Oleh Rahmat Sudirman
Menjadi politisi tak menjadikan Heri Wardoyo berhenti berselancar di dunia literasi. Acropolis, Kerajaan Nalar (2013) adalah bukti ketangkasan Heri Wardoyo menganyam hiruk dunia praksis pun agungnya alam nalar.
BAHWA esai-esai Heri Wardoyo dalam Acropolis, Kerajaan Nalar (selanjutnya disebut Acropolis) adalah tulisan yang diproduksi secara sadar, kemudian menjelma teks yang berdialektika dalam tafsir dan konteks, maka yang berlangsung selanjutnya adalah reinterpretasi dan reproduksi teks tak berkesudahan.
Karena yang terjadi selanjutnya, Acropolis masuk alur kesadaran dan prinsip-prinsip hermeneutik interpretatif, maka itu ketika Acropolis kemudian berhenti sebatas materialisasi pikiran apalagi sampai berpretensi mendorong esai-esai ini sebagai monumental seorang Heri Wardoyo—yang de facto dari jurnalis kini menjejak birokrasi sebagai Wakil Bupati Kabupaten Tulangbawang—maka secepatnya saja kita sudahi perbincangan ini.
Ketika pertama kali melihat kumpulan esai yang diterbitkan Laras Bahasa, Mei 2013 ini, langsung saja pikiran saya mengembara; membayangkan kembalinya gairah intelektual dan tradisi menulis post-news di kalangan jurnalis yang saya rasa sudah cukup lama meredup di bumi Lampung. Saya membayangkan rekan-rekan jurnalis memotret peristiwa dan realita dalam satu gairah intelektualitas yang tak kehilangan lelah dicecar rutinitas; hingga peristiwa tidak segera saja menjelma one day news atau sekadar kewajiban rutin jurnalis memberitakan sesuatu.
Saya membayangkan rangkaian peristiwa yang diterima lensa jurnalis menjadi realita multitafsir, multianalitik, dan multiperspektif—menjadi event atau discourse, yang terus-menerus menggugah rasa ingin tahu dan pengetahuan jurnalis. Gairah seperti ini yang langsung saja menyeruak dari kesadaran saya begitu menerima kumpulan esai-esai Heri Wardoyo: Acropolis.
Maka itu, amat sangat banal jika buru-buru kumpulan esai ini masuk daftar inventaris pemerintah daerah hanya karena penulisnya adalah kini pejabat di pemerintah kabupaten. Ada kerja-kerja besar yang harus terus digulirkan penulis maupun tim produksi kumpulan esai ini untuk tidak secepatnya Acropolis menjelma monumental; ya, kerja besar menjadikan esai-esai ini produk intelektual seorang jurnalis yang tak henti memompa gairah intelektualitas jurnalis di bumi Lampung.
Heri Wardoyo adalah seorang jurnalis yang kini menjejakkan kaki sebagai orang nomor dua di Pemerintah Kabupaten Tulangbawang. Di kalangan jurnalis Lampung, kolega, dan rekan-rekan dekatnya, Heri Wardoyo akrab dipanggil HRW. Pengalamannya di bidang news processing selama mengabdi di Lampung Post bisa kita rasakan dalam esai-esai ini; tentu saja pengalaman yang berdialektik dengan keluasan wawasan, keragaman minat pengetahuan, dan dahaga literasi tak berkesudahan yang akhirnya menuntun Heri Wardoyo memproduksi esai-esai bercita rasa tinggi ini.
Juga pengalaman yang berpraksis dengan jam terbang lintas sektoral dan pergaulan luas dengan beragam latar belakang profesi yang akhirnya memuarakan kegelisahan intelektual Heri Wardoyo dalam—meminjam istilah hermeneutikanya Paul Ricoeur—discourse fixed by writing ini.
