Oleh Muslim
TULISAN Agus Sri Danardana (ASD), Bahasa Lampung Kini (Lampung Post, [18-02]), menarik diapresiasi secara positif dan kritis. Menurut dia, bisa jadi bahasa Lampung akan punah dalam beberapa abad mendatang. Sebab, dengan menyitir penelitian Andrew Dalby dalam Language in Danger (2003), setiap dua minggu dunia kehilangan satu bahasa.
Salah satu penyebab "terpinggirkannya" bahasa Lampung dalam "pergaulan keseharian" masyarakat Lampung, terutama generasi mudanya, lanjut ASD, adalah kekurangmampuan bahasa Lampung memenuhi kebutuhan penuturnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kondisi seperti itu, ada kecenderungan penutur "lari" ke bahasa lain, yang memungkinkan komunikasi mereka berjalan lebih lancar.
Namun, ASD masih memberikan optimistis. Dalam telaahnya, dari 7 jutaan penduduk Provinsi Lampung, penutur bahasa Lampung diperkirakan berjumlah sekitar 17% atau 1,190 juta. Ini menunjukkan bahasa Lampung masih berada di zona aman dari ancaman kematian dan kepunahan, karena masih digunakan lebih dari sejuta orang. Dan, baris demi baris dalam tulisan ini, akan mencoba mengembangkan diskursus yang dilontarkan ASD itu dari perspektif yang berbeda.
Geliat pembangunanisme yang terus dijalankan di negeri ini ternyata tak hanya membawa dampak positif berupa perubahan dalam struktur masyarakat menjadi lebih maju. Tapi juga menimbulkan dampak negatif dengan menurunnya kuriositas masyarakat pribumi dalam melestarikan budaya dan bahasanya sendiri. Bukanlah hal baru jika kebudayaan nasional menjadi kurang berkembang. Sebab, seperti dikemukakan di atas, laju perkembangan dunia yang terbingkai dalam arus besar globalisasi dan modernisasi memiliki pengaruh yang kuat untuk menghambat itu semua.
Demikian pula yang terjadi di Lampung. Kian ramainya masyarakat pendatang yang bermukim di sini, tak pelak membuat bahasa Lampung semakin bergeser dan terancam punah. Terbukanya peluang bagi masyarakat daerah lain, khususnya Jawa, untuk masuk ke Lampung setidaknya disebabkan letak geografis Provinsi Lampung sebagai pintu gerbang pulau Sumatera. Dampaknya, banyak dari orang Lampung, khususnya yang bermukim di daerah perkotaan, menjadi minoritas. Artinya, walaupun mereka ulun Lampung, tetapi tidak memungkinkan untuk berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya yang jelas-jelas tidak bisa berbahasa Lampung. Wajar, jika mereka tidak pernah menggunakan bahasa Lampung.
Dalam dunia pendidikan, bahasa Lampung tidak menjadi mata pelajaran yang tetap, tetapi hanya masuk dalam muatan lokal, sehingga setiap sekolah tidak berkewajiban mengadakannya. Ujung-ujungnya, banyak siswa yang notabenenya orang Lampung tidak (pernah) mempelajari bahasa dan adat Lampung secara utuh. Pada aras ini, kondisi bahasa Lampung dapatlah dikatakan mencapai tingkat yang cukup mengkhawatirkan. Sebab, banyak dari generasi muda suku Lampung yang enggan mempelajari seni budayanya sendiri, bahkan sudah sangat jarang menggunakan bahasa Lampung dalam interaksi sosial sehari-hari.
Untuk itu, diperlukan sebuah terobosan dan penanganan yang intensif melalui sentuhan tangan kreatif dari para pemangku adat dan pejabat pemerintah daerah dalam merawat seni budaya Lampung. Hal utama yang mesti digalakkan adalah mencari metode yang atraktif agar bahasa Lampung tetap eksis dalam masyarakat Lampung sendiri.
Kemudian, seluruh elemen masyarakat suku Lampung juga harus senantiasa aktif menyosialisasikan seni budaya Lampung kepada generasi muda, serta mendukung segala bentuk kegiatan yang mengarah padanya. Sarana sosialisasi yang paling efektif, menurut penulis, dapatlah dilakukan melalui media massa dan lembaga pendidikan.
Dalam ranah pendidikan, sosialisasi bahasa dan seni budaya Lampung dapat dilakukan dengan mewajibkan setiap lembaga pendidikan dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi untuk mengadakan mata pelajaran Bahasa Lampung. Dengan begitu, seluruh pelajar dan mahasiswa yang ada di Lampung setidaknya bisa mengerti dan memahami ihwal bahasa dan adat Lampung.
Hal ini setidaknya bersandar pada sebuah fakta bahwa banyak dari pemuda suku Lampung yang berpendidikan tinggi, tapi anehnya, kebanyakan dari mereka enggan dan malas untuk memakai bahasa Lampung dengan baik. Jadi, proses peningkatan kecerdasan pemuda Lampung harus juga dibarengi dengan adanya "pemaksaan" untuk mempelajari dan menerapkan bahasa Lampung dalam pergaulan mereka. Sebab, di tangan para pemudalah bahasa dan seni budaya ini akan beralih.
Realitas kebudayaan Lampung yang kian hari kian membuat kita mengernyitkan dahi. Sebab, arus kuat modernisasi menjadikan setiap individu lebih condong untuk mengikuti gaya Barat.
Ujung-ujungnya, tari sembah dan menabuh tala tak menarik untuk dipelajari, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Tragisnya lagi, memakai bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari, minimal dengan sesama ulun Lampung, merupakan perilaku yang sangat "memalukan".
Alhasil, kita semua berharap agar pemuda Lampung, tokoh adat, dan aparat pemerintah daerah bisa mengambil langkah yang efektif dan kreatif untuk lebih memasyarakatkan bahasa dan budaya Lampung. Jika tidak, seperti yang ditegaskan ASD, dalam beberapa dekade mendatang, bahasa Lampung akan benar-benar punah.
* Muslim, Alumnus IAIN Raden Intan Lampung
Sumber: Lampung Post, Jumat, 26 Maret 2010
No comments:
Post a Comment