Oleh Yulvianus Harjono
HARI beranjak siang, suasana di halaman Pusat Pendaratan Ikan Muara Gading Mas, Labuhan Maringgai, Lampung Timur, Provinsi Lampung, Rabu (28/4), makin hiruk-pikuk. Anak-anak, para ibu, nelayan, dan warga lain larut dalam suasana pesta.
Hari itu warga di wilayah terujung timur Lampung ini menggelar pesta nadran. Pesta ini hanya dilakukan setahun sekali.
PPI yang biasanya hanya diramaikan kegiatan bongkar muat kapal nelayan dan hasil tangkapan, pagi itu tampak lebih meriah. Sebuah panggung berdiri lengkap dengan sistem suara. Umbul-umbul berwarna-warni, bahkan spanduk produk rokok dan layanan seluler, berkibar di banyak tempat.
Begitu pentingnya pesta, tidak seorang nelayan pun melaut. Mereka memilih ikut merayakan dengan menghiasi kapal-kapal dengan beragam hiasan, umbul-umbul, dan berbagai hasil bumi yang digantung dengan tali-tali di atas kapal layaknya warung terapung.
Tidak ketinggalan, anak-anak antusias meramaikan pesta dengan mengenakan pakaian adat. Termasuk pula Riana (10). Meskipun asli orang Jawa, ia mengenakan baju penghulu (pakaian adat Minang). ”He-he-he, soalnya dapat minjamnya itu. Yang penting bisa meramaikan saja,” tutur ibu Riana, Cati (30).
Meskipun hanya nelayan yang identik kaum termarjinal, dengan segala keterbatasan, mereka tidak ingin melewatkan ritus budaya yang lazim disebut nadran atau pesta laut itu.
Edi Susilo, Ketua Panitia Nadran XXVIII, mengungkapkan, pesta ini menelan dana Rp 152 juta. Sebagian besar dana berasal dari saweran nelayan.
Dalam rangkaian tasyukuran laut, fragmen terpenting adalah melarung (menabur) sesajen di tengah laut. Sesajen berisikan kepala kerbau (mahesa) dan beragam makanan hasil bumi, termasuk perlengkapan rumah tangga, lalu ditaruh di sebuah kapal replika dan diarak beramai-ramai ke tengah laut.
Aroma klenik memang demikian kental terlihat di dalam ritus budaya ini. Warga sempat berebut air yang disucikan. Air yang diambil dari berbagai muara di Lamtim dan kemudian didoakan ini konon diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit serta mendatangkan rezeki.
Warga pun berebut air ini. Biasanya, air ini disiram pula ke perahu untuk menolak bala. ”Ya, percaya enggak percaya. Setelah diadakannya ruat laut ini, tangkapan nelayan biasanya meningkat. Sudah jadi kepercayaan ini,” ungkap Turanda.
Sumber: Kompas, Jumat, 30 April 2010
No comments:
Post a Comment