Oleh Asarpin
MISI kebudayaan yang selama ini diselenggarakan oleh pemerintah daerah dalam beberapa kesempatan dan pertemuan nasional, tidak lain adalah misi kesenian, bahkan lebih sempit lagi misi pertunjukan seremonial. Kebudayaan jelaslah bukan kesenian, bukan pertunjukan, meskipun seni bisa merupakan salah satu aspek kebudayaan.
Di sini saya hendak menekankan sisi yang lain yang belum banyak dieksplorasi. Jika saya mengajak untuk menggali sumber mata air kebudayaan Lampung, maka tujuan saya adalah: (1) dalam rangka mencari kearifan-kearifan lokal melalui narasi kebudayaan sebagai perspektif alternatif terhadap kemajemukan budaya di Lampung; (2) dalam rangka mencari solusi atas konflik dan kekerasan baik atas nama suku, etnis maupun budaya dan agama; (3) untuk memikirkan secara bersama-sama kompleksitas budaya multikultural di Lampung sehingga dapat menjadi cermin bagi kearifan dan keharmonisan dalam keragaman.
Kebudayaan Lampung, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kebudayaan klasik, yang diawali dari zaman buddhisme –hinduisme hingga zaman kebudayaan Islam, sampai kini masih dirasakan “kabur” maknanya, dan nampaknya hanya tinggal cerita belaka bilamana dikaitkan dengan adanya gejala friksi dalam berbagai bentuk.
Persoalan friksi agama-etnis yang sempat merebak beberapa waktu lalu di Kalianda menjadi contoh betapa rapuhnya sistem budaya di Lampung serta betapa kendurnya tali silaturahmi hubungan antaraagama dan antaretnis yang ada di Lampung. Pendekatan politik kekuasaan tidak pernah mampu memberikan solusi dan alternatif terhadap upaya mengelola keragaman dan kemajemukan budaya di Lampung.
Pluralitas budaya dan disintegrasi sosial tidak hanya terjadi di wilayah Lampung Selatan, yang notabene wilayah pesisir yang dikenal amat terbuka bagi kebudayaan lain. Di tempat-tempat lain sepanjang penjuru propinsi Lampung, keragaman dan kemajemukan menjadi pemandangan keseharian, yang jika salah-urus dapat berpotensi menjadi konflik dan kekerasan budaya.
Kearifan-kearifan budaya lokal tentu sangat dibutuhkan dalam rangka mengembangkan semangat kemajemukan dan keragaman. Kearifan-kearifan budaya Lampung yang sangat terbuka, toleran dan damai perlu dikembangkan dalam rangka membangun kohesi sosial di Lampung. Tradisi angkon muakhi dan tata cara pemecahan masalah dan konflik melalui solusi adat, perlu dikedepankan dalam kehidupan sosial.
Penelitian Fauzi Nurdin mengenai konsep muakhi masyarakat Lampung perlu dipertajam dan dikembangkan. Tradisi kemuakhian di Lampung amat kuat sebagai penopang kehidupan sosial. Mengedepankan pendekatan muakhi dan kemuakhian (saudara dan persaudaraan) dalam kehidupan sosial masyarakat Lampung yang plural, dapat menjadi alternatif dalam proses pergaulan sosial yang lintas budaya.
Budaya muakhi perlu ditafsirkan lebih luas dalam beragam perspektif sehingga “konsep” ini betul-betul dapat dijadikan suatu pendekatan terhadap upaya menyikapi pluralitas budaya. Memandang “yang lain” sebagai “muakhi” atau “puakhi” adalah penting mengingat hubungan keakraban dan dialogis itu akan terbangun jika dilandasi oleh perasaan bersaudara, sebagai angkon atau pengakuan bahwa kita adalah saudara.
Tokoh-tokoh budaya Lampung di pelosok-pelosok Lampung sampai kini masih tetap mendepankan gagasan kemuakhian dalam tradisi, adat-istiadat dan pergaulan sosial. Sementara ironisnya, pemerintah daerah mulai dari gubernur hingga walikota dan para bupati, tetap asyik dengan mengembangkan budaya lokal yang feodal, budaya lokal yang indentik dengan sistem pelanggengan kekuasaan. n
Asarpin, Aktivis dan esais
Sumber: Lampung Post, Rabu, 19 Juni 2013
MISI kebudayaan yang selama ini diselenggarakan oleh pemerintah daerah dalam beberapa kesempatan dan pertemuan nasional, tidak lain adalah misi kesenian, bahkan lebih sempit lagi misi pertunjukan seremonial. Kebudayaan jelaslah bukan kesenian, bukan pertunjukan, meskipun seni bisa merupakan salah satu aspek kebudayaan.
