August 29, 2007

Sastra: Ketika Dunia Puisi Sepi Penonton

-- Helena Fransiska

Katamu/
katamu ingin negara ini maju/
tapi biaya pendidikan mahal.
Katamu/
katamu ingin melihat negeri ini berkembang/
tapi lihatlah/
bangunan sekolah dihancurkan/
diganti mal dan plaza.
Mau dibawa ke mana anak negeri ini?/
Jadi pembantu di negeri orang?


Demikian sepenggal puisi yang dibacakan YS Agus Suseno dari Banjarmasin pada pertunjukan Dunia Puisi di Pasar Seni Enggal, Bandar Lampung, Senin (27/8). Kritik pedas mengenai dunia pendidikan di Indonesia coba ia ungkapkan pada pementasan Dunia Puisi yang merupakan bagian dari Lampung Art Festival 2007.

Akhirnya, dengan geram ia menyudahi pementasannya dengan menyuruh semua pejabat tinggi negara untuk merenung, apakah masih memiliki hati nurani atau tidak.

Sejumlah penyair dari Bali, Yogyakarta, Cirebon, Jakarta, Kalimantan Selatan, dan Lampung mengikuti pementasan Dunia Puisi itu. Dengan keahlian masing-masing, di atas pentas para penyair dengan lincah memainkan kata-kata.

Mereka menghujat alam, mempertanyakan cinta, mengkritik penguasa negeri, hingga menggelisahkan kondisi terkini negeri yang sarat budaya tradisi ini. Kata dan ekspresi kegelisahan itu bermuara pada kritik pedas dan sindiran.

Sayang sekali pertunjukan penyair nasional seperti I Wayan Sunarta, Isbedy Setiawan ZS, Oyos Saroso HN, Lupita Lukman, Ari Pahala Hutabarat, Budi P Hutasuhut, Y Wibowo, Endang Supriadi, Sugandi Putra, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Bambang Widiatmoko, Syaiful Irba Tanpaka, hingga Miki ataupun Inggit Putria Marga ditonton oleh sedikit saja apresian.

Sebagian besar penonton justru adalah pelaku seni itu sendiri. Tidak terlihat masyarakat yang dengan penuh ingin tahu melihat dan mengapresiasi puisi.

Kritik demi kritik hanya tersampaikan begitu saja tanpa bisa tersalurkan kepada orang yang disindir. Tidak ada pejabat yang datang atau mendengar.

Para penyair pun seolah tenggelam dalam keasyikan masing-masing mengungkapkan syair-syair mereka. Tidak ada greget, tidak ada emosi. Dunia puisi yang semestinya hidup karena tampilan-tampilan penyair yang memang berbobot menjadi datar-datar saja.

Dunia Puisi Lampung Art Festival 2007 akhirnya menjadi ajang reuni bagi penyair-penyair yang sudah puluhan atau belasan tahun malang-melintang di dunia sastra dengan genre puisi itu.

Sumber: Kompas, Rabu, 29 Agustus 2007

No comments:

Post a Comment