-- Helena F Nababan*
SEPERTI ungkapan ”tak kenal maka tak sayang”, demikianlah hubungan Sarwit Sarwono (52) dan aksara kaganga. Sebelumnya, dia tak tertarik aksara itu. Kini, dia menjadi salah satu ahli aksara kaganga, aksara asli warga di kawasan hulu Sungai Musi dan beberapa daerah lain di Sumatera Selatan, Lampung, dan Kerinci di Provinsi Jambi. Sarwit adalah peneliti aksara kaganga dan pengajar di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Bengkulu.
Sarwit Sarwono (KOMPAS/HELENA F NABABAN)
Setelah puluhan tahun Sarwit mengamati, aksara itu ternyata merupakan perkembangan aksara palawa dan kawi yang berkembang di pedalaman Musi hingga disebut juga aksara Ulu. Naskah-naskah kuno berbahasa daerah setempat yang tertulis dalam aksara kaganga juga disebut Naskah Ulu atau Surat Ulu.
Aksara kaganga merupakan aksara yang tergabung dalam rumpun Austronesia. Ia berkerabat dengan aksara Batak dan Bugis. Itu sebabnya bentuk kaganga yang seperti paku runcing mirip aksara Batak, Bugis, atau Lampung.
Tahun 1986 di Bengkulu, Sarwit awalnya hanya tertarik sastra Indonesia modern. Perkenalan pertamanya dengan aksara kaganga terjadi pada 1988.
Syukri Hamzah, sesama pengajar di FKIP, adalah sosok yang memperkenalkannya pada kaganga. Ketika itu, Sarwit belum terlalu tertarik pada aksara yang cara penulisannya miring ke kanan hampir 45 derajat itu. Namun, perkenalannya terus berlanjut.
Tahun 1989, Nur Muhammad Syah, mahasiswanya, memberi dia beberapa salinan Surat Ulu dari naskah kuno yang aslinya tercetak di atas kulit kayu (kakhas) milik Abdul Hasani (almarhum), mantan pesirah (kepala marga) di Curup, Bengkulu.
Kesempatan mengenal aksara kaganga makin terbuka saat Sarwit berkesempatan mengikuti program kerja sama Indonesia—Belanda di bidang pengkajian Indonesia. Program itu diselenggarakan Departemen Pendidikan Nasional tahun 1990.
Berawal dari bertemu, berkenalan, dan mengkaji, Sarwit kemudian mengenal lebih dalam aksara yang dinamai dari tiga aksara pertama, yakni ka, ga, nga, dari total 28 aksara itu. Di Leiden, Belanda, ia kaget saat tahu ratusan spesimen Surat Ulu beraksara kaganga tersimpan di sana. Ia juga menemukan belasan spesimen naskah kuno sejenis yang tersimpan di Perancis dan belasan lainnya di Jerman.
”Saat itu saya betul-betul cemburu dalam arti positif. Kenapa orang luar bisa begitu antusias mempelajari naskah-naskah kuno kita, sedangkan kita sendiri sangat kurang peduli?” ujarnya.
Temuan itu menyadarkan dia. Spesimen-spesimen itu adalah kekayaan budaya Indonesia, Bengkulu, dan sekitarnya khususnya. Manuskrip itu menandakan budaya baca dan tulis masyarakat Indonesia sudah lebih maju pada masa itu.
Belajar dan meneliti
Sarwit yang lahir di Tegal, Jawa Tengah, tentu lebih terbiasa dengan bahasa dan aksara Jawa daripada aksara kaganga. Namun, ”dendam” positif terhadap banyaknya naskah kuno Bengkulu di Belanda memacu hasratnya. Ia mempelajari betul aksara kaganga.
Ketika itu, penelitian aksara lebih banyak dilakukan pada bahasa Batak, Bugis, dan Jawa. Penelitian tentang kaganga belum ada. Ia ingin penelitian, pembelajaran, dan pelestarian kaganga semaju aksara Batak.
Sarwit juga mempelajari bahasa-bahasa daerah di Bengkulu, seperti bahasa Serawai, Rejang, Lembak, dan Pasemah atau Muko-muko. Hal itu karena sebagian besar naskah kuno yang tersimpan di Belanda berisi tulisan dengan aksara kaganga dalam berbagai bahasa tersebut. Ia juga membaca sejumlah manuskrip dan membuat microfilm dari manuskrip-manuskrip itu.
