BANDAR LAMPUNG--"Salahkah menjadi polos atau jujur? Hal itu menjadi semacam gugatan yang dilontarkan tokoh Aruk dalam lakon Aruk Gugat karya Iswadi Pratama pada pentas teater yang digelar Teater Satu Lampung, Jumat (12-3).
'ARUK GUGAT'. Penampilan para aktor Teater Satu berhasil memukau penonton dalam lakon Aruk Gugat di Gedung Teater Tertutup Taman Budaya Lampung, Kamis (11-3). Dalam lakon karya Iswadi Pratama ini, tergambar bagaimana menjadi "orang polos" pada zaman sekarang cenderung tidak mendapatkan tempat di masyarakat. (LAMPUNG POST/M. REZA)
Dalam lakon Aruk Gugat tersebut tergambar dengan gamblang, menjadi "orang polos" pada zaman sekarang ini yang cenderung tidak mendapatkan tempat, terlebih dalam kehidupan publik.
Aruk seperti menjadi simbol dari dilema dalam kehidupan manusia zaman sekarang yang harus menghadapi kekerasan dalam sistem sosial, politik, ideologi, bahkan ekonomi. Sementara hati nurani tak bisa dikesampingkan begitu saja.
Sore itu, Aruk Gugat menampilkan sebuah sajian teater yang segar, bernas sekaligus reflektif. Naskah Aruk Gugat--diangkat dari cerita rakyat Lampung dan baru pertama kali dimainkan secara utuh di Lampung tersebut--menceritakan tentang seorang anak bernama Aruk, dimainkan dengan sangat baik oleh Sugianto.
Aruk adalah anak yang agak pandir atau polos tetapi baik hati, di mana ia harus menanggung ambisi ayahnya, untuk meneruskan kejayaan silsilah bangsawan yang mengalir di darahnya.
Cerita kemudian berkembang dengan berbagai kesialan yang menimpa Aruk pada setiap aspek kehidupannya, hanya karena ia terlalu lugu dan jujur dalam menjalani kehidupan tersebut.
Ketika menjadi polisi, Aruk menolak sesuatu hal yang bertentangan dengan nuraninya. Dengan jujur dan tegas, ia menolak untuk memegang pistol. Akhir cerita, Aruk dipecat.
Pun begitu dengan cerita kehidupan selanjutnya yang bergulir ketika ia sudah menikah. Aruk menikah dengan Betik Hati (Desi Susan) dan menjadi seorang nelayan.
Namun, selama menjadi nelayan, tak pernah sekalipun Aruk mendapat ikan dikarenakan tak mampu bersaing dengan nelayan-nelayan lain. Aruk acap pulang hanya dengan membawa rumput laut. Hal itu menjadi pemicu konflik yang berkepanjangan dengan sang istri.
Kesialan seolah tak pernah lepas dari Aruk. Bahkan ketika akhirnya Aruk memutuskan menjadi seorang cerpenis. Karya-karyanya yang terlalu lugu, acap menjadi bahan tertawaan orang lain.
Terakhir, Aruk terpilih menjadi pamong desa. Dia memimpin desanya dengan menggelar rapat setiap hari. Dua tahun memimpin, rakyatnya mulai menggugat. Akhirnya dia frustrasi dan membakar balai desa. Aruk pun kemudian harus hidup di penjara. (MG13/K-1)
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 13 Maret 2010
salam seni dan budaya
ReplyDeletehttp://theater-kehidupan.blogspot.com