Memadukan karya intelektual dan kerja praksis bukan hal mudah, tapi ternyata bukan kerja sulit bagi seorang Heri Wardoyo. Dan peluncuran bukunya adalah kenduri intelektual sekaligus silaturahmi para praktisi.
Berdasar itu, barangkali, Heri Wardoyo yang merupakan mantan wakil pemimpin redaksi Lampung Post memberi judul bukunya dengan Acropolis: Kerajaan Nalar. Buku setebal 254 halaman itu merupakan kumpulan kolomnya di harian Lampung Post periode 2000-2009.
Dari acara peluncuran buku Acropolis Kerajaan Nalar, Minggu (2-6) lalu berbagai tokoh masyarakat lintas budaya berkumpul di Gedung Serba Guna (GSG) Pemkab Tulangbawang. Bupati Tulang Bawang Hanan Rozak, Rektor Perguruan Tinggi Teknokrat Nashrullah Yusuf, Sugeng P. Harianto rektor universitas Lampung (Unila), Pemimpin umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya, dan puluhan seniman dan wartawan yang berbaur satu sama lain, serta ratusan masyarakat lainnya.
Acara itu semakin meriah dan marak karena dihadiri rombongan musik kiai kanjeng, juga sang maestro Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang dijuluki kiai mbeling. Manusia dengan multi-wan, bisa budayawan, bisa seniman, bisa agamawan, dan wan-lain sebagainya.
Puluhan seniman dan wartawan duduk sejajar lesehan dalam peluncuran buku karya Heri Wardoyo itu. Acara ini dikemas sedemikian megah tanpa mengurangi nuansa cerdas.
Bupati Tulang Bawang Hanan A. Rozak pun turut bangga dan kagum dengan pencapaian Heri Wardoyo sebagai salah seorang putra Menggala. Untuk seorang anak Menggala, kata Hanan, ini adalah suatu pencapaian yang luar biasa yang patut diapresiasi dengan baik.
Di antara diskusi yang memerah pemikiran, lantunan salawat Kiai Kanjeng menyelaraskan sukma, dan membawa seluruh yang hadir turut bersenandung.
Acara sakral itu menghadirkan Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu sebagai moderator. Sementara Cak Nun dan Iwan Nurdaya Djafar menjadi narasumber yang mendedah isi buku Acropolis.
Untuk menggugah rasa kebangsaan, Cak Nun memerkenalkan lagu Indonesia Raya dari versi aslinya. Lagu ciptaan WR Supratman itu, dari sejarahnya, sudah mengalami penggubahan lagu beberapa kali hingga seperti lagu Indonesia Raya yang biasa dikumandangkan hari ini dan diperdengarkan dimana-mana menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Cak Nun tampaknya ingin memberikan alternatif dari kebekuan pikiran dan sejarah yang menyelubungi sebagian masyarakat dewasa ini.
Pada kesempatan itu, Cak Nun mengurai pilihan kata nalar. Nalar sebagai sifat budaya dari akal. Sedangkan akal berasal dari bahasa arab "Al Aqli" yang dalam bahasa arab modern bisa diartikan nalar. Namun, menurut Cak Nun, akal berbeda dengan nalar. Akal itu bukan milik manusia, dia milik sang Khalik. Karena itu, lanjut Cak Nun, ungkapan "mengakali" dalam bahasa Indonesia yang sering bernada negatif itu keliru. Akal harusnya adalah sesuatu yang baik dan kerja dengan akal adalah kerja yang harusnya sempurna. Di Indonesia digunakan kata "akal budi" dan "akal pikiran". Semua berpangkal pada akal.
Cak Nun mengapresiasi Heri Wardoyo sebagai seorang salif, pencari. Meski telah menjadi seorang pejabat, dia akan terus mencari kebenaran, mencari kebijaksanaan dalam hidupnya. Hal ini dibuktikan lewat tulisan-tulisannya dalm Acropolis yang memiliki bahasa tulisan yang runtut, jernih, bernilai sastrawi, dan mendalam.
Membaca tulisan Heri Wardoyo harus terlebih dahulu melakukan interpretasi terhadap makna. Karena itu tak heran jika Sugeng P. Harianto dalam endorsement bukunya mengatakan judul buku HRW terasa ndakik-ndakik alias bertingkat-tingkat. Budayawan Iwan Nurdaya-Djafar, mengatakan, HRW perlu menyelipkan humor HRW dalam setiap kolomnya. Humor menjadi penyegar sekaligus penghibur sebagaimana Bambang Eka Wijaya (BEW) lewat kolom burasnya, sentilannya Mahbub Djunaidi, M Sobary celoteh budaya, dan lain sebagainya.
Bagi Cak Nun, HRW adalah seorang kreator sekaligus eksplorator lewat tulisan-tulisannya. Cak Nun memang lewat paparan yang disuguhkan dan iringan musik kiai kanjeng seakan hendak menembus lorong gelapnya kesadaran masyarakat terhadap sejarah dan refleksi.
Di tengah gegap gempitanya arus globalisasi yang menyeret umat manusia, tulisan bernada reflektif sebagaimana dituliskan Heri Wardoyo adalah laksana mata air di tengah padang gurun kehidupan yang kering refleksi. Wartawan Lampung Post boleh berbangga; menayangkan tulisannya di kolom nuansa akan menjadi pemantik dalam menulis yang lebih baik. Sudah ada Udo Z. Karzi, Hesma Eryani, Sudarmono, dan terakhir Heri Wardoyo. Siapa selanjutnya? (WANDI BARBOY/P-2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Juni 2013
Berdasar itu, barangkali, Heri Wardoyo yang merupakan mantan wakil pemimpin redaksi Lampung Post memberi judul bukunya dengan Acropolis: Kerajaan Nalar. Buku setebal 254 halaman itu merupakan kumpulan kolomnya di harian Lampung Post periode 2000-2009.
