BANDAR LAMPUNG (Lampost): Kamus Bahasa Lampung pertama dan terlengkap karya Neubronner van Der Tuuk yang kini disimpan di Universitas Leiden, Belanda, harus dikembalikan ke rumahnya, Lampung. Kamus ini adalah salah salah satu aset budaya daerah, bahkan bangsa Indonesia.
"Kamus kuno bahasa Lampung merupakan salah satu karya penting Van Der Tuuk dan merupakan aset budaya yang sangat tidak ternilai. Namun, ketiadaaan duplikatnya di Indonesia menjadikan kita kehilangan jejak sejarah," kata sastrawan dan jurnalis, Oyos Saroso H.N., saat pemutaran film Risalah Van der Tuuk dan diskusi di Bandar Lampung, Minggu (9-9) malam.
Menurut Oyos, buku kamus kuno bahasa Lampung merupakan satu dari sedikit buku kuno beraksara Lampung yang pernah ada di daerah itu. "Van der Tuuk adalah linguis yang menyusun dan tekun meneliti tentang bahasa Lampung, upaya melacak karyanya adalah tanggung jawab negara," kata dia.
Oyos menjelaskan upaya melacak kamus kuno bahasa Lampung karya Van der Tuuk itu harus langsung dilakukan melalui komunikasi antara pemerintah Indonesia dan Belanda melalui kerja sama bilateral, bukan oleh perorangan karena menyangkut hak cipta dan kekayaan intelektual yang pengesahan dan legalitas hukumnya dipegang langsung oleh Belanda.
"Harus G to G (antara dua pemerintah dari dua negara, Indonesia-Belanda), dan harus intens karena ini menyangkut kebudayaan. Dari semua karya kuno Van der Tuuk, hanya kamus bahasa Lampung yang tidak kami miliki," kata dia.
Tidak Dicetak
Periset yang intens melakukan penelitian tentang Van der Tuuk dan karyanya, Arman A.Z., menuturkan kamus kuno bahasa Lampung tersebut setebal hampir 600 halaman dan dibuat saat Van der Tuuk berada di Lampung selama setahun pada rentan waktu 1868?1869. Selain itu, Van der Tuuk juga adalah orang pertama yang membuat kamus Batak dan kamus bahasa Bali yang tebalnya sekitar 3.600 halaman.
Sayangnya, kata Arman, untuk konteks bahasa Lampung, manuskripnya tidak sempat dicetak. Saat ini, manuskrip tersebut masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda).
Dia melakukan riset mengenai Van der Tuuk sejak 2011 dan sebagai peneliti sekaligus linguis, pria Belanda itu banyak berjasa dalam mencatat sejarah bahasa Lampung. "Ternyata dari kamus tersebut diketahui banyak ungkapan Lampung kuno yang sudah punah dan banyak yang tidak digunakan lagi saat ini," kata dia.
Herman Neubronner van der Tuuk, yang lahir di Malaka, 24 Oktober 1824, dan meninggal di Surabaya, 17 Agustus 1894, pada umur 69 tahun adalah peletak dasar linguistika modern beberapa bahasa yang dituturkan di nusantara, seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Toba, Lampung, Kawi (Jawa Kuna), dan Bali.
Dalam buku Mirror of the Indies, Rob Nieuwehuys mengutip komentar seorang pendeta Bali (pedanda) yang sangat berpengaruh ketika itu, ?Hanya ada satu orang di seluruh penjuru Bali yang tahu dan paham bahasa Bali, orang itu adalah Tuan Dertik (Van der Tuuk).
Oleh kalangan masyarakat Buleleng, ia dikenal sebagai Tuan Dertik, orang yang kontroversial, tetapi sekaligus dicintai. Van der Tuuk ikut menyebarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dan ia termasuk yang menentang dalam cara berpakaian Belanda, penentang segala hal tabu dalam berbahasa, moralitas, masyarakat, dan ilmu pengetahuan.
