Oleh Khudori Husnan
PENULIS cerita rakyat adalah seorang pemberani. Betapa tidak, cerita rakyat adalah sebentuk perlawanan terbuka atas novel sejarah yang mau memperlihatkan kegagahan, keperkasaan, dan patriotisme. Bercerita adalah seni berkisah dalam arti yang murni yang oleh sebagian pengulas narasi, cerita akan dipersengketakan dengan epik atau roman. Cerita mendasarkan dirinya pada sisi lain atau arus balik dari peristiwa besar historis yang biasanya digelorakan dalam epik. Cerita memperlihatkan selaksa pertentangan yang jika disarikan mengerucut pada pertentangan antara tradisi dan modernitas.
Arus balik dalam rupa pertentangan tecermin dari berkibarnya panji-panji perlawanan arus pinggir terhadap arus utama; informasi melawan pengetahuan, kebijaksanaan-kebijaksanaan berdasar pengalaman melawan verifikasi empiris, kronik melawan sejarah, interpretasi melawan eksplanasi, kenangan melawan ingatan. Aneka pertentangan itu ditopang oleh kondisi-kondisi sosio-material yang juga bernapaskan perlawanan kesendirian melawan kerumunan, karya seni rendah melawan karya seni luhur dan ternyata saya, Anda, dan semua adalah bagian dari arus besar dinamika tersebut.
Seorang pemikir dengan keluasan cara pandang akan pengetahuan sastra dan filsafat yang luar biasa, beberapa orang bahkan menyebutnya mistikus, menyebutkan, cara mudah membedakan cerita, termasuk cerita rakyat, dengan jenis-jenis seni berkisah lain terletak pada medium pengekspresiannya. Sementara bentuk-bentuk seni berkisah lain menuangkannya dalam cetakan, cerita mendasarkan diri pada oralitas. Cetakan berhubungan dengan produksi, oralitas berpaut dengan pemeliharaan.
Menurut pemikir yang konon mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri dan tak seorang pun tahu persis letak kuburnya hingga kini itu, "cerita adalah seni mengulang cerita-cerita". Apa pentingnya cerita yang terus diulang?
Seperti sudah saya sebut di muka, kita adalah bagian tak terpisahkan dari lingkungan sosial budaya yang memuat tegangan-tegangan yang akhirnya membentuk diri kita. Diri yang dibesarkan dalam lingkungan sosial tersebut seperti itu cenderung lupa diri dan atas dasar ini pengulangan diperlukan untuk memperkenankan memori menahan sekaligus mereproduksi narasi lalu mewartakannya dari generasi ke generasi.
Cerita berperan penting mengkreasi satu jaringan yang dapat mempertemukan satu cerita dengan cerita-cerita lain yang pernah ada di planet ini. Oralitas, yang ditekankan dalam cerita, adalah sebuah mekanisme pendukung keberlangsungan tradisi (jadi, sebuah mekanisme pertahanan diri) lewat adaptasi secara diam-diam setiap perubahan-perubahan radikal di tingkat sosial budaya demi tetap terjaganya apa yang telah selalu diketahui dan diyakini oleh warga dari satuan-satuan budaya tertentu.
Semangat seperti di atas merasuki novel Perempuan Penunggang Harimau (PPH) karya M. Harya Ramdhoni (BE Press, Lampung, 2011). Di situ tertulis "Menurut hikayat dari masa yang entah bila (sic!), Gunung Pesagi dan persekitaran hutan Hanibung adalah tempat pertama kali puyang bangsa Tumi turun dari kahyangan. Mereka lalu menyebar dan berpinak ke seluruh wilayah negeri. Itulah mengapa negeri itu diberi nama Sekala Bgha yang berarti Tempat Bersemayam Dewa-dewi."
Perempuan Penunggang Harimau bercerita tentang cikal-bakal lahirnya suatu negeri yang ditopang oleh kebiasaan-kebiasaan rakyatnya, adat istiadat, tabu-tabu, dan sejarahnya. Kendati di bagian akhir naskah disematkan semacam catatan penjelas bagi rangkaian fakta, data, dan nama yang tercantum di badan naskah sehingga diketahui bahwa Perempuan Penunggang Harimau berkisah tentang asal mula daerah Lampung, catatan itu tak membatalkan kadar cerita di dalamnya. Perempuan Penunggang Harimau adalah isyarat utama kembalinya cerita setelah sekian lama terimpit di sela-sela gelombang besar terbitnya buku-buku yang membekukan ingatan. Kembalinya cerita layak dirayakan.
Khudori Husnan, Penyuka sastra
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 15 Januari 2011
No comments:
Post a Comment