PUNDUHPIDADA. Seruas pantai di bilangan Kecamatan Punduhpidada, Pesawaran, itu bukan saja indah. Ia juga menyimpan cerita lama tentang kejayaan satu komunitas etnik; Marga Bawang.
Pantai itu nyaris tak beriak. Airnya tenang mengalir, tetapi tak menggerakkan permukaan menjadi ombak di tepian pantainya. Ya, seperti danau.Di kelilingi sejumlah pulau besar, Pulau Loh, Pulau Balak, dan daratan Desa Pagarjaya, Punduhpidada. Pantai Soka seperti termenung. Batas laut dengan daratan yang pernah menjadi lambang kejayaan Kebandaran Marga Bawang melalui muaranya yang terkenal ini, juga pernah menjadi saksi bisu perang kecil pasukan Kerajaan Sriwijaya.
Sejumlah warga yang tinggal di sekitar pantai pernah menyebut ada sebuah batu besar yang di dindingnya terdapat patahan pedang yang tertanam di dalam batu.
Selain itu, pada 1980-an, warga masih bisa melihat semacam batu yang disusun membentuk sebuah tangga panjang hingga ratusan meter. Titian cadas itu diduga dijadikan sebagai tempat para perempuan maupun warga untuk melihat kapal-kapal dagang yang datang karena posisi pantai bersisian langsung dengan Muara Bawang.
"Tetapi semuanya sudah hancur. Batu pedangnya sudah habis dipecah. Batu-batu yang membentuk tangga panjangnya sudah tertimbun untuk tambak udang dan tambang pasir di Muara Bawang," kata Awaludin, salah seorang warga Desa Bawang.
Selain itu, bibir pantai juga sudah semakin menjorok bahkan hingga bersisian dengan jalan menuju Desa Sukamaju. Itu karena reklamasi pantai sepanjang 100 meter yang dilakukan oleh pengusaha tambak udang. Padahal, dulu jarak pantai dengan jalan masih berada cukup jauh. "Jarak Pulau Balak atau Pulau Loh itu dekat sekali. Dulu warga yang tinggal di Pulau Loh bahkan hanya cukup sedikit berteriak saja untuk memberitahukan situasi kepada warga Marga Bawang jika ada kapal pasukan kerajaan yang datang," ujar Awalludin yang masih masuk struktur keturunan Marga Bawang.
Ia juga mengisahkan sejumlah pasukan Kerajaan Sriwijaya yang datang ke Marga Bawang dan sempat terjadi peperangan dengan warga saat berlabuh di pantai ini.
Setelah terlibat peperangan yang cukup lama, pasukan Sriwijaya mundur karena kalah jumlah dengan Kemargaan Bawang yang dibantu oleh masyarakat Kemargaan Punduh dan Kemargaan Pedada. "Sebagai bentuk persaudaraan kepada marga kami, pasukan ini menancapkan pedangnya ke salah satu batu hingga setengah badan pedang. Itu sebagai tanda penanggalan kekerasan karena ternyata pasukan ini ingin menjadi bagian dari kami."
Akhirnya, sikap masyarakat marga yang terbuka membolehkan pasukan ini berbaur dengan warga, termasuk menikah dengan penduduk lokal. Hingga kini keturunannya tersebar di berbagai desa di Kecamatan Punduhpidada.
Ia juga tak bisa memastikan kenapa penamaan pantai ini adalah Pantai Soka. "Yang jelas, sejak nenek moyang saya dulu nama pantai ini memang sudah disebut Soka. Atau beberapa orang lainnya menyebut Asoka. Mungkin terkait dengan kehadiran salah seorang ulama asal India yang menyebarkan agama Islam di tiga daerah kemargaan ini, termasuk hingga ke Kelumbayan, Tanggamus.
"Dia datang sebelum peristiwa peperangan itu, bersama kapal dagang. Sempat menetap dan menyebarkan Islam di sini sampai ke Kelumbayan, sampai akhirnya jejaknya tak jelas lagi. Walaupun kabarnya ia sempat mempersunting gadis marga."
Pantai tanpa Gelombang dan Musim Angin
PASIR Pantai Soka seperti berkilau. Warnanya yang kuning keemasan sesekali ditingkahi kepiting-kepiting laut kecil yang berlarian ke sana-kemari menuju pantai atau masuk ke lubang.
