Oleh Lukman Hakim
AWAL April 2009, dosen seni University of Michigan, Amerika Serikat, Mary-Louise Totton, menerbitkan buku sejarah dan perkembangan budaya dan tapis Lampung. Buku dengan judul Wearing Wealth And Styling Identity Tapis from Lampung, South Sumatra, Indonesia itu pernah dipamerkan di Hood Museum of Art. Amerika, 21 April hingga 31 Agustus 2009.
Buku setebal 188 halaman itu diterbitkan University Press of New England. Buku itu merupakan hasil studi lapangan, sebagai sarjana kunjungan Pusat Studi Asia Tenggara di beberapa negara, termasuk Indonesia (Lampung) selama tujuh tahun (2002—2009). Penelitian Mary tentang sejarah, budaya, dan perkembangan tapis Lampung dilakukan juga di Museum Tropenmusium Amsterdam, Belanda. Namun, karena koleksi tapis Lampung di Belanda kurang lengkap dan banyak yang belum diberi nama, Mary melakukan studi lapangan di Lampung, dengan meminta koleksi dan penjelasan dari peneliti, pengamat, dan perajin Bandar Lampung.
Dalam buku tersebut dijelaskan sekitar 51 jenis tapis Lampung dan koleksi yang dituliskan hampir mewakili semua unsur budaya yang ada di Lampung. Buku tersebut memang lebih lengkap. Karena, data yang didapat, selain dari Belanda dan museum Lampung, juga berasal dari konsultasi dengan peneliti dan pengamat budaya Lampung. Bahkan, pemerintah Indonesia dan narasumber dalam buku itu, Raswan, Ida Mustika Zaini, dan Ansori Djausal diundang ke Hood Museum of Art Amerika untuk melihat pameran buku dan tapis Lampung, yang berakhir pada 31 Agustus 2009.
Kepedulian Orang Luar
Mungkin kita sangat sedih setelah tahu orang luar yang lebih dulu menulis buku tentang tapis. Padahal, sejarah membuktikan kalau tapis berasal dari Lampung yang memiliki ragam budaya yang sangat banyak dan unik.
Ketika buku Wearing Wealth and Styling Identity Tapis from Lampung, South Sumatra, Indonesia hadir, pengamat, budayawan, dan seniman tanah lada ini seharusnya tidak hanya banyak komentar dan bereuforia soal kebudayaan Lampung. Tapi, diharapkan semua pihak bangkit dan menunjukkan kepada dunia luar bahwa budaya Lampung pun bisa dijual. Bukan hanya di Nusantara, tapi di luar negeri.
Memang tidak mudah menggali soal budaya Lampung, terlebih membahas soal tapis. Bahkan, seorang peneliti ataupun desainer tapis pun harus sangat memahami dan filosofi tapis dan budaya Lampung itu sendiri. Artinya, untuk mengenal tapis, seseorang harus lebih dulu mengetahui sejarah dan arti motif yang tertuang di dalamnya. Setelah itu, barulah membuat kreasi untuk mengembangkan motif kain tapis tersebut.
Munculnya kain tapis ditempuh melalui tahapan-tahapan yang mengarah pada kesempurnaan teknik tenunnya maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Perkembangan kerajinan tenun di Lampung, teknik kerajinan tapis sebagai hasil proses akulturasi kebudayaan. Kemudian dilengkapi dengan berbagai variasi budaya.
Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh tradisi neolitikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. Demikian pula dengan perkembangannya, ragam hias tapis masih terlihat pengaruh dari unsur-unsur ragam hias yang timbul dalam periode Hindu Indonesia. Dalam ragam hias menggunakan unsur flora dan fauna yang dihubungkan dengan kepercayaan umat Hindu. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata ikut memperkaya kerajinan tapis ini.
Kenalkan Budaya Lampung
Sejauh ini, di Lampung dikenal 36 jenis kain tapis. Namun, di museum AS, terdapat lebih dari 53 jenis tapis lama yang usianya bahkan mencapai 400 tahun. Pada masyarakat Lampung, banyak ditemukan pembuat kain tapis. Sedangkan tempat asal yang dikenal adalah Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulangbawang, Sungkai Way Kanan, Pubian Telu Suku, dan Pasir. Kain tapis Lampung sudah ada sejak lebih dari 400 tahun lalu, berupa tenun ikat.
Namun, seiring perkembangan zaman dan banyak alat tenun yang hilang, baru pada era 1980-an kain tapis mulai dikenal kembali masyarakat luas. Sayangnya, masyarakat hanya mengenal kain tapis Sumatera (untuk menyebutkan kain tapis Lampung).
Selain itu, banyak sekali pengusaha tapis membawa perajin tapis dari daerah asalnya ke Tanjungkarang. Hal itulah yang selama ini dilakukan pengusaha tapis Lampung. Akibatnya, kerajinan tapis justru tidak berkembang. Padahal, pengusaha harus meniru Obin atau Iwan Tirta yang mengembangkan batik dengan tetap membuat batik dari daerah asalnya, Jepara. Semoga.
Lukman Hakim, Wartawan Lampung Post
Sumber: Lampung Post, Kamis, 26 Januari 2012
Admin. Apa punya buku wearing wealth and styling identity tapis from lampung ? Sy butuh info ttg buku tersebut untuk literatur Tugas Akhir saya, kalau ada, mohon balas ke e-mail saya taara.marshal@gmail.cok
ReplyDelete