ORANG kota sering mumet gara-gara listrik byarpet. Sebaliknya, warga Dusun Sukamarga, Suoh, Lampung Barat, tetap tersenyum dengan listrik kincir air karya Mang Emed.
Langkah kaki Emed (47) semakin lebar mendekati kincir air pembangkit listrik yang terletak di badan Gunung Cibitung. Walaupun harus mendaki jalan terjal, napas bapak tiga anak tidak terengah. Inilah kelebihan masyarakat desa, kebiasaan berjalan kaki membuat fisik mereka lebih sehat. Sesampainya di lokasi kincir air, Emed mengamati sejenak putaran kincir.
Lalu, dia kembali mendaki sekitar 200 meter untuk menutup saluran air. Seketika air mengalir pelan dan kecil. Emed setengah berlari turun, dengan sigap, dia mengecek turbin berdiameter 30 cm itu. Selanjutnya memeriksa kondisi kabel yang tersambung ke dinamo. “Masih bagus,” kata Emed.
Setelah memeriksa kondisi kincir mini, Emed kembali naik ke atas dan membuka saluran air. Air mengalir deras. Arus air yang kencang memutar turbin dan menggerakkan kincir. Energi gerak ini diubah menjadi energi listrik oleh sebuah dinamo kecil yang diletakkan di atas pancang kayu. “Dulu, kincir air ini adalah satu-satunya tenaga pembangkit listrik di kampung ini, tapi sekarang ada sekitar 20 kincir air milik kelompok-kelompok warga,” kata Emed.
Menurut Emed, dia tinggal di Suoh sejak 46 tahun lalu, ketika itu dia ikut bapaknya berladang di sana. Sampai Emed mendapatkan istri dan memiliki tiga anak. Awalnya, mereka tinggal di gubuk bambu di tengah pegunungan Cibitung, menjaga ladang dari serangan babi. Siang hari berladang dan malam harinya berlindung di dalam gubuk. “Puluhan tahun kami hidup tanpa penerangan listrik, hanya pakai lampu sentir yang dibuat dari bambu dan sabut kelapa,” ujarnya. Mereka tidak hanya bertarung dengan kegelapan, tapi juga keganasan hewan-hewan malam. Tak pelak, beberapa kali Emed dan keluarga berlari keluar rumah mencari tempat yang aman ketika segerombolan gajah melintasi gubuk mereka.
Dusun Sukamarga itu baru tersentuh penerangan listrik pada 2005, dan Emed menjadi pionir pembuatan kincir air mini di dusun ini. Awalnya, dia merakit alat menggunakan bahan seadanya. Emed tidak menggunakan turbin besi modern, tapi dia membuat sendiri turbin menggunakan kayu dan papan. Bahkan, dinamo pun dirakit dari kabel-kabel yang dililit-lilitkan.
Emed mengaku dinamo dari lilitan kabel ini tidak mampu menghasilkan tenaga listrik yang besar, hanya cukup untuk menghidupkan lima bohlam dengan voltase rendah. Tidak hanya dinamo yang lemah, tapi arus air yang tidak kuat juga memengaruhi energi listrik yang dihasilkan.
Akhirnya Emed memanfaatkan buluh bambu untuk membuat saluran air ke kincir. Buluh utama berukuran 8 cm, disambung dengan buluh berukuran 6 cm, dan terakhir buluh berukuran 4 cm. Degradasi ukuran buluh ini memperkuat arus air. Dari sinilah, Emed bisa berbagi listrik dengan beberapa tetangganya.
“Kalau sekarang sih hampir semua sudah bisa membuat kincir mini, dan mereka sudah memakai alat-alat modern. Seperti dinamo tinggal beli, turbin juga dibeli, terus sekarang pakai pipa, tidak pakai buluh lagi,” kata pria etnis Sunda ini.
Untuk membuat satu kincir air mini membutuhkan dana sekitar Rp16 juta. Kincir air dengan kapasitas dinamo 3.000 watt itu didistribusikan untuk 5—6 rumah. Bisa digunakan untuk menghidupkan lampu, komputer, dan televisi.
“Untuk biaya pemeliharaan kincir, warga mambayar iuran setiap bulan untuk satu lampu Rp30 ribu, kalau untuk televisi Rp100 ribu/bulan,” katanya.
Kini, semua warga Sukamarga sudah menikmati listrik di rumah masing-masing. Air pegunungan Cibitung merupakan berkah yang melimpah ruah. Di musim kemarau pun air ini tetap mengalir deras. Jadi, jangan heran, jika di siang hari pun, listrik-listrik di dusun ini tetap menyala terang. (RINDA MULYANI/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 April 2012
No comments:
Post a Comment