Pantai ini memiliki kontur yang landai, bahkan beberapa meter dari bibir pantai kedalaman hanya berkisar 2 meter. Dasar pantai juga bukan karang-karang keras, melainkan pasir lembut yang aman untuk telapak kaki.
Dua pulau yang berada di depan pantai ini jugalah yang ?menutup? gelombang kuat Samudera Hindia, termasuk angin musim. Pantai ini membentang di dua desa sepanjang hampir 1 kilometer. Dua desa itu adalah Desa Sukamaju dan Desa Pagarjaya.
Posisi itu membuat desa ini seolah tak mengenal angin musim apa pun karena hembusan angin lagi-lagi tertutup dua pulau dan satu daratan yang menjulang itu.
Pohon-pohon bakau besar tertanam kuat di tengah-tengah pantai. Nelayan kerap menebar jaring di sekitar pohon-pohon bakau itu. Ikan-ikan besar kerap ?nyasar? ke akar-akar bakau yang menjadi tempat hidup cacing-cacing laut maupun ikan-ikan kecil yang menjadi santapan ikan-ikan besar.
Beberapa perahu nelayan yang keluar dari Muara Bawang juga sesekali mengangkat tajur jaring yang ditanam tadi malam di sekitar pantai.
Karena kurang dirawat, pasir-pasir pantai yang berada di Desa Sukamaju, Punduhpidada, atau 80 kilometer dari Bandar Lampung itu tertutup tanaman rambat yang lebat dan menjalar hingga sepanjang garis pantai itu.
Beberapa pasangan remaja masih terlihat memanfaatkan sudut-sudut pantai yang masih bersih untuk memadu kasih. Mereka tak terlalu hirau meski pantai itu bersisian langsung dengan jalan.
Saat sore hari, matahari yang terbenam terlihat di antara dua pulau yang mengapit pantai ini dari laut lepas. Dulu cahaya matahari yang terbenam di antara kedua pulau itu membentuk garis lurus membentang panjang hingga ke bukit di seberang jalan.
Dulu sebelum ada listrik, orang menjadikan cahaya itu sebagai peralihan waktu dari sore ke petang. Ternak-ternak mulai digiring ke kandang, anak-anak yang bermain di pantai diminta pulang. (MEZA SWASTIKA/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Juni 2013
Pantai itu nyaris tak beriak. Airnya tenang mengalir, tetapi tak menggerakkan permukaan menjadi ombak di tepian pantainya. Ya, seperti danau.Di kelilingi sejumlah pulau besar, Pulau Loh, Pulau Balak, dan daratan Desa Pagarjaya, Punduhpidada. Pantai Soka seperti termenung. Batas laut dengan daratan yang pernah menjadi lambang kejayaan Kebandaran Marga Bawang melalui muaranya yang terkenal ini, juga pernah menjadi saksi bisu perang kecil pasukan Kerajaan Sriwijaya.
Sejumlah warga yang tinggal di sekitar pantai pernah menyebut ada sebuah batu besar yang di dindingnya terdapat patahan pedang yang tertanam di dalam batu.
Selain itu, pada 1980-an, warga masih bisa melihat semacam batu yang disusun membentuk sebuah tangga panjang hingga ratusan meter. Titian cadas itu diduga dijadikan sebagai tempat para perempuan maupun warga untuk melihat kapal-kapal dagang yang datang karena posisi pantai bersisian langsung dengan Muara Bawang.
"Tetapi semuanya sudah hancur. Batu pedangnya sudah habis dipecah. Batu-batu yang membentuk tangga panjangnya sudah tertimbun untuk tambak udang dan tambang pasir di Muara Bawang," kata Awaludin, salah seorang warga Desa Bawang.
Selain itu, bibir pantai juga sudah semakin menjorok bahkan hingga bersisian dengan jalan menuju Desa Sukamaju. Itu karena reklamasi pantai sepanjang 100 meter yang dilakukan oleh pengusaha tambak udang. Padahal, dulu jarak pantai dengan jalan masih berada cukup jauh. "Jarak Pulau Balak atau Pulau Loh itu dekat sekali. Dulu warga yang tinggal di Pulau Loh bahkan hanya cukup sedikit berteriak saja untuk memberitahukan situasi kepada warga Marga Bawang jika ada kapal pasukan kerajaan yang datang," ujar Awalludin yang masih masuk struktur keturunan Marga Bawang.
