Oleh Imelda*
SAYA menulis tentang geneologi wacana kelampungan pada era Orde Baru dan reformasi (Lampung Post, 17 Oktober 2009). Di dalam tulisan itu saya menjelaskan bahwa ada sesuatu yang berubah, yaitu pada era Reformasi, kelampungan ditafsirkan pada darah. Maka kini kelampungan ditafsirkan secara terbuka dan tidak lagi berhubungan dengan darah tetapi pada dedikasi yang lintas etnis. Dalam kerangka kelampungan era Reformasi, pada tulisan ini saya ingin kembali mengontemplasikan eksitensi diri saya sebagai orang Lampung. Apakah saya benar-benar orang Lampung yang sejati.
Ada beberapa indikasi yang saya pakai dalam mendeteksi kelampungan saya, antara lain: (1) Penghayatan saya terhadap empat unsur pi-il pesenggiri, (2) aktualitas kelampungan dalam arti berbahasa, dan (3) pengakuan saya terhadap Lampung. Ketiganya, secara subjektif, saya anggap penting, karena tidak hanya berbicara mengenai kelampungan saya secara batin, tetapi juga secara lahiriah. Sebuah tambahan informasi, saya akan mengacu pada istilah dan pemaknaan yang diberikan oleh Hadikusuma mengenai pi-il pesenggiri karena beliau yang pertama kali membukukan, bukan menggagas.
Pertama, mengenai aktualitas kelampungan dan penghayatan piil pesenggiri. Terus terang saya baru mengerti apa itu piil pesenggiri, yaitu ketika saya mencoba membedah apa yang disebut oleh Hadikusuma (1990) dan Puspawidjaja (2006) mengenai orang Lampung. Kemudian, ketika saya mengerti, saya pun jadi mengerti bahwa diri ini sebenarnya bukan orang Lampung sejati. Mengapa demikian? Memang darah ini Lampung, tetapi apakah saya harus melalui juluk adek untuk menegaskan kelampungan saya? Suatu hari saya bertanya pada saudara saya, mengapa di dalam keluarga saya tidak ada ritual-ritual seperti itu, sementara saya berasal dari saibatin yang mengakui bahwa darah mengikat identitas saya.
Lalu, saudara saya itu menjawab karena kita bukan bangsawan. Pertanyaan saya, apakah hanya bangsawan yang boleh mengakui dan diakui Kelampungannya lewat ritual juluk adek? Kedengarannya sangat primordial buat telinga saya. Barangkali itu prasangka akademik, tetapi buat saya tidak ada alasan untuk menafikkan seseorang dari identitas kelampungan meskipun ia tidak melakukan ritual itu. Buktinya, orang tua saya dan banyak orang lainnya tetap diakui sebagai orang Lampung walaupun tanpa juluk adek. Jangan-jangan ini hanya sebuah mekanisme untuk mengartikulasikan kelampungan dalam kerangka "kekuasaan". Curiganya begitu.
Kedua, nemui nyimah, yaitu suka menerima dan memberi dalam suasana suka duka (Hadikusuma, 1990) merupakan prasyarat lain untuk menjadi seorang Lampung. Saya kira ini berlaku umum saja. Tentu bukan hanya orang Lampung yang juga disyaratkan dan disarankan untuk memiliki sifat ini. Menurut saya, ini sudah embaded "melekat" pada manusia yang mengakui kemanusiaannya.
Ketiga, nengah nyapur yang berarti suka bergaul dan bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan sesuatu (Hadikusuma, 1990). Apa yang bisa membuat saya tidak melakukan musyawarah? Tidak ada alasan untuk menolak selama ini jalan terbaik untuk berdiskusi dan memecahkan permasalahan, walaupun, pada akhirnya, bukan penyamaan persepsi, melainkan saling mengerti. Sama seperti unsur kedua, unsur ini menjadi keharusan dimiliki manusia yang mengakui dirinya sebagai makhluk sosial yang tidak lepas dari orang lain.
Keempat, sakai sambayan yang bermakna suka menolong dan bergotong royong dalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan (Hadikusuma, 1990). Sama seperti unsur kedua dan ketiga saya kira. Ini sebuah nilai yang universal dan setiap zaman pun mengakui bahwa memang ini nilai yang baik. Sederhana, siapa yang tidak butuh kerabat dan tetangga?
Selain empat unsur pi-il pesenggiri, saya akan mengontemplasi diri saya pada dua hal lain, yaitu aktualitas kelampungan dalam berbahasa, dan pengakuan saya terhadap kelampungan diri. Dua hal ini secara simultan akan saya bahas karena kebahasaan merupakan penilaian objektif dan terukur sementara pengakuan sangat subjektif dan tidak terukur. Selain itu, dalam konteks otonomi daerah, ide kelampungan berupa pengakuan mendapat legitimasi, karena menghadapi kenyataan bahwa bahasa Lampung, yang meskipun bisa merujuk kepada orang, sudah menjadi tidak bergitu relevan karena sudah banyak yang tidak menggunakan bahasa itu sebagai alat komunikas. Bukannya saya berkelit karena tidak lancar berbahasa Lampung, melainkan ini adalah sebuah realitas nyata. Adakah yang menyangkal ini sebuah retorika?
Pada penggunaan bahasa Lampung, memang saya akui kurang, bahkan sangat kurang. Meskipun saya mengerti, tetapi sangat kaku lidah ini mengucapkan kata-katanya. Alih-alih berbahasa Lampung, saya malah ditertawakan orang karena terdengar "lucu". Dalam berbahasa daerah, saya merasa lebih dekat dengan bahasa Sunda, barangkali karena ini bahasa daerah pertama yang saya pelajari dari lingkungan dan saya pelajari secara formal ketika sekolah dasar. Barangkali juga saya merasa lebih senang menggunakan logat mereka. Kendati demikian, saya masih tetap mengakui diri ini sebagai orang Lampung. Hal yang mengikat saya dengan identitas ini ialah darah yang saya warisi dari orang tua dan ihwal kelahiran saya yang berlokasi di Telukbetung, Bandar Lampung.
Sebagai simpulan, inti kelampungan saya bermuara pada pengakuan saya sebagai orang Lampung yang dibuktikan oleh darah dan tanah kelahiran, meskipun saya tidak begitu mahir berbahasa Lampung. Di sisi lain, empat unsur pi-il pesenggiri buat saya sangat baru dan terasa sulit untuk menolak unsur ketiga, empat, dan lima, tetapi mempertanyakan unsur pertama. Argumen saya ialah bahwa menjadi orang Lampung tidak karena melakukan ritual juluk adek, tetapi mendedikasikan diri terhadap tanah Lampung dalam konteks apa pun, termasuk memberikan pemikiran yang kadang-kadang melawan arus. Sebagai catatan akhir, buat saya, juluk adek untuk menjadi mekanisme penjaga eksistensi orang Lampung itu penting, tapi perlu dicermati lebih lanjut apakah juluk adek hanya menjadi sebuah mekanisme legitimasi kekuasaan.
* Imelda, Peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI
Sumber: Lampung Post, Jumat, 6 November 2009
Cocok Bu, kalau kelampungan itu diukur dengan dedikasi yang diberikan untuk bumi Lampung, itu artinya kelampungan tidak harus dilihat apakah dia berdarah Lampung, jawa, sunda, bali atau darah apapun.
ReplyDeleteArtinya bolehkan saya yang berdarah Jawa, numpang lahir di Lampung mendedikasikan diri saya untuk Bumi Ruwai Jurai....