Bandarlampung -- Teater Satu mengadaptasikan seni tradisional Lampung, Warahan, ke dalam pementasan teater modern dalam pentas terbaru mereka, yakni Aruk Gugat.
Menurut penulis naskah sekaligus sutradara pementasan tersebut, Iswadi Pratama, di Bandarlampung, Jumat, Aruk Gugat merupakan bentuk refleksi sifat manusia dan kehidupan, yang disimbolkan dalam tokoh legenda tradisional rakyat Lampung, si Aruk.
"Pementasan ini aslinya merupakan pementasan tradisional Lampung, Warahan, yang kami adaptasi dan padukan dengan bentuk pementasan teater modern," kata dia.
Peleburan Warahan dengan teater modern itu, kata Iswadi, dapat dilihat jelas dalam penggunaan latar yang bersifat minimalis dan simbolik, penggunaan tata cahaya, termasuk penggunaan naskah baku dan adanya penyutradaraan.
"Biasanya apabila kita berbicara tentang teater tradisional, lebih menandalkan spontanitas, tidak ada penyutradaraan dan naskah baku," lanjut Iswadi.
Pementasan yang merupakan kerja sama antara Tater Satu dengan Taman Budaya Lampung itu, ditujukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat Lampung akan warahan.
"Warahan adalah sebuah teater tradisi asli Lampung, perlu diperkenalkan kepada generasi baru dengan pendekatan yang lebih modern, dan itu salah satu target pementasan ini," kata Manajer Teater Satu, Imas Sobariah.
Dia melanjutkan, "Aruk Gugat" sudah teramat sering dipentaskan oleh Teater Satu, namun karena bentuknya yang berupa warahan, sehingga lebih banyak dipentaskan di panggung nongedung pertunjukan.
"Selama ini, pementasannya lebih banyak dipentaskan di lapangan, balai desa, dan lebih merakyat, sekarang kami coba adaptasi dalam bentuk teater modern, dengan tidak mengesampingkan unsur tradisinya," kata Imas.
"Aruk Gugat" merupakan cerita dengan tokoh tradisional Lampung, si Aruk, yang bodoh dan lugu, namun sangat sayang dengan ibunya.
Oleh Iswadi, cerita rakyat Lampung tersebut dikembangkan ke dalam area imajinasi yang lebih luas, dimana Aruk harus berhadapan dengan berbagai intrik dan karakter kehidupan, sehingga terjadi pertentangan dalam diri Aruk yang naif.
Pada ujung pementasan, Iswadi mencoba memberi renungan pada penonton, apakah salah apabila sifat naif dan lugu tersebut tetap dipertahankan dalam menghadapi kehidupan yang keras dengan segala sistematikanya.
"Itulah pertanyaan yang saya bagi kepada seluruh penonton, seperti pembelaan ayahnya Aruk dalam pementasan tadi, satu-satunya kesalahan kita adalah, kehidupan seolah tidak memberi tempat dan pengertian terhadap kepolosan Aruk, apakah itu salah," kata Iswadi menambahkan.
Sumber: Antara, Jumat, 12 Maret 2010
No comments:
Post a Comment