Di Belanda pula ia bertemu dengan Profesor Petrus Voorhoeve, ahli aksara Batak dan Surat Batak yang juga bisa membaca aksara kaganga. Dengan Voorhoeve, Sarwit bertukar pikiran dan menimba ilmu.
Kembali ke Indonesia tahun 1992, Sarwit menerapkan ilmunya di jurusan tempatnya mengajar. Sampai 1996, dia mendapat tugas membantu Museum Negeri Bengkulu.
Sebagai peneliti, dia diminta mengidentifikasi dan membaca naskah-naskah kuno beraksara kaganga koleksi museum. Sekitar 128 naskah kuno beraksara kaganga terus dia baca, pelajari, dan telaah. Naskah-naskah kuno itu berbentuk kulit kayu, bilah bambu, gelondongan bambu, tanduk, kertas, dan rotan.
Sarwit mendapati banyak kearifan lokal dan ajaran, di antaranya pengobatan tradisional dari tumbuh-tumbuhan, aturan pernikahan, kesantunan atau etika pergaulan dan berorganisasi, silsilah keluarga, pergaulan muda-mudi, sampai ajaran Islam.
Menurut Sarwit, kearifan lokal itu sebetulnya masih bisa diterapkan. ”Namun, karena kepedulian masyarakat kurang, nilai-nilai tradisi dan kearifan lokal nenek moyang masyarakat Bengkulu itu kurang dipahami dan diterapkan.”
Naskah-naskah kuno itu biasanya diturunkan dari kepala marga atau pasirah kepada keturunannya. Orang yang menerima lalu menganggapnya sebagai benda pusaka sehingga harus memotong kambing atau mengadakan selamatan bila ingin membuka naskah kuno tersebut.
Karena takut, warga biasanya tak ingin mengetahui isi naskah kuno itu. Mereka menyimpannya asal saja, tanpa teknik penyimpanan yang tepat, sehingga keberadaan naskah kuno itu terancam rusak atau lenyap.
Pelestarian
Dari penelitiannya, Sarwit mendapati tradisi tulis dalam aksara kaganga terhenti awal abad XX. Seharusnya, pemerintah bertindak untuk meneruskan tradisi, atau setidaknya upaya memasukkan aksara kaganga dalam kurikulum sebagai penjagaan sejak dini.
Ia mencatat, tahun 1988 di Kabupaten Rejang Lebong ada upaya memasukkan kaganga dalam kurikulum. Sayang, keterbatasan tenaga pengajar membuat pembelajaran kaganga tak optimal.
Sampai kini, tenaga pengajar di sekolah hanya tahu membaca dan menulis kaganga, tetapi kurang memahami budaya Bengkulu.
”Pengajaran masih sederhana, sekadar bisa menulis dan membaca,” ujarnya.
Kemauan kuat dari pemerintah daerah untuk melestarikan kaganga masih dibutuhkan, di antaranya, dengan menyediakan bahan ajar aksara kaganga dan bahasa daerah yang cukup, serta menyediakan para pengajar yang juga memahami budaya Bengkulu.
Sebagai langkah awal, tahun 2002, Sarwit membuat terobosan dengan menciptakan sistem pembacaan aksara kaganga pada komputer. Aksara kaganga itu dibuat sesuai bahasa daerah yang mengenal aksara kaganga. Maka, ada varian aksara kaganga Ogan, aksara kaganga Lembak, aksara kaganga Ulu, hingga aksara kaganga Serawai.
SARWIT SARWONO
• Lahir: Tegal, Jawa Tengah, 12 November 1958
• Istri: Ngudining Rahayu (49)
• Anak: - Andika - Himavan - Vidyadhara - Mahendra - Adisvara
• Pendidikan:
- Peserta Program Kerja sama Indonesia-Belanda untuk Pengkajian Indonesia 1990-1992 di Leiden, Belanda
- Tengah mengikuti S-3 Ilmu-ilmu Sosial di Universitas Airlangga, Surabaya
• Pekerjaan:
- Dosen Bahasa dan Sastra Daerah pada Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas Bengkulu
- Ketua Lembaga Penelitian Universitas Bengkulu
Sumber: Kompas, Rabu, 10 Maret 2010
No comments:
Post a Comment