GELOMBANG tinggi menghempas, perahu-perahu terombang-ambing. Namun, aktivitas warga di Dermaga II Kotaagung, Tanggamus, tetap berjalan. Sementara pemancing, penikmat suasana, penyantai justru menikmati pemandangan.
Kawasan Teluk Semaka, Kotaagung, Tanggamus, Jumat (13-9) siang. Matahari merambat dan mulai merebah ke barat. Angin bukan lagi berdesir, tetapi menyapu laut dan membawa serta lapisan air ke pinggir.
Laksana karpet putih, permukaan tirta samudera itu itu digulung setinggi dua?tiga meter menjadi alun. Byurrrr...., di tepian, ia menerabas apa saja yang ditemukan dan pecah.
Alun itu seperti kafilah tak terbatas jumlah. Satu pecah di pantai, di belakangnya menyusul. Terus, terus, dan terus. Sementara, orang-orang yang berada di sampan, perahu, tongkang, dan di pinggir laut yang sedang beraktivitas mencari makan meningkahi dengan aneka cara berkelit. ?Woooi, gelombangnya lagi tinggi. Hati-hati,? teriak salah satu pemancing di pinggiran pantai.
Di pantai samping dermaga ponton, perahu-perahu warga yang memuat aneka hasil bumi dari Pulau Tabuan dan Pulau Pisang seperti menari di atas air. Tarian jung-jung dengan muatan kelapa, pisang, sayuran, juga padi itu membuat penumpangnya yang sedang menurunkan muatan berkompromi. Mereka mengikuti irama perahu yang digoyang ombak.
Beberapa kuli panggul segera membelasak pantai menuju perahu yang tak bisa sandar sampai ke pinggir. Berikutnya, para pemanggul itu seperti mengantre mendapat beban dalam karung plastik, lalu berjalan menuju daratan.
?Setiap hari, hasil bumi dari seberang selalu bongkar di sini. Ini ombaknya lagi gede, jadi agak repot,? kata salah seorang warga sambil memperhatikan barang-barang yang diturunkan.
Alam yang sedang kurang bersahabat memang menyulitkan orang-orang beraktivitas. Namun, belasan orang justru menikmati suasana dari atas dermaga yang menjorok ke laut seakan berada di tengah. Angin kencang yang menyergap dinikmati serasa salju di tengah terik. Gelombang yang mengempas dan membuih adalah pemandangan yang dinamis. Dan, suara gemuruh yang sahut-menyahut dinikmati sebagai orkestra alam yang tak butuh konduktor.
Dari atas dermaga, menengok ke arah pantai, puluhan perahu nelayan warna-warni, bendera dan umbul-umbulnya berkibar hebat diterabas angin. Meski telah terparkir di pasir pantai, angin kencang yang mengantar air laut mendekatinya seolah mengundang perahu-perahu itu bermain.
Tak pelak, saat suasana seperti itu, justru banyak warga yang menikmati sore di dermaga ini. Dermaga yang konon sudah ada sejak zaman Belanda dan tertua di Lampung ini adalah tempat yang cukup istimewa untuk bersantai.
Di tengah orang bersantai menikmati pemandangan, pantai itu menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Kotaagung mencari nafkah. Para nelayan dan para petani dari pulau-pulau yang kerap menyeberang membawa hasil panen mereka.
Di pinggir pantai tampak satu kapal tongkang besar yang sedang bersiap untuk berlayar. Rencananya kapal itu akan membawa bahan-bahan bangunan beton ke seberang pulau. Aktivitas sore itu cukup padat. ?Kalau sore begini biasa ombak besar, nanti habis magrib tenang lagi,? ujar salah satu pemancing.
Beberapa pengunjung menjadikan suasana sore sebagai hiburan keluarga. Tampak, ibu-ibu merayu anak-anak mereka agar mau makan. Beberapa remaja memarkirkan sepeda motornya di dermaga dan duduk disana. Dan, para pemancing yang tetap asyik dengan hobinya walau tak ada ikan yang bisa dibawa pulang hari itu. Dermaga II Kotaagung ini telah menjadi oasis bagi penduduk sekitar. (RINDA MULYANI/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 September 2013
Kawasan Teluk Semaka, Kotaagung, Tanggamus, Jumat (13-9) siang. Matahari merambat dan mulai merebah ke barat. Angin bukan lagi berdesir, tetapi menyapu laut dan membawa serta lapisan air ke pinggir.
