HETEROGENITAS penduduk Lampung mempersatukan warganya menggunakan bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Faktor ini alamiah dan tanpa interes.
Lulus kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, Sustiyanti begitu girang saat lamarannya menjadi pegawai di Kantor Bahasa Provinsi Lampung tahun 2000. Bukan cuma soal status kariernya, perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah, ini sedang gandrung meneliti budaya daerah.
Ia membayangkan khazanah bahasa yang akan didapatnya ketika berada di Lampung nanti. Apalagi, referensinya menyebut suku Lampung adalah salah satu dari enam suku di Indonesia yang memiliki aksara, bahkan angka sendiri.
"Waktu itu saya terpikir akan mempelajari budaya dan bahasa baru," ujar Sustiyanti, Kamis (12-9).
Tapi, realita yang dilihat Sustiyanti ketika menjejakkan kaki di Lampung langsung buyar. "Ternyata bukan bahasa Lampung yang dipakai masyarakatnya sehari-hari, tapi bahasa Indonesia," kata dia mengenang.
Berkiprah di Lampung, ia melakukan penelitian. Sustiyanti menyebut tingginya tingkat heterogenitas dan arus kuat media yang menekan dari berbagai sisi membuat bahasa Lampung ditinggalkan, apalagi oleh kaum muda.
"Media juga punya andil terhadap pengaruhnya untuk remaja meninggalkan bahasa ibunya. Lihat saja sekarang bahasa-bahasa gaul yang diserap remaja dari berbagai media semakin membuat pemakaian bahasa Lampung ditinggalkan,? ujarnya.
Padahal, adat istiadat adalah wujud eksistensi sebuah suku, termasuk Lampung. Ketua Pusat Bahasa dan Lembaga Penelitian Unila Admi Syarif menyebut petatah-petitih sebagai indikator betapa ketika itu peradaban suku Lampung sudah sangat tinggi dan hebat. "Anda bayangkan, Lampung adalah satu dari enam suku di Indonesia yang memiliki aksara dan angka sendiri. Dulu, 12 tahun saya di Jepang, saya dan istri pakai bahasa Lampung, karena itu identitas kami," kata Admi Syarif yang memiliki adek (gelar, red) Raja Asal dari Megowpak Tulangbawang.
Meskipun demikian, Admi Syarif tak lantas menyalahkan sikap terbuka orang Lampung terhadap masyarakat pendatang yang akhirnya menciptakan kemajemukan di dalam masyarakat. Bahkan, Profesor Yamazaki, antropolog asal Jepang, lanjut dia, mengatakan sikap terbuka masyarakat Lampung adalah ciri yang membuat transmigrasi berhasil di Lampung.
"Lihat saja filosofi-filosofi orang Lampung itu. Mulai dari piil pesenggiri, nemui nyimah, nengah nyappur, semua itu menunjukkan sikap-sikap keterbukaan masyarakat Lampung terhadap pendatang.?
Saat ini, katanya, jangan lagi berbicara tentang suku, tetapi bagaimana merawatnya sebagai sebuah kebanggaan. Ia mencontohkan Unila yang setiap tahun mendatangkan mahasiswa dari luar negeri untuk mempelajari budaya Lampung.
"Anda pikir, kenapa Universitas Gadjah Mada bisa dikenal dunia? Bukan karena fakultas kedokterannya atau fakultas regulernya, melainkan karena sastra Jawanya. Keunikan ini yang paling mungkin dipelajari oleh orang asing. Lantas kita yang ada di sini kenapa justru meninggalkannya. Ingat, Lampung bukan hanya kaya dengan budaya dan adat istiadatnya saja, melainkan juga tanaman-tanaman khasnya.?
Upaya Strategis
Posisi pemerintah sangat strategis dalam pelestarian bahasa Lampung. Namun, beberapa potensi itu justru terabaikan. Mata pelajaran Bahasa Lampung, misalnya, tidak lagi tercantum dalam kurikulum 2013. Demikian halnya Unila yang seharusnya menjadi pelopor pendidikan bahasa Lampung justru menghapuskan program diploma 3 bahasa Lampungnya.
Menanggapi ini, Admi Syarif menilai semua itu harus dimulai dengan kesamaan komitmen untuk melestarikan budaya Lampung. Dalam kurikulum 2013 yang meniadakan mata pelajaran Bahasa Lampung, pemerintah bisa menyisipkannya sebagai modul sisipan, meski bukan sebagai muatan lokal.
