Oleh Bainah Sari Dewi
KALAULAH ada gajah mati satu ekor saja di Lampung, maka Lampung dengan ikon satwa liar gajah ini bisa gonjang-ganjing di kalangan konservasionis dunia dengan dalih cinta satwa. Satu ekor orang utan mati, maka Kalimantan bahkan Indonesia bisa sangat heboh di dunia internasional sehingga kita terpaksa harus memikirkan konsep apa yang baik untuk persatwaliaran Indonesia. Lagi-lagi karena konsep cinta, cinta pada satwa liar.
“Konsep Budaya ‘Repong’ Turunkan Kemiskinan”, sebagaimana tulisan di Lampung Post, 12 Januari 2011 lalu, yang telah berhasil menurunkan kemiskinan pada studi kasus masyarakat Tribudisyukur, Sumberjaya, Lampung Barat, hingga tersisa 4% saja masyarakat yang berada di garis kemiskinan, menggelitik saya untuk memaparkan dan mengupas kelebihan repong ini untuk makhluk hidup yang bernama satwa liar.
Repong damar di Krui, Lampung Barat, sebagai hutan adat ini telah lama menjadi indikator keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat secara lestari dan berkesinambungan. Huber de Foresta, seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Prancis telah meneliti sejak 1993 dalam plot-plot permanen untuk mengamati dinamika tumbuhan yang berlangsung di dalamnya selama sepuluh tahun sampai 2003. Penelitian ini berlanjut secara periodik sejak tahun 2005 sampai nanti 2015 oleh Unila.
Paparan riset ini adalah biodiversitas yang tinggi pada jumlah spesies pohon di repong damar ini dari 40 sampai 50 spesies fase pohon yang mengalami dinamika vegetasi setiap tahunnya. Damar mata kucing (Shorea javanica), durian (Durio zhibethinus), dan duku (Lansium domesticum) merupakan tiga primadona spesies pohon yang dapat dijumpai di Krui, Lampung Barat. Keberagaman spesies pohon ini justru menjadi tempat yang nyaman untuk satwa liar tumbuh dan berkembang.
Indikator alami yang menandakan keberhasilan ekosistem di repong damar Krui, Lampung Barat, adalah berkembangnya satwa liar. Dari tujuan utama kehutanan Lampung, yaitu hutan harus lestari, masyarakat juga harus meningkat kesejahteraannya. Maka repong merupakan contoh nyata dari lestarinya hutan yang telah berhasil dengan pengelolaan berbasis masyarakat. Wujud nyata lestarinya repong ini di kalangan para pencinta lingkungan hidup adalah dengan indikator semakin bertambahnya satwa liar yang datang ke daerah tersebut karena rasa nyaman, dengan habitat yang terjaga, mendekati asli dari konsep ekosistem yang sebenarnya.
Riset yang dilakukan oleh Dewi dan Harianto (2009) menunjukkan enam spesies mamalia, tujuh spesies burung, dan sebelas spesies lain-lain termasuk ular, telah berhasil ditemukan di repong damar Krui, Lampung Barat. Hasil investigasi satwa liar ini merupakan indikator keberhasilan repong sebagai habitat satwa liar.
Secara ekologis, peran satwa liar sebagai penyebar biji (seed disperser) tingkat pertama dan tingkat kedua oleh insect pemakan feses satwa liar (dung beetle) bisa terlihat jelas pada areal repong. Satwa liar dengan kemampuan tubuhnya yang dapat menyimpan biji di dalam kapasitas perutnya, dan kemampuan daerah jelajah (home range) yang berkilo bahkan beratus kilometer per hari, merupakan aset hutan yang sangat penting.
Peran satwa liar ini tak tergantikan oleh makhluk hidup lainnya, dengan kealamiannya menyebarkan biji melalui makanannya dari buah-buahan di dalam hutan yang fleshy-fruit, lalu memencarkan biji-biji tersebut secara alami dan ekologi dalam kawasan repong. Kemampuan ini menghasilkan anakan pohon (seedling) yang tersebar dengan daya sebar home range satwa liar menyebabkan biji-biji bisa secara alami tersebar merata di dalam hutan. Sebaran jenis pohon akibat ulah satwa liar ini dapat berakibat positif pada mantapnya ekosistem repong.
Dengan ekosistem yang mantap alias lestari ini, tak ayal lagi hutan lestari, masyarakat sejahtera akan tercapai dan bukan lagi slogan kosong Lampung. Dengan konsep cinta repong ini, sitiran San Afri Awang dalam diskusi bersama Lampung Post, 11 Januari 2011 lalu dari seorang peraih Nobel 2001, mengatakan, "Kalau Anda ingin membangun negara, maka bangunlah negara Anda bukan dengan mencontoh pembangunan pada negara lain. Melainkan dengan konsep cinta dan kearifan lokal yang Anda temukan dari bangsamu sendiri."
Bainah Sari Dewi, Sekretaris DPD Persaki (Persatuan Sarjana Kehutanan Indonesia) Provinsi Lampung, alumnus S-3 Tokyo University of Agriculture and Technology Jepang
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 15 Januari 2011
No comments:
Post a Comment