SENI menuntut orisinalitas, kekhasan, momen, dan unik. Itu barangkali yang mengilhami gelaran Pameran Lukisan bertajuk Me-Rupa-kan Ampas Kopi pekan lalu di Bandar Lampung. Ke-bersama-an para perupa menggarap itu mungkin yang menjadi karya-karya ini terkesan dipaksakan.
Kopi lampung ternyata tidak hanya bisa dinikmati lewat secangkir hangatnya yang sampai membuat penyanyi campur sari ternama Didi Kempot membuat satu lagu berjudulkan Kopi Lampung. Sebab, kini kopi lampung bisa dinikmati dalam bentuk lain, yakni dengan mengapresiasi karya rupa. Sehingga akhirnya membuat decak kagum siapa pun yang melihatnya.
Itulah yang amat sangat terasa dalam Pameran Lukisan me-Rupa-kan Ampas Kopi yang digelar sejak 29 Maret hingga 2 April yang lalu di Taman Budaya Lampung. Pameran seni rupa yang bisa dikatakan kali pertamanya digelar di Indonesia di mana seluruh karya yang ditampilkan menggunakan media kopi dalam karya rupa yang dihasilkannya.
Pamerannya sendiri menghadirkan 40 karya dari delapan perupa Lampung asal Bandar Lampung, Metro, dan Tanggamus, yakni Ari Susiwa Manganisi, Sutanto, Koliman, Yulius, Joni Putra, Bambang Irianto, Tince Jonson, dan Rosmedi dengan dikuratori Joko Irianta. Dan hingga hari terakhir penyelenggaraan, tercatat tujuh karya yang laku terjual, yakni karya Tince; Ghaneshaku, Si Cantik, Sekawan, dan Lesung Pipit. Sedangkan dua karya Ari adalah Menampi dan Merpati Mahkota, serta satu karya Sutanto adalah Panen Kopi.
Ratna Sarumpaet, mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang turut hadir dalam acara pembukaan pameran mengaku sangat apreciate dengan pameran yang digelar perupa Lampung. "Ini sangat unik dan menarik sekali. Mungkin ini adalah kali pertamanya pameran menggunakan media kopi yang digelar di Indonesia."
Terlebih lagi diakuinya, Lampung sebagai penghasil kopi terbesar di Indoensia dan telah memiliki branding yang kuat di masyarakat, paling tidak akan mendapatkan satu catatan penting manakala sudah mulai merambah masuk pada dunia seni rupa. "Makanya saya berani menyebut pameran ini sebagai pelopor. Mudah-mudahan akan ada terus perupa yang menekuninya," kata Ratna.
Bahkan penggiat teater ini mengaku sangat menyukai hasil karya yang ditampilkan para perupa karena secara selintas, karya rupa yang dihasilkan sangat mirip dengan karya batik tulis. Warna kopi yang identik dengan cokelat dan hitam sekaan-akan mengingatkan Ratna akan keindahan batik tulis Jawa. "Mengingatkan saya akan batik kuno Jawa".
Meskipun diakuinya, dia tidak mempersoalkan style yang digunakan para perupa yang masih banyak menghadirkan karya naturalis dan realis. "Saya tidak mempersoalkan itu. Sebab, menurut saya, ketika seorang perupa sudah bisa melukiskan karya dalam bentuk realis, maka dia akan pandai mengungkapkan bahasa rupa dalam style yang berbeda," ujar dia lagi.
Apalagi menurut dia, ada juga perupa yang menghadirkan karya dalam bentuk simbol-simbol yang sangat kuat maknanya. "Sehingga saya bisa bilang karya yang dipamerkan sangat tidak standar. Dan yang membuatnya pioniur dan kreatif adalah penggunaan mediumnya. Ini yang perlu mendapatkan apresiasi lebih."
Hal yang sama juga dikemukakan kurator pameran lukisan, Joko Irianta. Dia mengungkapkan bahwa ini merupakan satu pameran lukisan yang kali pertama digelar dengan menggunakan medium ampas kopi. Sudah saatnya, kata Joko, hasil bumi kebanggaan Lampung yang menguasai 70 persen pasar kopi nasional diangkat ke permukaan dalam satu medium yang berbeda. Sehingga ini bisa mengangkat nama kopi lampung itu sendiri. Apalagi menurutnya, dari karya-karya yang dihasilkan para perupa ini memperlihatkan satu kelokalan yang ada di Lampung. Makanya dalam melakukan penilaian terhadap karya yang dipamerkan, yang dikedepankan adalah medium ampas kopi yang digunakan perupa dalam berkarya. "Sedangkan untuk karya kerupaan yang dihasilkan meski diperhatikan tapi belum terfokuskan," kata dia lagi.
