-- Agus Sri Danardana*
DALAM upaya menciptakan masyarakat Lampung yang berjati diri, berakhlak mulia, dan berperadaban, pada 29 April 2008 telah diundangkan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung. Perda Nomor 2 Tahun 2008 itu antara lain mengatur pemeliharaan bahasa dan aksara Lampung (bab IV, bagian kedua) dalam dua pasal yang berbunyi: Bahasa dan aksara Lampung sebagai unsur kekayaan budaya wajib dikembangkan (Pasal 7). Pasal 8 berbunyi: Pelestarian bahasa dan atau aksara Lampung dilakukan melalui cara-cara antara lain sebagai berikut.
Ada dua catatan yang dapat diberikan atas bunyi bagian perda itu. Pertama, dilihat dari segi bahasa, pengalimatan bagian perda itu tidak efektif sehingga memberi peluang salah tafsir. Kedua, dilihat dari segi substansi, bagian perda itu terdapat beberapa konsep yang masih perlu dikaji, baik kebenaran maupun kelayakan kemungkinan implementasi.
Terlepas dari dua catatan itu, tulisan ini hendak menyajikan pemikiran yang mungkin dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah dalam pemeliharaan bahasa dan aksara Lampung.
Bahasa Standar
Salah satu upaya pemeliharaan bahasa dan aksara Lampung yang diamanatkan perda itu melalui jalur pendidikan. Maksudnya, selain sebagai bahasa pengantar, bahasa Lampung (dan aksaranya) juga harus diajarkan sebagai salah satu mata ajar di sekolah.
Di sinilah masalahnya. Selama ini bahasa Lampung sudah menjadi mata ajar muatan lokal di sekolah, setidaknya di tingkat dasar (SD dan SMP). Namun, pada kenyataannya itu belum dapat mengangkat "kemeranaan" bahasa Lampung.
Penyebab utama, di samping penyebab lain yang sudah sering dilontarkan banyak orang: Keterbatasan guru, buku, dan penekanan materi pada aksara. Kegagalan pengajaran bahasa Lampung belum adanya bahasa standar bahasa Lampung yang harus diajarkan. Selama ini perbedaan dialek nyo dan api masih dijadikan perbalahan yang nyaris tak berkesudahan. Penutur dua dialek itu selalu bersikukuh, saling mengaku (mengklaim) bahwa dialeknyalah yang paling baik dan pantas diajarkan di sekolah. Sebagai akibatnya, materi pelajaran bahasa Lampung pun berbeda-beda.
Pada dasarnya, masalah pengajaran bahasa (baik bahasa nasional, daerah, ataupun asing) selalu berkutat dengan persoalan bahasa standar. Ini penting karena untuk mengukur capaian keberhasilan proses pengajaran harus didasarkan pada kriteria penilaian yang baku atau standar. Karena itu, penentuan standar evaluasi capaian hasil belajar akan berpedoman pada satu kerangka acuan berbahasa secara baik dan benar. Itulah yang disebut bahasa standar.
Standardisasi bahasa mencakup dua hal: Standardisasi bahasa dalam pengertian penentuan bahasa standar (baku) dan standardisasi bahasa dalam pengertian pengodefikasian aspek-aspek kebahasaan. Dalam suatu bahasa, apakah itu bahasa nasional, bahasa asing, atau bahasa daerah, dalam praktik pemakaiannya tidak pernah hadir dalam suatu sosok homogen. Ia hadir dalam berbagai varian, baik berupa variasi sosial maupun variasi dialektal (geografis). Karena itu, untuk penentuan bahasa standar bahasa Lampung haruslah dilakukan kajian sosiolinguistis dan melakukan musyawarah penentuan bahasa standar yang melibatkan berbagai stakeholder dengan bertumpu pada hasil kajian sosiolinguistis tersebut.
Penentuan varian tertentu sebagai representasi berbahasa secara baik dan benar pada bahasa Lampung harus didahului suatu kajian komprehensif tentang jumlah varian, jumlah penutur serta daerah sebaran geografis dari penggunaan varian-varian tersebut.
Setelah bahasa standar ditentukan, standardisasi bahasa berikutnya adalah pengodefikasian aspek-aspek kebahasaan, seperti standardisasi aspek ejaan (tata tulis) dan tata bahasa. Standardisasi dalam pengertian yang terakhir ini akan memanfaatkan hasil kajian linguistis teoretis, seperti kajian fonologi untuk dasar penentuaan standardisasi ejaan, hasil kajian bidang morfologi, dan sintaksis untuk standardisasi tata bahasa.