Acropolis merupakan kumpulan tulisan Heri Wardoyo dalam kolom Nuansa di Lampung Post yang terbit dari tahun 2000 sampai 2009. Memang Heri Wardoyo bukan jurnalis Lampung Post yang pertama menerbitkan kumpulan Nuansa. Sebelumnya, Hesma Eryani mengumpulkan dan menerbitkan tulisannya dengan judul Watak Itu Bernama Amplop (2007). Lalu, Redaktur Lampung Post Sudarmono membukukan Nuansa-nya dalam judul Jujur, Saya Tidak Jujur (2010). Selanjutnya, Udo Z. Karzi juga mengodifikasi kolom-kolomnya dengan judul Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (2012).
Yang menarik dicatat dari kolom-kolom Acropolis ini, Heri Wardoyo mengemas pikiran dalam alunan kata-kata yang terjaga struktur maupun iramanya. Eksplorasi tanda baca seperti titik koma (;), titik dua (:), sisipan (—), penandaan kata dan penulisan awal dengan cetak miring terlihat begitu bebas dan lincah dalam tulisan-tulisannya—ini memperlihatkan penguasaan Heri Wardoyo terhadap teknik menulis kolom bercitarasa tinggi.
Heri Wardoyo sangat sadar bahasa dan menulis. Ini bisa kita lihat dari pemilihan kalimat pembuka—begitu juga permainan tanda baca dan pemilihan diksi yang bergerak tanpa ragu pada awal-awal tulisan. Kita petik alinea pertama esai bertajuk Katakan dengan Teror (hlm. 21): Amerika remuk dalam sekejap; dan dalam satu helaan napas berteriak: ganyang terorisme dan mereka yang melindunginya! Pasukan disiagakan, mesin-mesin perang diperagakan. Satu titik dibidik.
Esai bertajuk Hegel (hlm. 231) juga dibuka dengan teknik bercitarasa tinggi; Heri Wardoyo mengeksplorasi tanda baca, kode, struktur, dan gaya bahasa tanpa ragu sama sekali. Kita simak kelincahan dan kepiawaian HRW memainkan kode bahasa dalam kalimat pembuka tulisan tersebut:
(: dan 61 Tahun Indonesiaku)
Pada 1770, ketika Hegel lahir, Immanuel Kant, filsuf masyhur itu, sudah menyampaikan disertasinya di Universitas Konigsberg. Saat yang sama, lahir pula penyair Holderlin dari Wordswoth. Maka, dimulailah era bertabur bunga: sepotong masa yang berhambur syair puisi yang memabukkan sekaligus dijelujuri kerangka berpikir sistematik nan menghujam.
***
Kumpulan esai yang termuat 254 halaman ini dibuka dengan tulisan bertajuk Lupa (hlm. 1), ditulis Heri Wardoyo tahun 2000. Berangkat dari pemikiran Milan Kundera, Heri Wardoyo seakan mengingatkan kita betapa terlalu mudahnya kita melupakan sesuatu; atau sejatinya memang ada invisible hand yang membuat kita begitu cepat lupa: menjadi bangsa pelupa.
Informasi yang mengalir dari buku ini, deras dengan medium-medium yang kini begitu personal tanpa sadar membius kita untuk begitu saja melewati peristiwa-peristiwa yang semestinya kita tandai sebagai the meaningfull one. Ini bisa menjadi sesuatu yang menyubversi kesadaran kita; ketika faktanya ada struktur besar secara sadar dan sistematis mengonstruksikan kita sebagai manusia-manusia pelupa… Selalu begitu dan bertumpuk-tumpuk; kita dibuat limbung oleh permainan demi permainan yang tampak begitu tertakar ukurannya (hlm. 2).
Yang menarik—tentu ini melampaui model hermeneutika Ricouer karena kita mesti menanyakan langsung pada penulis atau tim produksi—jika faktanya esai Lupa dihadirkan secara sadar sebagai pembuka Acropolis; ini menjadi semacam penyadaran atau mungkin sindiran bahwa kita sejatinya memang tidak terlepas dari lilitan struktur yang menjadikan kita manusia pelupa. Dan keragaman tema plus kekayaan literatur tulisan-tulisan Heri Wardoyo cukup mengingatkan kita betapa membeludak peristiwa dan khazanah intelektual di sekitar kita; dari kasus berdimensi politik, skandal, makro global, kebijakan ekonomi, sampai fenomena-fenomena kultural dan humanistis yang mungkin saja semua itu sudah mengelana jauh dari kesadaran kita karena terpaan rutinitas dan hujaman informasi silih berganti—hingga kita juga begitu cepat melupakan kedalaman dan keluasan dimensi pemikiran Milan Kundera, Imannuel Kant, Hegel, Nietzsche, atau kejernihan metode jurnalistis yang dikenalkan Bill Kovach, seperti terpapar dalam tulisan-tulisan Heri Wardoyo.
