Oleh Sudarmono
TEATER Satu Lampung mementaskan Aruk Gugat karya Iswadi Pratama, 11--13 Maret, di Taman Budaya Lampung. Persepsi Iswadi begitu benderang mengeja detail kecenderungan sirat miring Lampung yang kental.
Aruk Gugat, Teater Satu, 2010 (LAMPUNG POST/M. REZA)
Keluarga Rustam Abdul Gani gelar Tiang Dirangkuman bin Datuk di Ulu Sungai. Gelar amat prestisius di kampung itu didapat dengan menggiring tujuh kerbau dari kandang ayahnya ke arena jagal adat untuk pesta masyarakat. Syair-syair tua dibacakan, pantun-pantun kearifan dialunkan, dan sanjung-hormat dipersembahkan. Mendesirlah darah biru dalam tubuhnya, dan kerja kasar bukan lagi bagiannya.
Kini, kesehariannya adalah prosesi, menghafal narasi, dan membahas setiap butir masalah secara filosofi. Kegiatan baru ini menjadi selimur untuk menghindar dari kewajibannya sebagai istri bagi Hindun, juga bagi Muhammad Aruk, anak semata wayangnya. Ini juga yang menjadikan dua manusia subordinat Rustam itu berkelahi dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
Pertunjukan Aruk Gugat karya dan sutradara Iswadi Pratama ini sangat reflektif. Mengadobsi warahan, teater rakyat Lampung, Iswadi begitu nakal dengan memilih sisi-sisi getir pada keluarga atau masyarakat Lampung. Agak tidak berimbang. Sebab, menonton Aruk Gugat dan memaknainya sebagai budaya Lampung dapat mengarahkan penonton mempunyai persepsi tentang orang Lampung.
Gelar yang terlalu dibanggakan oleh Rustam (Budi Laksana) telah mengubah hidupnya menjadi tidak produktif sebagai orang kampung. Tugas mencari nafkah terpaksa berpindah kepada Hindun (Ruth Marini). Keterbatasan Hindun yang tak mungkin memaksa suaminya berubah membuat ia mencari "korban" lain, yakni Aruk (Sugianto), anak semata wayangnya.
"Bangun dulu, kamu Aruk! Woi, matahari sudah melotot, kamu masih molor aja!"
Di atas dipan beralas tikar, Aruk masih meneruskan tidurnya. Bahkan, Rustam membela anaknya untuk tetap tidur dulu karena semalaman tadi harus menghafalkan ayat-ayat mantra yang ia ajarkan.
"Biar, dulu Hindun! Anak kita itu capek! Semalaman dia menghafal mantra dari saya. Mantra itu penting untuk dia mengejar cita-citanya nanti."
Namun, waktu terus berjalan. Lauk makan hari itu belum terbaca; dengan apa. Maka, dengan judesnya, Hindun menghardik Aruk sambil menyodorkan bubu untuk memasangnya di sungai. "Kamu pasang bubu ini di sungai. Cari ikan untuk makan kita hari ini. Jangan lupa, ikan di bubu yang kemarin kamu ambil, bawa pulang."
Aruk berangkat. Lalu pulang sambil membawa bubu kemarin. Ia mengabarkan bubunya dapat udang besar dan banyak. Tetapi, karena yang diminta ibunya adalah ikan, udang yang tertangkap ia lepaskan.
Kepandiran Aruk menjadi titik getir lakon ini. Berusaha bijak, Iswadi menyebut ketololan ini sebagai kepolosan, bahkan kejujuran. Ia berusaha mempertanyakan, apakah kepolosan semacam ini sudah tidak ada tempat lagi di dunia sekarang? Kurang pas, memang. Tetapi Iswadi hanya ingin membandingkan dengan sangat kontras, betapa kedunguan itu amat tidak laku.
Tak ada pilihan lain bagi Rustam, Aruk yang pandir itu dikirim ke kota untuk mendaftar jadi polisi. Berbekal mantra dari ayahnya; "pit kopat kapit, kuda lari kejepit...," lalu menjejak kaki ke bumi tiga kali, Aruk berangkat.
Seluruh tahapan seleksi masuk polisi diikuti dengan baik. Tinggal selangkah lagi, satu tes terakhir ia tolak. Yakni, tes menembak.
"Mengapa kamu menolak ujian menembak?" tanya komandan.
Aruk menjawab, "Saya tidak sanggup. Saya tidak tega. Nanti, kalau saya pegang senjata, semua orang bisa saya tembak!"
Pesan kemanusiaan dimasukkan Iswadi pada episode ini. Namun, absurditas yang ditampakkan sama sekali tidak mengakomodasi kebutuhan perut yang faktanya masih melilit tembolok Aruk dan masa depannya. Kembali lagi, Aruk terpuruk.
Babak berikutnya, setelah berdiskusi dengan seorang pelayar, Aruk memutuskan menjadi penulis fiksi. Cerpen adalah spesialisasinya. Beberapa karya cerpen telah dimuat koran lokal. Namun, empat cerpen terbarunya ditolak karena sejak karya perdana hingga yang terakhir, ceritanya semua tentang ikan. Judulnya, Ayat-Ayat Ikan, Ketika Ikan Bertasbih, Ikan Berkalung Sorban, bahkan yang terakhir, Siapa Suruh Jadi Ikan.
Di rol terakhir, Aruk berhasil menjadi kepala desa. Demi memajukan desanya, ia menggelar rapat setiap hari. Tiada hari tanpa rapat. Akan ada hajatan, rapat, anak lahir, rapat, ulang tahun, rapat, bahkan Aruk hendak bercukur, rapat.
Dua tahun Aruk jadi pamong. Terakhir, ketulusan dan kepolosannya mengerjakan tugas tidak membuat orang percaya. Bahkan, ia ditinggalkan rakyatnya. Ia frustasi dan membakar balai desa.
Ibarat petai, lakon ini benar-benar getir dan berbau menyedak, tetapi mampu memberi kesegaran pikir tentang kehidupan. Pertunjukan dengan kekuatan aktor yang oleh tubuh dan vokalnya kaliber nasional itu, meskipun menyedak, ia mampu membangkitkan selera menonton dengan kuatnya.
Satu lagi, warahan dengan seting kampung Lampung udik, dengan properti minimalis, yakni hanya 11 meja kecil pendek yang digeser-geser, enam genter dijejer, Teater Satu tampil memukau. Penggunaan dialek Lampung yang kental, dengan penekanan lafal l yang ditasdid, pementasan ini membuat ger-geran. Padahal, pesan-pesannya amat dalam. Getir, tapi jenaka.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 14 Maret 2010
No comments:
Post a Comment