Oleh Karina Lin
TULISAN ini mengomentari sekaligus menambahkan opini yang dimuat Lampung Post, Kamis (19-9), berjudul Menuju FK (Festival Krakatau) yang membumi di Lampung. ?Opini tersebut tentu saja dilihat dari judulnya jelas sekali memaparkan pandangan-pandangan penulisnya, yakni Sastrawan Lampung Isbedy Stiawan mengenai hal ikhwal penyelenggaraan Festival Krakatau (FK).
Secara mendasar, saya menyetujui pandangan-pandangan yang dipaparkan penulis tersebut. Salah satu bagian dari tulisan itu sebagai berikut: ?Selama ini FK berada di awang-awang atau lebih tegasnya tidak berpijak di tanah, dus dengan demikian pantaslah jika FK memang kurang memasyarakat dan asing di masyarakat Lampung sendiri... Masih banyak masyarakat Lampung yang acap tidak tahu tanggal penyelenggaraan FK?.
Harus diakui saya sebagai warga Lampung yang telah tinggal lebih dari 20 tahun di Bumi Ruwa Jurai ini tidak paham. Sesungguhnya FK ini apa dan hendak dibawa kemana? Kebetulan saya turut hadir dalam diskusi yang dihelat Lampung Post pada Selasa (17-9) lalu, yang secara khusus membahas mengenai FK.
Dalam diskusi tersebut, hadir Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Lampung Masri Yahya, yang dalam kesempatan itu menyatakan FK tidak hanya dianggap sebagai simbol pariwisata, tetapi makna yang ingin direngkuh, yakni ditujukan merangsang potensi wisata dengan seni budaya Lampung. Pasalnya, seni dan budaya Lampung punya warna tersendiri.
Tarikh Bukan Utama
Tulisan Isbedy dalam sebuah paragrafnya menyebut: ?Persoalan mendasar menjual wisata, saya kira adalah tarikh yang tidak berubah-ubah?.
Di sini, yang bersangkutan membandingkan dengan pergelaran Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) di Bali yang senantiasa dilaksanakan bertepatan Ramadan, Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) yang selalu pasti dan termasuk Pekan Kebudayaan Bali (PKB) yang tidak bergeser tanggalnya.
Sementara FK di Lampung nyaris tiap tahun selalu berubah. Salah satu contoh inkonsistennya melalui pemberitaan di media online: ada yang menyebut September, ada yang menyebut Oktober.
Persoalan tarikh penyelenggaraan yang kerap berubah-ubah atau tidak konsisten sebagai persoalan mendasar, menurut saya lebih tepat dikatakan sebagai ?salah satu? persoalan mendasar saja. Mengapa? Lantaran masih ada persoalan mendasar lainnya.
Saya kutipkan lagi satu paragraf yang merupakan pengalaman Isbedy menghadiri Festival Kesenian di Papua (yang) bagaimana festival itu bisa mendatangkan para seniman tradisional dari pedalaman Papua.
?Mereka datang ke tempat acara hanya menggunakan perahu dan bisa beberapa hari di perjalanan. Namun, karena natural dan sangat kultural, kehadiran seniman Papua pedalaman itu sangat eksotis dan asyik ditonton. Kalau Festival Krakatau dapat menghadirkan kesenian asli Lampung misalnya, dari pedalaman Provinsi Lampung yang masih natural juga bisa jadi akan punya nilai tersendiri?.
Nah, saya juga punya harapan serupa. Namun, bagaimana mungkin mewujudkan harapan tersebut kalau (ah bukan kalau, melainkan) kenyataannya warga Lampung sendiri tidak pernah merasa ?memiliki? FK?hajatan budaya terbesar di provinsi ujung Pulau Sumatera ini? Inilah, persoalan mendasar lainnya yang harus disikapi serius.
Jangan Hanya Budaya dan Wisata
Jadi, saya kira ?solusi? yang pas yang bisa diajukan di sini ialah melakukan revisi terhadap penyelenggaraan FK. Jangan melulu berkutat kepada menjual dan mengejar target omzet. Tetapi, pikirkanlah bagaimana supaya melalui FK ini seluruh warga Lampung bisa merasa dilibatkan dan memiliki.
Dilibatkan dan memiliki bukan hanya sebatas menjadi ?penyemarak? saja, lebih dari itu memahami makna FK atau syukur-syukur (yang paling gampang) tidak mengecilkan nama Krakatau.
Mari bandingkan, mengapa orang tetap berniat datang ke Bali atau Yogyakarta meskipun ketika mereka berkunjung ke sana, tidak dalam rangka menghadiri event budaya tertentu?
Lantaran masyarakat atau warga di sana ?menyatu? dengan kelokalan daerah mereka, terlepas apakah warga tersebut memang asli warga daerah sana sejak nenek moyang ataupun warga keturunan yang telah lama bermukim di sana. Ada suatu proses kesadaran adaptasi etnisitas dan kultural secara bertahap.