Ia juga mengisahkan sejumlah pasukan Kerajaan Sriwijaya yang datang ke Marga Bawang dan sempat terjadi peperangan dengan warga saat berlabuh di pantai ini.
Setelah terlibat peperangan yang cukup lama, pasukan Sriwijaya mundur karena kalah jumlah dengan Kemargaan Bawang yang dibantu oleh masyarakat Kemargaan Punduh dan Kemargaan Pedada. "Sebagai bentuk persaudaraan kepada marga kami, pasukan ini menancapkan pedangnya ke salah satu batu hingga setengah badan pedang. Itu sebagai tanda penanggalan kekerasan karena ternyata pasukan ini ingin menjadi bagian dari kami."
Akhirnya, sikap masyarakat marga yang terbuka membolehkan pasukan ini berbaur dengan warga, termasuk menikah dengan penduduk lokal. Hingga kini keturunannya tersebar di berbagai desa di Kecamatan Punduhpidada.
Ia juga tak bisa memastikan kenapa penamaan pantai ini adalah Pantai Soka. "Yang jelas, sejak nenek moyang saya dulu nama pantai ini memang sudah disebut Soka. Atau beberapa orang lainnya menyebut Asoka. Mungkin terkait dengan kehadiran salah seorang ulama asal India yang menyebarkan agama Islam di tiga daerah kemargaan ini, termasuk hingga ke Kelumbayan, Tanggamus.
"Dia datang sebelum peristiwa peperangan itu, bersama kapal dagang. Sempat menetap dan menyebarkan Islam di sini sampai ke Kelumbayan, sampai akhirnya jejaknya tak jelas lagi. Walaupun kabarnya ia sempat mempersunting gadis marga."
Pantai tanpa Gelombang dan Musim Angin
PASIR Pantai Soka seperti berkilau. Warnanya yang kuning keemasan sesekali ditingkahi kepiting-kepiting laut kecil yang berlarian ke sana-kemari menuju pantai atau masuk ke lubang.
Pantai ini memiliki kontur yang landai, bahkan beberapa meter dari bibir pantai kedalaman hanya berkisar 2 meter. Dasar pantai juga bukan karang-karang keras, melainkan pasir lembut yang aman untuk telapak kaki.
Dua pulau yang berada di depan pantai ini jugalah yang ?menutup? gelombang kuat Samudera Hindia, termasuk angin musim. Pantai ini membentang di dua desa sepanjang hampir 1 kilometer. Dua desa itu adalah Desa Sukamaju dan Desa Pagarjaya.
Posisi itu membuat desa ini seolah tak mengenal angin musim apa pun karena hembusan angin lagi-lagi tertutup dua pulau dan satu daratan yang menjulang itu.
Pohon-pohon bakau besar tertanam kuat di tengah-tengah pantai. Nelayan kerap menebar jaring di sekitar pohon-pohon bakau itu. Ikan-ikan besar kerap ?nyasar? ke akar-akar bakau yang menjadi tempat hidup cacing-cacing laut maupun ikan-ikan kecil yang menjadi santapan ikan-ikan besar.
Beberapa perahu nelayan yang keluar dari Muara Bawang juga sesekali mengangkat tajur jaring yang ditanam tadi malam di sekitar pantai.
Karena kurang dirawat, pasir-pasir pantai yang berada di Desa Sukamaju, Punduhpidada, atau 80 kilometer dari Bandar Lampung itu tertutup tanaman rambat yang lebat dan menjalar hingga sepanjang garis pantai itu.
Beberapa pasangan remaja masih terlihat memanfaatkan sudut-sudut pantai yang masih bersih untuk memadu kasih. Mereka tak terlalu hirau meski pantai itu bersisian langsung dengan jalan.
Saat sore hari, matahari yang terbenam terlihat di antara dua pulau yang mengapit pantai ini dari laut lepas. Dulu cahaya matahari yang terbenam di antara kedua pulau itu membentuk garis lurus membentang panjang hingga ke bukit di seberang jalan.
Dulu sebelum ada listrik, orang menjadikan cahaya itu sebagai peralihan waktu dari sore ke petang. Ternak-ternak mulai digiring ke kandang, anak-anak yang bermain di pantai diminta pulang. (MEZA SWASTIKA/M-1)
Sumber: Lampung Post, Minggu, 2 Juni 2013
No comments:
Post a Comment