Sebagai jurnalis, Heri Wardoyo seakan mengingatkan (menyindir…?) sesama jurnalis untuk tidak meremehkan—atau cepat melupakan karena menganggap ini kasus kecil—peristiwa-peristiwa personal humanistis yang dialami orang kecil seperti Sudarti (hlm. 9) atau kasus-kasus ironik seperti yang nasib Subandi (Kelimun, hlm. 19). Untuk tidak cepat-cepat menganggap remeh peristiwa-peristiwa ironis humanistis, Heri Wardoyo mengajak para jurnalis untuk sama-sama merefleksikan kegelisahan jurnalistik seperti terasa pada esai Wartawan (A Gift) dan Bill Kovach (hlm. 105).
Menulis kolom juga soal mengolah rasa bahasa, dan Heri Wardoyo lagi-lagi menyadari semangat satu ini. Tema-tema besar seperti terorisme, peristiwa luluh-lantaknya Amerika diterjang teroris, karut-marut politik nasional, ideologi, dan post-modernisme di tangan Heri Wardoyo semua hadir dalam tulisan deskriptif dengan eksplorasi gaya bahasa maupun tanda baca yang ekspertis. Boleh jadi, semangat Heri Wardoyo ketika itu memang ingin membumikan tradisi menulis di kalangan jurnalis; menjadi semacam obsesi yang sampai sekarang belum terwujud. Karena itu, jangan heran ketika Heri Wardoyo mengulas Bill Kovach—jurnalis Amerika yang melontarkan tesis 9 elemen jurnalistik—atau ketika membahasakan kegelisahannya tentang jurnalisme yang terjebak rutinitas dan kepentingan modal dalam Wartawan (A Gift), Heri Wardoyo tidak sedang menggurui rekan-rekan jurnalis. Kalimat-kalimat dalam dua esai itu—Bill Kovach dan Wartawan (A Gift)—mengalir dengan kekayaan bahasa yang menyebarkan tafsir ke mana-mana—menjadi semacam event, discourse, bukan text as meaning seperti dimaksud Paul Ricouer—karena sejatinya Heri Wardoyo sedang menggugah kesadaran, bukan mengisi kesadaran.
***
Memang ada yang mengganggu keasyikan Acropolis sebagai kumpulan esai; semisal tulisan bertajuk ’Pornografi’ Politik Lampung (hlm. 149). Sebagai esai kolom, tulisan itu terasa tidak sedap, terlampau vulgar, analitik, dan kering. ’Pornografi’ Politik Lampung boleh dibilang gagal merangsang sense of hermeneutic karena kemasannya yang terlalu S-P-O-K. Kira-kira begitu.
Tim produksi dan editor juga terburu-buru memasukkan tulisan-tulisan Heri Wardoyo hingga kurang jeli mengamati tiga esai—Kualitas Politik Rakyat, Pelanduk, dan Negara-Rakyat—yang nyaris sama sebangun. Namun, lepas dari kekurangtelitian editor, Acropolis pantas kita sambut dengan kesadaran terbuka hingga teks-teks kumpulan esai dalam buku ini bisa menyatakan diri dengan terbuka, what is said, dan terus-menerus menghadirkan tafsir yang juga terbuka dan berkelimun bebas. Dan ini menjadi kerja besar Heri Wardoyo untuk menggelindingkan, mereproduksi, Acropolis sebagai produk budaya seorang jurnalis intelektual, hingga karya ini tidak buru-buru menjelma benda historis seorang Heri Wardoyo. n
Rahmat Sudirman, Wartawan-Editor In Chief SIGER TV
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Juni 2013
Menjadi politisi tak menjadikan Heri Wardoyo berhenti berselancar di dunia literasi. Acropolis, Kerajaan Nalar (2013) adalah bukti ketangkasan Heri Wardoyo menganyam hiruk dunia praksis pun agungnya alam nalar.