Sedangkan terkait dengan dihapusnya program diploma 3 bahasa Lampung, ia tak bisa berkomentar. Ia justru kembali memberi contoh UGM yang bisa mendunia karena sastra Jawanya. "Semuanya kembali pada komitmen semua pihak.?
Demikian pula, lembaga-lembaga adat yang seharusnya menjadi penjaga justru terkesan bergeming. Sebaliknya, mereka justru mengobral gelar kepada siapa pun, bahkan hanya untuk kepentingan politis demi meraup dukungan semata.
Menanggapi ini, Wakil Ketua MPAL Kota Bandar Lampung Muhamad Ikhsan beralasan lembaga-lembaga adat bukan tak ingin bergerak dalam hal pelestarian. Hanya, ruang gerak mereka seperti terbatasi.
"Kami tidak punya anggaran sendiri. Kami ini hanya berada di bawah dinas, padahal banyak program-program, seperti membuat nama jalan dengan aksara Lampung atau mendorong pemerintah membuat peraturan tentang pelestarian budaya Lampung. Tetapi lihat saja sekarang, kami hanya dipakai saat ada gawi-gawi adat,? kata dia.
Dari sekian banyak daerah di Lampung, mungkin baru Pemerintah Kabupaten Way Kanan yang sudah berani menerapkan penggunaan bahasa Lampung di lingkungan pemerintahannya. Sejak 2011, Pemkab Way Kanan memberlakukan penggunaan bahasa dan pakaian adat setiap Senin dan Jumat kepada semua pegawai. Bahkan, untuk panggilan, mereka wajib menyebut gelar atau adok, bukan nama aslinya.
Merky Defrienc, salah satu pegawai di BKD Way Kanan, membenarkan hal tersebut. Menurutnya, hal ini merupakan salah satu upaya pelestarian budaya Lampung. "Pemakaian seragam dan bahasa Lampung itu diatur secara khusus dalam peraturan daerah sebagai payung hukumnya." (MEZA SWASTIKA/DIAN WAHYU/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 September 2013
Lulus kuliah di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, Sustiyanti begitu girang saat lamarannya menjadi pegawai di Kantor Bahasa Provinsi Lampung tahun 2000. Bukan cuma soal status kariernya, perempuan asal Pemalang, Jawa Tengah, ini sedang gandrung meneliti budaya daerah.
Ia membayangkan khazanah bahasa yang akan didapatnya ketika berada di Lampung nanti. Apalagi, referensinya menyebut suku Lampung adalah salah satu dari enam suku di Indonesia yang memiliki aksara, bahkan angka sendiri.
"Waktu itu saya terpikir akan mempelajari budaya dan bahasa baru," ujar Sustiyanti, Kamis (12-9).
Tapi, realita yang dilihat Sustiyanti ketika menjejakkan kaki di Lampung langsung buyar. "Ternyata bukan bahasa Lampung yang dipakai masyarakatnya sehari-hari, tapi bahasa Indonesia," kata dia mengenang.
Berkiprah di Lampung, ia melakukan penelitian. Sustiyanti menyebut tingginya tingkat heterogenitas dan arus kuat media yang menekan dari berbagai sisi membuat bahasa Lampung ditinggalkan, apalagi oleh kaum muda.
"Media juga punya andil terhadap pengaruhnya untuk remaja meninggalkan bahasa ibunya. Lihat saja sekarang bahasa-bahasa gaul yang diserap remaja dari berbagai media semakin membuat pemakaian bahasa Lampung ditinggalkan,? ujarnya.
Padahal, adat istiadat adalah wujud eksistensi sebuah suku, termasuk Lampung. Ketua Pusat Bahasa dan Lembaga Penelitian Unila Admi Syarif menyebut petatah-petitih sebagai indikator betapa ketika itu peradaban suku Lampung sudah sangat tinggi dan hebat. "Anda bayangkan, Lampung adalah satu dari enam suku di Indonesia yang memiliki aksara dan angka sendiri. Dulu, 12 tahun saya di Jepang, saya dan istri pakai bahasa Lampung, karena itu identitas kami," kata Admi Syarif yang memiliki adek (gelar, red) Raja Asal dari Megowpak Tulangbawang.