Laksana karpet putih, permukaan tirta samudera itu itu digulung setinggi dua?tiga meter menjadi alun. Byurrrr...., di tepian, ia menerabas apa saja yang ditemukan dan pecah.
Alun itu seperti kafilah tak terbatas jumlah. Satu pecah di pantai, di belakangnya menyusul. Terus, terus, dan terus. Sementara, orang-orang yang berada di sampan, perahu, tongkang, dan di pinggir laut yang sedang beraktivitas mencari makan meningkahi dengan aneka cara berkelit. ?Woooi, gelombangnya lagi tinggi. Hati-hati,? teriak salah satu pemancing di pinggiran pantai.
Di pantai samping dermaga ponton, perahu-perahu warga yang memuat aneka hasil bumi dari Pulau Tabuan dan Pulau Pisang seperti menari di atas air. Tarian jung-jung dengan muatan kelapa, pisang, sayuran, juga padi itu membuat penumpangnya yang sedang menurunkan muatan berkompromi. Mereka mengikuti irama perahu yang digoyang ombak.
Beberapa kuli panggul segera membelasak pantai menuju perahu yang tak bisa sandar sampai ke pinggir. Berikutnya, para pemanggul itu seperti mengantre mendapat beban dalam karung plastik, lalu berjalan menuju daratan.
?Setiap hari, hasil bumi dari seberang selalu bongkar di sini. Ini ombaknya lagi gede, jadi agak repot,? kata salah seorang warga sambil memperhatikan barang-barang yang diturunkan.
Alam yang sedang kurang bersahabat memang menyulitkan orang-orang beraktivitas. Namun, belasan orang justru menikmati suasana dari atas dermaga yang menjorok ke laut seakan berada di tengah. Angin kencang yang menyergap dinikmati serasa salju di tengah terik. Gelombang yang mengempas dan membuih adalah pemandangan yang dinamis. Dan, suara gemuruh yang sahut-menyahut dinikmati sebagai orkestra alam yang tak butuh konduktor.
Dari atas dermaga, menengok ke arah pantai, puluhan perahu nelayan warna-warni, bendera dan umbul-umbulnya berkibar hebat diterabas angin. Meski telah terparkir di pasir pantai, angin kencang yang mengantar air laut mendekatinya seolah mengundang perahu-perahu itu bermain.
Tak pelak, saat suasana seperti itu, justru banyak warga yang menikmati sore di dermaga ini. Dermaga yang konon sudah ada sejak zaman Belanda dan tertua di Lampung ini adalah tempat yang cukup istimewa untuk bersantai.
Di tengah orang bersantai menikmati pemandangan, pantai itu menjadi saksi bisu perjuangan masyarakat Kotaagung mencari nafkah. Para nelayan dan para petani dari pulau-pulau yang kerap menyeberang membawa hasil panen mereka.
Di pinggir pantai tampak satu kapal tongkang besar yang sedang bersiap untuk berlayar. Rencananya kapal itu akan membawa bahan-bahan bangunan beton ke seberang pulau. Aktivitas sore itu cukup padat. ?Kalau sore begini biasa ombak besar, nanti habis magrib tenang lagi,? ujar salah satu pemancing.
Beberapa pengunjung menjadikan suasana sore sebagai hiburan keluarga. Tampak, ibu-ibu merayu anak-anak mereka agar mau makan. Beberapa remaja memarkirkan sepeda motornya di dermaga dan duduk disana. Dan, para pemancing yang tetap asyik dengan hobinya walau tak ada ikan yang bisa dibawa pulang hari itu. Dermaga II Kotaagung ini telah menjadi oasis bagi penduduk sekitar. (RINDA MULYANI/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 September 2013
No comments:
Post a Comment