Judul: Acropolis, Kerajaan Nalar Penulis: Heri Wardoyo Penerbit: Laras Bahasa, Bandar Lampung Cetakan: I, Mei 2013 Tebal: xviii + 254 hlm. |
Karena yang terjadi selanjutnya, Acropolis masuk alur kesadaran dan prinsip-prinsip hermeneutik interpretatif, maka itu ketika Acropolis kemudian berhenti sebatas materialisasi pikiran apalagi sampai berpretensi mendorong esai-esai ini sebagai monumental seorang Heri Wardoyo—yang de facto dari jurnalis kini menjejak birokrasi sebagai Wakil Bupati Kabupaten Tulangbawang—maka secepatnya saja kita sudahi perbincangan ini.
Ketika pertama kali melihat kumpulan esai yang diterbitkan Laras Bahasa, Mei 2013 ini, langsung saja pikiran saya mengembara; membayangkan kembalinya gairah intelektual dan tradisi menulis post-news di kalangan jurnalis yang saya rasa sudah cukup lama meredup di bumi Lampung. Saya membayangkan rekan-rekan jurnalis memotret peristiwa dan realita dalam satu gairah intelektualitas yang tak kehilangan lelah dicecar rutinitas; hingga peristiwa tidak segera saja menjelma one day news atau sekadar kewajiban rutin jurnalis memberitakan sesuatu.
Saya membayangkan rangkaian peristiwa yang diterima lensa jurnalis menjadi realita multitafsir, multianalitik, dan multiperspektif—menjadi event atau discourse, yang terus-menerus menggugah rasa ingin tahu dan pengetahuan jurnalis. Gairah seperti ini yang langsung saja menyeruak dari kesadaran saya begitu menerima kumpulan esai-esai Heri Wardoyo: Acropolis.
Maka itu, amat sangat banal jika buru-buru kumpulan esai ini masuk daftar inventaris pemerintah daerah hanya karena penulisnya adalah kini pejabat di pemerintah kabupaten. Ada kerja-kerja besar yang harus terus digulirkan penulis maupun tim produksi kumpulan esai ini untuk tidak secepatnya Acropolis menjelma monumental; ya, kerja besar menjadikan esai-esai ini produk intelektual seorang jurnalis yang tak henti memompa gairah intelektualitas jurnalis di bumi Lampung.
Heri Wardoyo adalah seorang jurnalis yang kini menjejakkan kaki sebagai orang nomor dua di Pemerintah Kabupaten Tulangbawang. Di kalangan jurnalis Lampung, kolega, dan rekan-rekan dekatnya, Heri Wardoyo akrab dipanggil HRW. Pengalamannya di bidang news processing selama mengabdi di Lampung Post bisa kita rasakan dalam esai-esai ini; tentu saja pengalaman yang berdialektik dengan keluasan wawasan, keragaman minat pengetahuan, dan dahaga literasi tak berkesudahan yang akhirnya menuntun Heri Wardoyo memproduksi esai-esai bercita rasa tinggi ini.
Juga pengalaman yang berpraksis dengan jam terbang lintas sektoral dan pergaulan luas dengan beragam latar belakang profesi yang akhirnya memuarakan kegelisahan intelektual Heri Wardoyo dalam—meminjam istilah hermeneutikanya Paul Ricoeur—discourse fixed by writing ini.
Acropolis merupakan kumpulan tulisan Heri Wardoyo dalam kolom Nuansa di Lampung Post yang terbit dari tahun 2000 sampai 2009. Memang Heri Wardoyo bukan jurnalis Lampung Post yang pertama menerbitkan kumpulan Nuansa. Sebelumnya, Hesma Eryani mengumpulkan dan menerbitkan tulisannya dengan judul Watak Itu Bernama Amplop (2007). Lalu, Redaktur Lampung Post Sudarmono membukukan Nuansa-nya dalam judul Jujur, Saya Tidak Jujur (2010). Selanjutnya, Udo Z. Karzi juga mengodifikasi kolom-kolomnya dengan judul Mamak Kenut: Orang Lampung Punya Celoteh (2012).
