Bandar Lampung, Kompas - Tanpa upaya penyelamatan konkret, populasi penyu di Tanah Air, khususnya Provinsi Lampung, bisa punah. Induk penyu di pesisir Lampung Barat, salah satu kawasan habitat terbesar penyu, tinggal 308 ekor.
”Ini sangat sedikit jika dibandingkan panjang garis pantai tempat habitat penyu di Lampung Barat, yaitu 221 kilometer,” kata Kepala Seksi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Timur Naznan Meureka di Seminar Kolaborasi Kebijakan Konservasi Penyu yang diadakan LSM Mitra Bentala, Selasa (30/3).
Dari 7 spesies penyu yang tersisa di dunia, 6 di antaranya berada di Indonesia. Empat di antaranya kerap bertelur di Lampung Barat, yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Erethmochyelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacca) dan penyu belimbing (Dermochelys coreacea).
Populasi penyu belimbing berkurang drastis, yaitu 97 persen dalam 22 tahun terakhir. Kini kurang dari 3.000 ekor di seluruh dunia. ”Ini spesies penyu terbesar. Ukuran penyu dewasa bisa sebesar Honda Jazz,” tuturnya.
Herawati Soekardi, pemerhati satwa dari Universitas Lampung, mengungkapkan, aktivitas manusia adalah ancaman terbesar bagi penyu. Meski termasuk satwa dilindungi, perburuan penyu ataupun telurnya masih terjadi dengan sembunyi-sembunyi. ”Belum lagi, berubahnya fungsi pantai dan tata ruang yang tidak mengindahkan konservasi,” ujarnya.
Di Lampung Barat, telur penyu dijual bebas di pasar-pasar, Rp 3.000 per kg. Menurut Ari Rakatama dari BKSDA Lampung, beberapa spesies penyu perlu siklus 35 tahun untuk bertelur. ”Di Pulau Betuah, pulau terluar Indonesia, banyak sarang penyu. Telur-telur ini kerap diambil nelayan besar yang singgah dari Bandar Lampung, Tanggamus, dan Bagan (Riau) sebagai cenderamata,” kata Naznan.
Wakil Bupati Lampung Barat Dimyati Amin, yang hadir di acara tentang konservasi penyu, mengungkapkan, ”Sering timbul dilema. Di satu sisi masyarakat butuh hidup, tetapi di lain pihak jangan sampai merusak. Lampung Barat salah satu daerah termiskin, 76 persen wilayah kami adalah areal konservasi.”
Sosialisasi penyelamatan penyu akhir-akhir ini terus digencarkan. ”Setiap warga yang menemukan telur penyu terus lapor ke aparat desa dan camat, kami bayar Rp 2.000 per butir,” ujarnya. Pemkab Lampung Barat juga akan mengeluarkan perda agar sanksi lebih jelas dan realistis. ”Dendanya misal Rp 10 juta. Kalau di Undang-Undang (No 31/2004) denda Rp 250 juta, ini sulit diterapkan,” ungkapnya.
Rizani, aktivis Mitra Bentala mengungkapkan, konsep ekowisata bisa menjadi solusi benturan kepentingan ekonomi dan konservasi di wilayah ini. ”Keuntungan ekonominya bisa lebih besar ketimbang menjual telur Rp 3.000 yang bisa memusnahkan penyu,” tuturnya. (JON)
Sumber: Kompas, Rabu, 31 Maret 2010
No comments:
Post a Comment