Selanjutnya, karena dalam pengajaran bahasa tercakup pula pengajaran kesastraan, diperlukan pula bahan-bahan yang menyangkut kesastraan Lampung. Dalam hal ini, informasi yang menyangkut bentuk, jenis, sikap masyarakat pendukung, kapan karya itu digunakan, serta kira-kira berapa jumlah peminat dan pencipta sastra yang masih hidup dalam komunitas tutur bahasa Lampung dapat dijadikan bahan materi pengajaran.
Untuk itu, kajian yang menyangkut persoalan distribusi bentuk dan jenis karya sastra yang masih tumbuh dan berkembang pada masyarakat tutur yang menjadi objek pengembangan materi muatan lokal harus dilakukan komprehensif serta diarahkan pada kebutuhan dalam mendesain materi pengajaran yang sesuai dengan tingkat pendidikan yang dikehendaki. Harus tergambar misalnya bentuk dan jenis sastra yang relevan bagi materi untuk tingkat TK berbeda dengan untuk tingkat SD.
Perbedaan itu tidak hanya materi kebahasaan dan kesastraan yang akan dijadikan bahan pengembangan Garis-garis Besar Program Pengajaran dan pengembangan materi pengajaran bahasa Lampung yang sesuai dengan jenjang pendidikan tempat materi itu akan diajarkan. Pada akhirnya, materi yang tersusun itu haruslah diuji coba tentang kelayakannya, kesesuaiannya dengan tujuan pengajaran, mengevaluasi pelaksanaanya, serta membuat rekomendasi. Tentunya, kegiatan ini haruslah diawali dengan kegiatan pelatihan calon guru yang akan mengajarkan materi bahasa Lampung.
Keegoisan Daerah
Benar, keberagaman bahasa (dialek dan subdialek) semestinya tidak jadi kendala pelestarian suatu bahasa. Namun, ketiadaan bahasa standar sebagai garis haluan pengajaran dan perencanaan bahasa jelas menyulitkan pengodifikasian, pengelaborasian, dan pengimplementasian.
Bisa dilihat bahasa Jawa. Meskipun memiliki banyak dialek dan subdialek--Banyumas, Tegal, Surabaya, dll., sama dengan bahasa Lampung--bahasa Jawa yang disepakati sebagai bahasa standar adalah dialek Yogyakarta-Surakarta. Bahasa Jawa dialek Yogyakarta-Surakarta itulah yang diajarkan di sekolah-sekolah sehingga secara umum pengetahuan dan keterampilan berbahasa Jawa anak didik relatif sama dan merata. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari mereka (anak didik) tetap menggunakan bahasa Jawa dialek masing-masing, tanpa dibayangi perasaan apa pun.
Bagi mereka (orang Jawa), perbedaan dialek adalah sebuah keniscayaan yang pantas disyukuri. Mereka meyakini betul bunyi pepatah lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya sehingga menganggap perbedaan (dalam hal ini dialek) hanyalah sebagai variasi (bahasa).
Pertanyaan sekarang, sudah siapkah ulun Lampung meninggalkan keegoisan daerahnya untuk duduk bersama, berdialog, menggagas ancangan alternatif perencanaan bahasa Lampung? Hadirnya Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pemeliharaan Kebudayaan Lampung tidak menjamin bahasa Lampung eksis di daerah sendiri tanpa didahului upaya nyata yang dapat membangkitkan rasa memiliki masyarakat (baik ulun Lampung maupun pendatang) terhadap bahasa Lampung. Upaya nyata itu, salah satunya, melalui jalur pendidikan. Semoga.
* Agus Sri Danardana, Kepala Kantor Bahasa Provinsi Lampung
Sumber: Lampung Post, Minggu, 27 Juli 2008
Banyak daerah di lampung yang menggunakan bahasa pengantar di pasar tradisional adalah bahasa jawa. Bagaimana bahasa lampung menjadi tuan rumah di provinsi sendiri?
ReplyDeletekeberagaman semestinya tidak jadi kendala pelestarian suatu bahasa.
ReplyDeleteSaya sebagai orang Jawa sepakat pak,....mari kita perkaya budaya Nusantara dengan tetap melestarikan bahasa dan Budaya Nusantara termasuk lampung,...sampai detik ini saya masih mencari font aksara lampung yang berjenis ttf...namun belum ketemu,...sementara aksara nusantara lain sudah banyak tersedia...seperti font aksara Jawa, Sunda, Bugis...batak, Bali...lalu kapan aksara lampung bisa digunakan mengetik di komputer seperti aksara aksara Nusantara lainnya,..
ReplyDeletesilahkan kunjungi e-learning bahasa Jawa SMA di alamat http://setyawara.tk
terimakasih...jayalah selalu nusantara, jayalah selalu Indonesiaku.