Kepada otoritas yang berwenang menyelenggarakan FK, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung?semoga pemaparan-pemaparan atau masukan-masukan terkait FK bisa sungguh-sungguh dtindaklanjuti.
Mungkin masih banyak yang tidak tahu ada sebuah lukisan berjudul The Scream yang dilukis Edward Munch. Lukisan ini aslinya terdapat empat versi lukisan, tiga di antaranya disimpan di Museum Norwegia, dua di antaranya pernah dicuri. Versi keempatnya bernilai mahal karena bisa dimiliki perorangan.
Pada lelang Mei tahun lalu, lukisan The Scream memecahkan rekor, yakni terjual senilai 120 juta dolar AS (setara Rp1,1 Triliun). Yang menarik, lukisan The Scream ini diyakini terilhami efek letusan Gunung Krakatau 27 Agustus, 130 tahun silam. Latar lukisan tersebut adalah langit merah yang memang menjadi wajah Eropa sehari-hari setelah letusan terbesar sejagat itu (merdeka.com, 28 Agustus 2013).
Sementara surat kabar New York Times pernah pula mencomot nama Krakatau (bersama Bali) sebagai salah satu judul pemberitaannya ketika di 1998, Indonesia mengalami krisis moneter. Dunia Memandang Bali dan Melihat Krakatau, demikian salah satu judul pemberitaan dari surat kabar yang terbit di Kota berjuluk Big Apple ini pada 18 Januari 1998.
Mengapa judul yang dipilih Bali dan Krakatau untuk menggambarkan imajinasi orang-orang Negeri Paman Sam terhadap Indonesia? Lantaran keduanya sama asing dan eksotisnya bagi imajinasi dan fantasi orang-orang Amerika Serikat.
Bali adalah suatu fenomena yang indah dan nyaman, sedangkan Krakatau adalah bencana yang berdampak begitu hebat pada kehidupan mereka (dunia memandang Bali dan melihat Krakatau: pandangan pihak luar negeri mengenai krisis dan proses reformasi Indonesia, Francisia SSE, Seda)
Mencerminkan betapa ?besar? nama Krakatau sehingga rasanya sayang dan mubazir (banget!), kalau festival tahunan yang berbuzet besar ini ditujukan hanya untuk menjual dan meraih omzet semata.
Karina Lin, pemerhati sosial budaya
Sumber: Lampung Post, Rabu, 25 September 2013
TULISAN ini mengomentari sekaligus menambahkan opini yang dimuat Lampung Post, Kamis (19-9), berjudul Menuju FK (Festival Krakatau) yang membumi di Lampung. ?Opini tersebut tentu saja dilihat dari judulnya jelas sekali memaparkan pandangan-pandangan penulisnya, yakni Sastrawan Lampung Isbedy Stiawan mengenai hal ikhwal penyelenggaraan Festival Krakatau (FK).
Secara mendasar, saya menyetujui pandangan-pandangan yang dipaparkan penulis tersebut. Salah satu bagian dari tulisan itu sebagai berikut: ?Selama ini FK berada di awang-awang atau lebih tegasnya tidak berpijak di tanah, dus dengan demikian pantaslah jika FK memang kurang memasyarakat dan asing di masyarakat Lampung sendiri... Masih banyak masyarakat Lampung yang acap tidak tahu tanggal penyelenggaraan FK?.
Harus diakui saya sebagai warga Lampung yang telah tinggal lebih dari 20 tahun di Bumi Ruwa Jurai ini tidak paham. Sesungguhnya FK ini apa dan hendak dibawa kemana? Kebetulan saya turut hadir dalam diskusi yang dihelat Lampung Post pada Selasa (17-9) lalu, yang secara khusus membahas mengenai FK.
Dalam diskusi tersebut, hadir Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Lampung Masri Yahya, yang dalam kesempatan itu menyatakan FK tidak hanya dianggap sebagai simbol pariwisata, tetapi makna yang ingin direngkuh, yakni ditujukan merangsang potensi wisata dengan seni budaya Lampung. Pasalnya, seni dan budaya Lampung punya warna tersendiri.
Tarikh Bukan Utama
Tulisan Isbedy dalam sebuah paragrafnya menyebut: ?Persoalan mendasar menjual wisata, saya kira adalah tarikh yang tidak berubah-ubah?.
Di sini, yang bersangkutan membandingkan dengan pergelaran Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) di Bali yang senantiasa dilaksanakan bertepatan Ramadan, Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) yang selalu pasti dan termasuk Pekan Kebudayaan Bali (PKB) yang tidak bergeser tanggalnya.
Sementara FK di Lampung nyaris tiap tahun selalu berubah. Salah satu contoh inkonsistennya melalui pemberitaan di media online: ada yang menyebut September, ada yang menyebut Oktober.