Di sini saya hendak menekankan sisi yang lain yang belum banyak dieksplorasi. Jika saya mengajak untuk menggali sumber mata air kebudayaan Lampung, maka tujuan saya adalah: (1) dalam rangka mencari kearifan-kearifan lokal melalui narasi kebudayaan sebagai perspektif alternatif terhadap kemajemukan budaya di Lampung; (2) dalam rangka mencari solusi atas konflik dan kekerasan baik atas nama suku, etnis maupun budaya dan agama; (3) untuk memikirkan secara bersama-sama kompleksitas budaya multikultural di Lampung sehingga dapat menjadi cermin bagi kearifan dan keharmonisan dalam keragaman.
Kebudayaan Lampung, sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sejarah kebudayaan klasik, yang diawali dari zaman buddhisme –hinduisme hingga zaman kebudayaan Islam, sampai kini masih dirasakan “kabur” maknanya, dan nampaknya hanya tinggal cerita belaka bilamana dikaitkan dengan adanya gejala friksi dalam berbagai bentuk.
Persoalan friksi agama-etnis yang sempat merebak beberapa waktu lalu di Kalianda menjadi contoh betapa rapuhnya sistem budaya di Lampung serta betapa kendurnya tali silaturahmi hubungan antaraagama dan antaretnis yang ada di Lampung. Pendekatan politik kekuasaan tidak pernah mampu memberikan solusi dan alternatif terhadap upaya mengelola keragaman dan kemajemukan budaya di Lampung.
Pluralitas budaya dan disintegrasi sosial tidak hanya terjadi di wilayah Lampung Selatan, yang notabene wilayah pesisir yang dikenal amat terbuka bagi kebudayaan lain. Di tempat-tempat lain sepanjang penjuru propinsi Lampung, keragaman dan kemajemukan menjadi pemandangan keseharian, yang jika salah-urus dapat berpotensi menjadi konflik dan kekerasan budaya.
Kearifan-kearifan budaya lokal tentu sangat dibutuhkan dalam rangka mengembangkan semangat kemajemukan dan keragaman. Kearifan-kearifan budaya Lampung yang sangat terbuka, toleran dan damai perlu dikembangkan dalam rangka membangun kohesi sosial di Lampung. Tradisi angkon muakhi dan tata cara pemecahan masalah dan konflik melalui solusi adat, perlu dikedepankan dalam kehidupan sosial.
Penelitian Fauzi Nurdin mengenai konsep muakhi masyarakat Lampung perlu dipertajam dan dikembangkan. Tradisi kemuakhian di Lampung amat kuat sebagai penopang kehidupan sosial. Mengedepankan pendekatan muakhi dan kemuakhian (saudara dan persaudaraan) dalam kehidupan sosial masyarakat Lampung yang plural, dapat menjadi alternatif dalam proses pergaulan sosial yang lintas budaya.
Budaya muakhi perlu ditafsirkan lebih luas dalam beragam perspektif sehingga “konsep” ini betul-betul dapat dijadikan suatu pendekatan terhadap upaya menyikapi pluralitas budaya. Memandang “yang lain” sebagai “muakhi” atau “puakhi” adalah penting mengingat hubungan keakraban dan dialogis itu akan terbangun jika dilandasi oleh perasaan bersaudara, sebagai angkon atau pengakuan bahwa kita adalah saudara.
Tokoh-tokoh budaya Lampung di pelosok-pelosok Lampung sampai kini masih tetap mendepankan gagasan kemuakhian dalam tradisi, adat-istiadat dan pergaulan sosial. Sementara ironisnya, pemerintah daerah mulai dari gubernur hingga walikota dan para bupati, tetap asyik dengan mengembangkan budaya lokal yang feodal, budaya lokal yang indentik dengan sistem pelanggengan kekuasaan. n
Asarpin, Aktivis dan esais
Sumber: Lampung Post, Rabu, 19 Juni 2013
No comments:
Post a Comment