BANDAR LAMPUNG (Lampost): Isu lingkungan menjadi tema utama yang diusung Teater Lorong Sumatera Barat pada hari ketiga pergelaran teater se-Sumatera di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Rabu (27-5).
WARNING. Teater Lorong, Sumatera Barat mementaskan lakon Warming pada Pagelaran Teater se-Sumatera di gedung teater tertutup Taman Budaya Lampung (TBL), Rabu (27-5). Lakon karya Husin dan disutradarai Hasan ini mengangkat isu lingkungan. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Lakon yang berjudul Warning karya Husin dan disutradarai Hasan ini bercerita keadaan alam yang mulai hancur dan menderita akibat eksploitasi yang berlebihan.
Lakon dibuka dengan pidato seorang tokoh yang berbicara tentang pentingnya menjaga lingkungan. Beberapa saat kemudian sang tokoh berbalik 180 derajat menjadi seseorang yang dengan keji menghancurkan alam.
Suatu sindiran kepada "orang-orang besar" yang selama ini berkata tentang pentingnya menjaga lingkungan, tetapi tetap memberikan izin usaha kepada perusahaan yang menghasilkan limbah yang tidak bisa didaur ulang.
Simbol lingkungan yang terluka dan tercemar diperankan sempurna aktor-aktor yang berperan sebagai rerimbunan hutan. Emosi kesakitan, ketakutan, dan penderitaan sangat terasa dari tarian yang dinamakan Tari Buto, yaitu tari yang mengeksplorasi tubuh sedemikian rupa sehingga menampilkan suasana gelap dan mistis yang eksotis.
Warning menyentil sanubari kita untuk menjaga agar alam tetap harmonis. Pemanfaatan sumber daya alam tidak diharamkan, tetapi tidak secara berlebihan. Hormati alam sebagaimana mestinya karena manusia dan alam harus saling mengisi.
Kemudian pada pertunjukan kedua--pukul 16.00--Teater Petak Rumbia Bengkulu melakonkan Suatu Senja di Taman Bungaku karya E.Soewandi yang disutradrai sendiri.
Lakon ini bercerita tentang pemberontakan perempuan yang tidak pernah usai terhadap kondisi sosial budaya masyarakat tradisional yang selalu berada sebagai pihak yang "inferior" pada konsep takdir. Perempuan adalah tubuh yang tidak boleh sekalipun menang terhadap supremasi laki-laki.
Laki-laki dalam kehidupan tradisional terkonsep sebagai "superman", yang mempunyai darah yang lebih pekat dan berharga dibanding dengan perempuan. Kesuperioritasan laki-laki dalam lakon ini disimbolkan dengan kelebatan jubah hitam yang lebar menjuntai ke tanah dan menutupi seluruh tubuh tokoh perempuan pada saat mereka saling melempar dialog tentang waktu.
Waktu pada lakon ini adalah analogi dari takdir atau mungkin lebih tepatnya peran sosial yang dibentuk kebudayaan patrilineal, sehingga peran perempuan menjadi lebih rendah di bawah laki-laki.
Suasana dan aura yang gelap, menambah kesan keinferoran sang tokoh perempuan. Musik latar yang kadang berganti dari nada tradisional Melayu dan musik modern seakan ingin menyampaikan kondisi diskriminasi gender sudah berlangsung sejak zaman kuno dan masih berjalan sampai zaman modern sekarang tanpa bisa diubah secara keseluruhan karena sudah mengakar dalam masyarakat.
Ada gugatan yang hendak disampaikan dalam lakon ini, yaitu gugatan kepada perempuan untuk berani mengambil keputusan menurut hati sanubarinya terhadap kekuatan yang menekan mereka. Karena dalam konsep masyarakat tradisional, laki-laki akan kalah terhadap perempuan hanya jika dihukum waktu, yakni kematian. n MG-13/K-1
Sumber: Lampung Post, Kamis, 28 Mei 2009
No comments:
Post a Comment