Persoalan tarikh penyelenggaraan yang kerap berubah-ubah atau tidak konsisten sebagai persoalan mendasar, menurut saya lebih tepat dikatakan sebagai ?salah satu? persoalan mendasar saja. Mengapa? Lantaran masih ada persoalan mendasar lainnya.
Saya kutipkan lagi satu paragraf yang merupakan pengalaman Isbedy menghadiri Festival Kesenian di Papua (yang) bagaimana festival itu bisa mendatangkan para seniman tradisional dari pedalaman Papua.
?Mereka datang ke tempat acara hanya menggunakan perahu dan bisa beberapa hari di perjalanan. Namun, karena natural dan sangat kultural, kehadiran seniman Papua pedalaman itu sangat eksotis dan asyik ditonton. Kalau Festival Krakatau dapat menghadirkan kesenian asli Lampung misalnya, dari pedalaman Provinsi Lampung yang masih natural juga bisa jadi akan punya nilai tersendiri?.
Nah, saya juga punya harapan serupa. Namun, bagaimana mungkin mewujudkan harapan tersebut kalau (ah bukan kalau, melainkan) kenyataannya warga Lampung sendiri tidak pernah merasa ?memiliki? FK?hajatan budaya terbesar di provinsi ujung Pulau Sumatera ini? Inilah, persoalan mendasar lainnya yang harus disikapi serius.
Jangan Hanya Budaya dan Wisata
Jadi, saya kira ?solusi? yang pas yang bisa diajukan di sini ialah melakukan revisi terhadap penyelenggaraan FK. Jangan melulu berkutat kepada menjual dan mengejar target omzet. Tetapi, pikirkanlah bagaimana supaya melalui FK ini seluruh warga Lampung bisa merasa dilibatkan dan memiliki.
Dilibatkan dan memiliki bukan hanya sebatas menjadi ?penyemarak? saja, lebih dari itu memahami makna FK atau syukur-syukur (yang paling gampang) tidak mengecilkan nama Krakatau.
Mari bandingkan, mengapa orang tetap berniat datang ke Bali atau Yogyakarta meskipun ketika mereka berkunjung ke sana, tidak dalam rangka menghadiri event budaya tertentu?
Lantaran masyarakat atau warga di sana ?menyatu? dengan kelokalan daerah mereka, terlepas apakah warga tersebut memang asli warga daerah sana sejak nenek moyang ataupun warga keturunan yang telah lama bermukim di sana. Ada suatu proses kesadaran adaptasi etnisitas dan kultural secara bertahap.
Kepada otoritas yang berwenang menyelenggarakan FK, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Lampung, Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan, dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Lampung?semoga pemaparan-pemaparan atau masukan-masukan terkait FK bisa sungguh-sungguh dtindaklanjuti.
Mungkin masih banyak yang tidak tahu ada sebuah lukisan berjudul The Scream yang dilukis Edward Munch. Lukisan ini aslinya terdapat empat versi lukisan, tiga di antaranya disimpan di Museum Norwegia, dua di antaranya pernah dicuri. Versi keempatnya bernilai mahal karena bisa dimiliki perorangan.
Pada lelang Mei tahun lalu, lukisan The Scream memecahkan rekor, yakni terjual senilai 120 juta dolar AS (setara Rp1,1 Triliun). Yang menarik, lukisan The Scream ini diyakini terilhami efek letusan Gunung Krakatau 27 Agustus, 130 tahun silam. Latar lukisan tersebut adalah langit merah yang memang menjadi wajah Eropa sehari-hari setelah letusan terbesar sejagat itu (merdeka.com, 28 Agustus 2013).
Sementara surat kabar New York Times pernah pula mencomot nama Krakatau (bersama Bali) sebagai salah satu judul pemberitaannya ketika di 1998, Indonesia mengalami krisis moneter. Dunia Memandang Bali dan Melihat Krakatau, demikian salah satu judul pemberitaan dari surat kabar yang terbit di Kota berjuluk Big Apple ini pada 18 Januari 1998.
Mengapa judul yang dipilih Bali dan Krakatau untuk menggambarkan imajinasi orang-orang Negeri Paman Sam terhadap Indonesia? Lantaran keduanya sama asing dan eksotisnya bagi imajinasi dan fantasi orang-orang Amerika Serikat.
Bali adalah suatu fenomena yang indah dan nyaman, sedangkan Krakatau adalah bencana yang berdampak begitu hebat pada kehidupan mereka (dunia memandang Bali dan melihat Krakatau: pandangan pihak luar negeri mengenai krisis dan proses reformasi Indonesia, Francisia SSE, Seda)
Mencerminkan betapa ?besar? nama Krakatau sehingga rasanya sayang dan mubazir (banget!), kalau festival tahunan yang berbuzet besar ini ditujukan hanya untuk menjual dan meraih omzet semata.
Karina Lin, pemerhati sosial budaya
Sumber: Lampung Post, Rabu, 25 September 2013
No comments:
Post a Comment