Dari acara peluncuran buku Acropolis Kerajaan Nalar, Minggu (2-6) lalu berbagai tokoh masyarakat lintas budaya berkumpul di Gedung Serba Guna (GSG) Pemkab Tulangbawang. Bupati Tulang Bawang Hanan Rozak, Rektor Perguruan Tinggi Teknokrat Nashrullah Yusuf, Sugeng P. Harianto rektor universitas Lampung (Unila), Pemimpin umum Lampung Post Bambang Eka Wijaya, dan puluhan seniman dan wartawan yang berbaur satu sama lain, serta ratusan masyarakat lainnya.
Acara itu semakin meriah dan marak karena dihadiri rombongan musik kiai kanjeng, juga sang maestro Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang dijuluki kiai mbeling. Manusia dengan multi-wan, bisa budayawan, bisa seniman, bisa agamawan, dan wan-lain sebagainya.
Puluhan seniman dan wartawan duduk sejajar lesehan dalam peluncuran buku karya Heri Wardoyo itu. Acara ini dikemas sedemikian megah tanpa mengurangi nuansa cerdas.
Bupati Tulang Bawang Hanan A. Rozak pun turut bangga dan kagum dengan pencapaian Heri Wardoyo sebagai salah seorang putra Menggala. Untuk seorang anak Menggala, kata Hanan, ini adalah suatu pencapaian yang luar biasa yang patut diapresiasi dengan baik.
Di antara diskusi yang memerah pemikiran, lantunan salawat Kiai Kanjeng menyelaraskan sukma, dan membawa seluruh yang hadir turut bersenandung.
Acara sakral itu menghadirkan Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu sebagai moderator. Sementara Cak Nun dan Iwan Nurdaya Djafar menjadi narasumber yang mendedah isi buku Acropolis.
Untuk menggugah rasa kebangsaan, Cak Nun memerkenalkan lagu Indonesia Raya dari versi aslinya. Lagu ciptaan WR Supratman itu, dari sejarahnya, sudah mengalami penggubahan lagu beberapa kali hingga seperti lagu Indonesia Raya yang biasa dikumandangkan hari ini dan diperdengarkan dimana-mana menjadi lagu kebangsaan Indonesia. Cak Nun tampaknya ingin memberikan alternatif dari kebekuan pikiran dan sejarah yang menyelubungi sebagian masyarakat dewasa ini.
Pada kesempatan itu, Cak Nun mengurai pilihan kata nalar. Nalar sebagai sifat budaya dari akal. Sedangkan akal berasal dari bahasa arab "Al Aqli" yang dalam bahasa arab modern bisa diartikan nalar. Namun, menurut Cak Nun, akal berbeda dengan nalar. Akal itu bukan milik manusia, dia milik sang Khalik. Karena itu, lanjut Cak Nun, ungkapan "mengakali" dalam bahasa Indonesia yang sering bernada negatif itu keliru. Akal harusnya adalah sesuatu yang baik dan kerja dengan akal adalah kerja yang harusnya sempurna. Di Indonesia digunakan kata "akal budi" dan "akal pikiran". Semua berpangkal pada akal.
Cak Nun mengapresiasi Heri Wardoyo sebagai seorang salif, pencari. Meski telah menjadi seorang pejabat, dia akan terus mencari kebenaran, mencari kebijaksanaan dalam hidupnya. Hal ini dibuktikan lewat tulisan-tulisannya dalm Acropolis yang memiliki bahasa tulisan yang runtut, jernih, bernilai sastrawi, dan mendalam.
Membaca tulisan Heri Wardoyo harus terlebih dahulu melakukan interpretasi terhadap makna. Karena itu tak heran jika Sugeng P. Harianto dalam endorsement bukunya mengatakan judul buku HRW terasa ndakik-ndakik alias bertingkat-tingkat. Budayawan Iwan Nurdaya-Djafar, mengatakan, HRW perlu menyelipkan humor HRW dalam setiap kolomnya. Humor menjadi penyegar sekaligus penghibur sebagaimana Bambang Eka Wijaya (BEW) lewat kolom burasnya, sentilannya Mahbub Djunaidi, M Sobary celoteh budaya, dan lain sebagainya.
Bagi Cak Nun, HRW adalah seorang kreator sekaligus eksplorator lewat tulisan-tulisannya. Cak Nun memang lewat paparan yang disuguhkan dan iringan musik kiai kanjeng seakan hendak menembus lorong gelapnya kesadaran masyarakat terhadap sejarah dan refleksi.
Di tengah gegap gempitanya arus globalisasi yang menyeret umat manusia, tulisan bernada reflektif sebagaimana dituliskan Heri Wardoyo adalah laksana mata air di tengah padang gurun kehidupan yang kering refleksi. Wartawan Lampung Post boleh berbangga; menayangkan tulisannya di kolom nuansa akan menjadi pemantik dalam menulis yang lebih baik. Sudah ada Udo Z. Karzi, Hesma Eryani, Sudarmono, dan terakhir Heri Wardoyo. Siapa selanjutnya? (WANDI BARBOY/P-2)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 9 Juni 2013
No comments:
Post a Comment