Meskipun demikian, Admi Syarif tak lantas menyalahkan sikap terbuka orang Lampung terhadap masyarakat pendatang yang akhirnya menciptakan kemajemukan di dalam masyarakat. Bahkan, Profesor Yamazaki, antropolog asal Jepang, lanjut dia, mengatakan sikap terbuka masyarakat Lampung adalah ciri yang membuat transmigrasi berhasil di Lampung.
"Lihat saja filosofi-filosofi orang Lampung itu. Mulai dari piil pesenggiri, nemui nyimah, nengah nyappur, semua itu menunjukkan sikap-sikap keterbukaan masyarakat Lampung terhadap pendatang.?
Saat ini, katanya, jangan lagi berbicara tentang suku, tetapi bagaimana merawatnya sebagai sebuah kebanggaan. Ia mencontohkan Unila yang setiap tahun mendatangkan mahasiswa dari luar negeri untuk mempelajari budaya Lampung.
"Anda pikir, kenapa Universitas Gadjah Mada bisa dikenal dunia? Bukan karena fakultas kedokterannya atau fakultas regulernya, melainkan karena sastra Jawanya. Keunikan ini yang paling mungkin dipelajari oleh orang asing. Lantas kita yang ada di sini kenapa justru meninggalkannya. Ingat, Lampung bukan hanya kaya dengan budaya dan adat istiadatnya saja, melainkan juga tanaman-tanaman khasnya.?
Upaya Strategis
Posisi pemerintah sangat strategis dalam pelestarian bahasa Lampung. Namun, beberapa potensi itu justru terabaikan. Mata pelajaran Bahasa Lampung, misalnya, tidak lagi tercantum dalam kurikulum 2013. Demikian halnya Unila yang seharusnya menjadi pelopor pendidikan bahasa Lampung justru menghapuskan program diploma 3 bahasa Lampungnya.
Menanggapi ini, Admi Syarif menilai semua itu harus dimulai dengan kesamaan komitmen untuk melestarikan budaya Lampung. Dalam kurikulum 2013 yang meniadakan mata pelajaran Bahasa Lampung, pemerintah bisa menyisipkannya sebagai modul sisipan, meski bukan sebagai muatan lokal.
Sedangkan terkait dengan dihapusnya program diploma 3 bahasa Lampung, ia tak bisa berkomentar. Ia justru kembali memberi contoh UGM yang bisa mendunia karena sastra Jawanya. "Semuanya kembali pada komitmen semua pihak.?
Demikian pula, lembaga-lembaga adat yang seharusnya menjadi penjaga justru terkesan bergeming. Sebaliknya, mereka justru mengobral gelar kepada siapa pun, bahkan hanya untuk kepentingan politis demi meraup dukungan semata.
Menanggapi ini, Wakil Ketua MPAL Kota Bandar Lampung Muhamad Ikhsan beralasan lembaga-lembaga adat bukan tak ingin bergerak dalam hal pelestarian. Hanya, ruang gerak mereka seperti terbatasi.
"Kami tidak punya anggaran sendiri. Kami ini hanya berada di bawah dinas, padahal banyak program-program, seperti membuat nama jalan dengan aksara Lampung atau mendorong pemerintah membuat peraturan tentang pelestarian budaya Lampung. Tetapi lihat saja sekarang, kami hanya dipakai saat ada gawi-gawi adat,? kata dia.
Dari sekian banyak daerah di Lampung, mungkin baru Pemerintah Kabupaten Way Kanan yang sudah berani menerapkan penggunaan bahasa Lampung di lingkungan pemerintahannya. Sejak 2011, Pemkab Way Kanan memberlakukan penggunaan bahasa dan pakaian adat setiap Senin dan Jumat kepada semua pegawai. Bahkan, untuk panggilan, mereka wajib menyebut gelar atau adok, bukan nama aslinya.
Merky Defrienc, salah satu pegawai di BKD Way Kanan, membenarkan hal tersebut. Menurutnya, hal ini merupakan salah satu upaya pelestarian budaya Lampung. "Pemakaian seragam dan bahasa Lampung itu diatur secara khusus dalam peraturan daerah sebagai payung hukumnya." (MEZA SWASTIKA/DIAN WAHYU/M1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 15 September 2013
No comments:
Post a Comment