Yang menarik dicatat dari kolom-kolom Acropolis ini, Heri Wardoyo mengemas pikiran dalam alunan kata-kata yang terjaga struktur maupun iramanya. Eksplorasi tanda baca seperti titik koma (;), titik dua (:), sisipan (—), penandaan kata dan penulisan awal dengan cetak miring terlihat begitu bebas dan lincah dalam tulisan-tulisannya—ini memperlihatkan penguasaan Heri Wardoyo terhadap teknik menulis kolom bercitarasa tinggi.
Heri Wardoyo sangat sadar bahasa dan menulis. Ini bisa kita lihat dari pemilihan kalimat pembuka—begitu juga permainan tanda baca dan pemilihan diksi yang bergerak tanpa ragu pada awal-awal tulisan. Kita petik alinea pertama esai bertajuk Katakan dengan Teror (hlm. 21): Amerika remuk dalam sekejap; dan dalam satu helaan napas berteriak: ganyang terorisme dan mereka yang melindunginya! Pasukan disiagakan, mesin-mesin perang diperagakan. Satu titik dibidik.
Esai bertajuk Hegel (hlm. 231) juga dibuka dengan teknik bercitarasa tinggi; Heri Wardoyo mengeksplorasi tanda baca, kode, struktur, dan gaya bahasa tanpa ragu sama sekali. Kita simak kelincahan dan kepiawaian HRW memainkan kode bahasa dalam kalimat pembuka tulisan tersebut:
(: dan 61 Tahun Indonesiaku)
Pada 1770, ketika Hegel lahir, Immanuel Kant, filsuf masyhur itu, sudah menyampaikan disertasinya di Universitas Konigsberg. Saat yang sama, lahir pula penyair Holderlin dari Wordswoth. Maka, dimulailah era bertabur bunga: sepotong masa yang berhambur syair puisi yang memabukkan sekaligus dijelujuri kerangka berpikir sistematik nan menghujam.
***
Kumpulan esai yang termuat 254 halaman ini dibuka dengan tulisan bertajuk Lupa (hlm. 1), ditulis Heri Wardoyo tahun 2000. Berangkat dari pemikiran Milan Kundera, Heri Wardoyo seakan mengingatkan kita betapa terlalu mudahnya kita melupakan sesuatu; atau sejatinya memang ada invisible hand yang membuat kita begitu cepat lupa: menjadi bangsa pelupa.
Informasi yang mengalir dari buku ini, deras dengan medium-medium yang kini begitu personal tanpa sadar membius kita untuk begitu saja melewati peristiwa-peristiwa yang semestinya kita tandai sebagai the meaningfull one. Ini bisa menjadi sesuatu yang menyubversi kesadaran kita; ketika faktanya ada struktur besar secara sadar dan sistematis mengonstruksikan kita sebagai manusia-manusia pelupa… Selalu begitu dan bertumpuk-tumpuk; kita dibuat limbung oleh permainan demi permainan yang tampak begitu tertakar ukurannya (hlm. 2).
Yang menarik—tentu ini melampaui model hermeneutika Ricouer karena kita mesti menanyakan langsung pada penulis atau tim produksi—jika faktanya esai Lupa dihadirkan secara sadar sebagai pembuka Acropolis; ini menjadi semacam penyadaran atau mungkin sindiran bahwa kita sejatinya memang tidak terlepas dari lilitan struktur yang menjadikan kita manusia pelupa. Dan keragaman tema plus kekayaan literatur tulisan-tulisan Heri Wardoyo cukup mengingatkan kita betapa membeludak peristiwa dan khazanah intelektual di sekitar kita; dari kasus berdimensi politik, skandal, makro global, kebijakan ekonomi, sampai fenomena-fenomena kultural dan humanistis yang mungkin saja semua itu sudah mengelana jauh dari kesadaran kita karena terpaan rutinitas dan hujaman informasi silih berganti—hingga kita juga begitu cepat melupakan kedalaman dan keluasan dimensi pemikiran Milan Kundera, Imannuel Kant, Hegel, Nietzsche, atau kejernihan metode jurnalistis yang dikenalkan Bill Kovach, seperti terpapar dalam tulisan-tulisan Heri Wardoyo.