Meskipun demikian,
Joko mengatakan bahwa hasil karya yang ditampilkan sangat beragam dan mengusung banyak style karya rupa. Jadi bahasa rupa, gaya, style, hingga aliran yang ditampilkan sangat berbeda antara satu karya dengan yang lain. Ini sangat layak untuk diapresiasikan oleh masyarakat. Terlebih lagi bahasa rupa yang tersajikan juga mengetengahkan persoalan wacana yang ada sekarang ini baik perkembangan teknologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Dan lagi, menurut Joko, dengan penyelenggaraan pameran ini memperlihatkan dinamika perkembangan seni rupa di Lampung telah menunjukan perjalanan yang semakin maju. "Diharapkan dengan digelarnya kegiatan ini, dunia seni rupa di Lampung semakin menunjukan tajinya, tidak hanya di wilayah regional tapi juga skala nasional dan internasional."
Ide dan Apresiasi
Ketika dirunut asal muasal ide menggunakan kopi sebagai media rupa muncul, Sutanto beserta istrilah tenyata yang kali pertama mengeluarkan ide tersebut. Saat itu, dalam kegiatan memperingati Hari Pangan Nasional di Lampung dilakukan pembuatan patung raksasa dengan menggunakan biji kopi. Ketika itulah tercetus ide bagaimana melakukan demo melukis dengan menggunakan ampas kopi.
Namun kemudian ide tersebut bergulir hingga akhirnya disepakati bukan hanya demo melukis yang akan digelar, akan tetapi pameran karya rupa yang seluruh karya rupanya menggunakan medium ampas kopi. Sehingga akhirnya para perupa melakukan berbagai uji coba menggunakan ampas kopi ke atas kanvas; baik yang menggunakan lem fox hingga akhirnya menggunakan sebangsa aquaproof.
"Kami menghabiskan waktu hingga tiga bulan lamanya untuk terus menghasilkan bahan yang lengket di kanvas tapi tidak akan berjamur. Sebab, kami juga dalam finishing menggunakan pernis," kata Sutanto.
Hingga akhirnya terkumpul delapan perupa yang menghasilkan 40 karya dengan medium ampas kopi yang siap melakukan pameran. Ide dan kegelisahan perupa ini yang kemudian ditangkap Ketua MediArt Event Organizer, Dwi Permono Prastio yang selaku pelaksana kegiatan pameran untuk menggelar kegiatan dengan menggandeng berbagai pihak selaku penyokongnya.
Namun, ternyata sangat disayangkan, satu ide yang briliant tersebut, tidak begitu baik diapresiasi oleh masyarakat Lampung. Sehingga jumlah pengunjung yang menyaksikan pameran ini sangat tidak banyak. Padahal, kegiatan ini merupakan sejarah yang mesti tercatat dalam perkembangan seni rupa di Lampung khususnya dan Indonesia pada umumnya. Bahkan, bagi para pelajar baik pelajar TK hingga SMA, kegiatan ini bisa menjadi satu pembelajaran dan pengenalan tidak hanya terhadap seni rupa, tapi juga kopi yang merupakan hasil bumi andalan Lampung.
Apalagi bila dilihat dari setiap event lomba menggambar dan mewarnai yang digelar, maka ratusan hingga ribuan peserta akan mengikuti kegiatan. Tidak hanya anak-anak yang sibuk mendaftar, tapi para orang tua pun sibuk kasak-kusuk. Seharusnya kegiatan ini bisa dijadikan media pembelajaran dari orang tua atau guru kepada anak-anaknya atau muridnya untuk meningkatkan wawasan serta kemampuannya dalam dunia kerupaan. Tapi sekali lagi ini yang tidak ditemui.
Meskipun Dwi selaku event organizer mengaku pihaknya hanya memiliki waktu yang sangat pendek untuk bisa melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Terlebih lagi penyelenggaraannya digelar di Taman Budaya Lampung, di mana banyak masyarakat Bandar Lampung sendiri sangat awam dengan lokasi ini. Namun tentu saja ini tidak selantasnya menjadi satu pembenaran.
Karena itu, selamat bagi para perupa Lampung yang telah melahirkan sebuah gagasan dan ide brilian untuk perkembangan seni rupa di Lampung. Sehingga akhirnya menghasilkan karya yang bisa merubah kegunaan terhadap kopi, di mana nantinya akan sangat banyak efek domino yang dihasilkan terutama sektor ekonomi, pariwisata, dan seni budaya di Lampung. Semoga saja, me'Rupa'kan ampas kopi ini bisa menggaungkan seni rupa Lampung dalam khazanah nasional dan internasional. n TEGUH PRASETYO/S-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 6 April 2008
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete