebut selopun, atau sekala di Lampung Barat sebagai to-la- p’o-hwang, bukankah logika berpikir kita dapat di balik menjadi: Sekala justru tidak berada di Lampung Barat, tetapi berada di To-la- P’o-hwang atau Tulangbawang yang kita kenal selama ini.
Selain To-la- P’o-hwang, berita China lain yang ditulis Fa-Hsien menyebut-nyebut Kota Yeh-po-ti, kota yang terpaksa disinggahinya karena kapal yang ditumpanginya terserang badai. Dalam kesaksiannya, Fa-Hsien mengatakan masyarakatnya merupakan penganut Hindu. Dalam catatannya, Fa-Hsien hanya menuliskan yeh-po-ti satu kali saja, tanpa diulas lebih lanjut. Dari catatan kecil ini dapat disimpulkan ekspedisi China jarang mendatangi lokasi ini. Yeh-po-ti kemudian ditransliterasikan dari seputih, yang posisi geografisnya berada di Lampung (Sholihat, 1980:5 dalam Saptono, 2007). Menariknya, meski sama-sama diduga berada di Lampung dan berada pada masa yang sama (abad V Masehi), To-lang-po-hwang atau Tulangbawang dan Yeh-po-ti atau Seputih menganut agama yang berbeda. To-lang-po-hwang beragama Buddha, sedang Yeh-po-ti beragama Hindu. Bila keduanya benar berada di Lampung, sungguh kita mendapat contoh yang baik bagaiamana kerukunan beragama telah berakar sejak lama di bumi lada ini.
Kisah Henry dalam esainya diakhiri dengan satu paragraf kunci. Setelah menguraikan hubungan Sekala dengan dinasti Mataram Kuno di Jawa, disebutkan oleh Henry bila Balaputera Dewa, Raja Sekala (dalam arus utama [mainstream] penulisan sejarah dikenal sebagai raja Sriwijaya) membuat siger (mahkota) yang berbentuk miniatur Candi Borobudur yang dibangun di daerah Magelang Jawa Tengah saat ini. Tafsir ini terhitung baru, tetapi sayangnya Henry tidak melengkapi dengan dalil pembenar bila siger merupakan miniatur Borobudur.
Ditinjau dari bentuknya, siger memang mirip Borobudur. Namun, bentuk piramida bukan hal baru dalam peradaban purba. Sebelumnya kita telah mengenal punden berundak, gunungan (biasanya dalam pewayangan) di Jawa, atau piramida di Mesir yang bentuknya segitiga serupa siger. Begitu juga bila kita menghayati detail bentuk siger dan Borobudur. Tajuk siger berjumlah sembilan atau tujuh, sedang detail tajuk stupa Borobudur (siluet segitiga Borobudur) dari kejauhan terlihat berjumlah puluhan. Dilihat dari bentuknya—dalam logika common sense—siger lebih mirip suntiang, mahkota perempuan Minang. Bila bentuk-bentuk ini sama mirip, mengapa siger dinisbatkan sebagai miniatur Borobudur, bukan punden berundak, piramida Mesir, gunungan Jawa, atau suntiang Minang? Itu artinya kesamaan bentuk masih hipotesis yang lemah untuk menyebut pertautan antara siger dan Borobudur.
Hipotesis yang lebih kuat misalnya bila disandarkan pada makna bentuk siger dan Borobudur. Apakah makna siger sama dengan makna bentuk Borobudur? Makna Borobudur dikenal bukan dari bentuk tajuknya (kemiringan segitiga Borobudur), melainkan dari struktur tingkatan candi yakni kamadhatu (alam bawah), rupadhatu (alam antara), dan arupadhatu (alam atas). Sedang makna siger ada sejumlah kalangan yang menyebut tajuk sembilan pada mahkota siger dimaknakan sebagai kebuayan utama di Lampung.
Teori ini sesungguhnya lemah, karena sebagaimana rekonstruksi yang disusun Prof. Hilman Hasikusuma, kebudayaan utama di Lampung hanya lima, yakni Inder Gajar bergelar umpu lapah di way beserta keturunannya yang kemudian bermukim di Puncak Dalom, Kacamatan Balikbukit, Lampung Barat. Umpu lapah di Way ini merupakan nenek moyang Buay Abung. Kemudian Pak Lang bergelar umpu pernong yang melakukan migrasi ke Hanibung Batubrak menjadi nenek moyang Buay Pubian. Sikin bergelar umpu nyerupa berkedudukan di Tampak Siring Sukau, Lampung Barat, melahirkan keturunan Buay Jelma Daya. Belunguh yang bergelar umpu belunguh bermukim di Kenali, Belalau, Lampung Barat, menurunkan Buay Peminggir. Dan Indarwati bergelar putri bulan menetap di Cenggiring, Batubrak, melahirkan Buay Tulangbawang (Sibarani, 2008).
Saya percaya bahwa skeptisisme merupakan pintu masuk ke dunia ilmu pengetahuan. Dengan skeptisisme, kita dapat menimbang simpulan-simpulan yang diambil, sehingga lahir objektivitas. Penulisan sejarah dan kebudayaan saya pahami sebagai laku intelektual. Mudah-mudahan skeptisisme saya ini semakin memperkuat rekosntruksi kita terhadap Sekala dan kebudayaan Lampung pada umumnya dan sedapat mungkin menghindarkan diri pada glorifikasi. Tabik.
Febrie Hastianto, alumnus Sosiologi FISIP UNS Solo. Menulis manuskrip Jejak Peradaban Bumi Ramik Ragom: Studi Etnografi Kebuayan Way Kanan, Lampung.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 18 September 2011
No comments:
Post a Comment