Sebagai jurnalis, Heri Wardoyo seakan mengingatkan (menyindir…?) sesama jurnalis untuk tidak meremehkan—atau cepat melupakan karena menganggap ini kasus kecil—peristiwa-peristiwa personal humanistis yang dialami orang kecil seperti Sudarti (hlm. 9) atau kasus-kasus ironik seperti yang nasib Subandi (Kelimun, hlm. 19). Untuk tidak cepat-cepat menganggap remeh peristiwa-peristiwa ironis humanistis, Heri Wardoyo mengajak para jurnalis untuk sama-sama merefleksikan kegelisahan jurnalistik seperti terasa pada esai Wartawan (A Gift) dan Bill Kovach (hlm. 105).
Menulis kolom juga soal mengolah rasa bahasa, dan Heri Wardoyo lagi-lagi menyadari semangat satu ini. Tema-tema besar seperti terorisme, peristiwa luluh-lantaknya Amerika diterjang teroris, karut-marut politik nasional, ideologi, dan post-modernisme di tangan Heri Wardoyo semua hadir dalam tulisan deskriptif dengan eksplorasi gaya bahasa maupun tanda baca yang ekspertis. Boleh jadi, semangat Heri Wardoyo ketika itu memang ingin membumikan tradisi menulis di kalangan jurnalis; menjadi semacam obsesi yang sampai sekarang belum terwujud. Karena itu, jangan heran ketika Heri Wardoyo mengulas Bill Kovach—jurnalis Amerika yang melontarkan tesis 9 elemen jurnalistik—atau ketika membahasakan kegelisahannya tentang jurnalisme yang terjebak rutinitas dan kepentingan modal dalam Wartawan (A Gift), Heri Wardoyo tidak sedang menggurui rekan-rekan jurnalis. Kalimat-kalimat dalam dua esai itu—Bill Kovach dan Wartawan (A Gift)—mengalir dengan kekayaan bahasa yang menyebarkan tafsir ke mana-mana—menjadi semacam event, discourse, bukan text as meaning seperti dimaksud Paul Ricouer—karena sejatinya Heri Wardoyo sedang menggugah kesadaran, bukan mengisi kesadaran.
***
Memang ada yang mengganggu keasyikan Acropolis sebagai kumpulan esai; semisal tulisan bertajuk ’Pornografi’ Politik Lampung (hlm. 149). Sebagai esai kolom, tulisan itu terasa tidak sedap, terlampau vulgar, analitik, dan kering. ’Pornografi’ Politik Lampung boleh dibilang gagal merangsang sense of hermeneutic karena kemasannya yang terlalu S-P-O-K. Kira-kira begitu.
Tim produksi dan editor juga terburu-buru memasukkan tulisan-tulisan Heri Wardoyo hingga kurang jeli mengamati tiga esai—Kualitas Politik Rakyat, Pelanduk, dan Negara-Rakyat—yang nyaris sama sebangun. Namun, lepas dari kekurangtelitian editor, Acropolis pantas kita sambut dengan kesadaran terbuka hingga teks-teks kumpulan esai dalam buku ini bisa menyatakan diri dengan terbuka, what is said, dan terus-menerus menghadirkan tafsir yang juga terbuka dan berkelimun bebas. Dan ini menjadi kerja besar Heri Wardoyo untuk menggelindingkan, mereproduksi, Acropolis sebagai produk budaya seorang jurnalis intelektual, hingga karya ini tidak buru-buru menjelma benda historis seorang Heri Wardoyo. n
Rahmat Sudirman, Wartawan-Editor In Chief SIGER TV
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Juni 2013
No comments:
Post a Comment