Sementara di Lampung, nama Van der Tuuk sepertinya tidak dikenal dan cenderung dilupakan. Padahal, hasil studinya sangat penting bagi pemberdayaan bahasa dan sastra Lampung yang kini makin terpinggirkan. (UZK/ANT/S1)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 10 September 2013
"Kamus kuno bahasa Lampung merupakan salah satu karya penting Van Der Tuuk dan merupakan aset budaya yang sangat tidak ternilai. Namun, ketiadaaan duplikatnya di Indonesia menjadikan kita kehilangan jejak sejarah," kata sastrawan dan jurnalis, Oyos Saroso H.N., saat pemutaran film Risalah Van der Tuuk dan diskusi di Bandar Lampung, Minggu (9-9) malam.
Menurut Oyos, buku kamus kuno bahasa Lampung merupakan satu dari sedikit buku kuno beraksara Lampung yang pernah ada di daerah itu. "Van der Tuuk adalah linguis yang menyusun dan tekun meneliti tentang bahasa Lampung, upaya melacak karyanya adalah tanggung jawab negara," kata dia.
Oyos menjelaskan upaya melacak kamus kuno bahasa Lampung karya Van der Tuuk itu harus langsung dilakukan melalui komunikasi antara pemerintah Indonesia dan Belanda melalui kerja sama bilateral, bukan oleh perorangan karena menyangkut hak cipta dan kekayaan intelektual yang pengesahan dan legalitas hukumnya dipegang langsung oleh Belanda.
"Harus G to G (antara dua pemerintah dari dua negara, Indonesia-Belanda), dan harus intens karena ini menyangkut kebudayaan. Dari semua karya kuno Van der Tuuk, hanya kamus bahasa Lampung yang tidak kami miliki," kata dia.
Tidak Dicetak
Periset yang intens melakukan penelitian tentang Van der Tuuk dan karyanya, Arman A.Z., menuturkan kamus kuno bahasa Lampung tersebut setebal hampir 600 halaman dan dibuat saat Van der Tuuk berada di Lampung selama setahun pada rentan waktu 1868?1869. Selain itu, Van der Tuuk juga adalah orang pertama yang membuat kamus Batak dan kamus bahasa Bali yang tebalnya sekitar 3.600 halaman.
Sayangnya, kata Arman, untuk konteks bahasa Lampung, manuskripnya tidak sempat dicetak. Saat ini, manuskrip tersebut masih tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Belanda).
Dia melakukan riset mengenai Van der Tuuk sejak 2011 dan sebagai peneliti sekaligus linguis, pria Belanda itu banyak berjasa dalam mencatat sejarah bahasa Lampung. "Ternyata dari kamus tersebut diketahui banyak ungkapan Lampung kuno yang sudah punah dan banyak yang tidak digunakan lagi saat ini," kata dia.
Herman Neubronner van der Tuuk, yang lahir di Malaka, 24 Oktober 1824, dan meninggal di Surabaya, 17 Agustus 1894, pada umur 69 tahun adalah peletak dasar linguistika modern beberapa bahasa yang dituturkan di nusantara, seperti bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Toba, Lampung, Kawi (Jawa Kuna), dan Bali.
Dalam buku Mirror of the Indies, Rob Nieuwehuys mengutip komentar seorang pendeta Bali (pedanda) yang sangat berpengaruh ketika itu, ?Hanya ada satu orang di seluruh penjuru Bali yang tahu dan paham bahasa Bali, orang itu adalah Tuan Dertik (Van der Tuuk).
Oleh kalangan masyarakat Buleleng, ia dikenal sebagai Tuan Dertik, orang yang kontroversial, tetapi sekaligus dicintai. Van der Tuuk ikut menyebarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dan ia termasuk yang menentang dalam cara berpakaian Belanda, penentang segala hal tabu dalam berbahasa, moralitas, masyarakat, dan ilmu pengetahuan.
Sementara di Lampung, nama Van der Tuuk sepertinya tidak dikenal dan cenderung dilupakan. Padahal, hasil studinya sangat penting bagi pemberdayaan bahasa dan sastra Lampung yang kini makin terpinggirkan. (UZK/ANT/S1)
Sumber: Lampung Post, Selasa, 10 September 2013
No comments:
Post a Comment