Oleh Frieda Amran
Penyuka sejarah, tinggal di Belanda
KEPALA marga bukanlah pemimpin-pemimpin absolut. Dalam pengambilan keputusan, mereka selalu bermusyawarah dengan penyimbang dan warganya. Bahwa Belanda hendak berlaku seolah kepala-kepala adat itu tidak ada dan tidak mengakui keberadaan mereka, menurut R.A. Kern, aneh sekali mengingat surat-surat resmi Hindia Belanda justru masih terus menyebut-nyebut kepala marga. Memang, sejak 1857, segala sesuatu dilakukan untuk melucuti hak masyarakat atas pranata-pranata sosial dan politiknya.
Sebelum 1870, kekuasaan marga atas pendayagunaan tanah—kekuasaan inilah yang terutama memberikan kekuatan politik kepada kepala marga—dikesampingkan oleh residen dengan suatu peraturan. Peraturan itu menentukan bahwa batas dusun tidak melebihi 4 paal (1 paal = 1.851,85 meter) dan batas dusun yang lebih kecil tidak melebihi 2 paal. Tak ada lagi pengakuan terhadap tanah marga. Siapa pun bebas membangun rumah, membuat ladang dan meramu hasil hutan. Perubahan ini memungkinkan orang yang bukan warga marga—seperti orang dari Palembang dan Jawa—dapat semena-mena menggunakan tanah yang tadinya termasuk dalam wilayah marga tertentu. Namun, warga marga nyatanya tetap memperhatikan pembagian wilayah marga (yang tradisional) dalam pembudidayaan tanah.
Tidak mengherankan bahwa meningkatnya pertikaian mengenai batas wilayah merupakan dampak perubahan itu. Ketika Kesultanan Banten masih berkuasa di Lampung, kalaupun ada pertikaian seperti itu, utusan-utusan Sultan diperintahkan untuk menyelesaikannya secara mufakat. Dengan batas marga diubah dan dihilangkan, tak ada orang yang berwewenang menyelesaikan soal-soal itu sehingga sengketa-sengketa pertanahan yang berkepanjangan tak terhindari.
Sejak 1857, kekuasaan para kepala marga dalam soal-soal hukum adat juga dikurangi. Koloniaale Verslag 1858 dan 1859 menyatakan bahwa pegawai Pemerintah Hindia Belanda akan menyelesaikan segala kasus hukum “dengan baik, cepat, dan tanpa biaya.” Koloniaale Verslag 1880 bahkan menyatakan: “penyelesaian masalah dengan hukum adat sudah menjadi bagian dari sejarah.” Dalam kenyataan, kasus-kasus pertikaian, perselisihan dan persengketaan berkaitan dengan adat masih diselesaikan tanpa campur-tangan pemerintah jajahan.
Pegawai-pegawai Pemerintah Hindia Belanda dibantu oleh demang dan asisten demang di dalam wilayah masing-masing. Orang-orang ini membantu Kontrolir dalam menjalankan tugasnya. Tidak lebih dan tidak kurang. Di dalam kehidupan kemasyarakatan orang Lampung sendiri, para demang dan asisten demang itu tidak menduduki posisi yang penting.
Menurut R.A. Kern, perubahan-perubahan yang dijalankan Belanda berhasil memandulkan pranata-pranata sosial-politik tradisional di Lampung, tanpa berhasil memasyarakatkan demang dan kepala dusun model baru sebagai penggantinya. Kasus-kasus hukum adat yang sebetulnya seharusnya diselesaikan oleh kepemimpinan dusun/desa banyak dilemparkan lagi ke tangan para pegawai Eropa. Saking banyaknya, Pemerintah Hindia Belanda terpaksa memberikan tunjangan untuk mengganti pemasukan dari denda (sebagai sanksi terhadap pelanggaran adat).
Salah satu pranata sosial yang dahulu kala cukup penting di Lampung adalah perbudakan. Untuk membahas hal ini, Kern terlebih dahulu menggambarkan kehidupan masyarakat di Lampung. Apa yang dilihat orang Lampung ketika pertama kali memasuki daerah itu? Dalam bayangan Kern, mereka melihat daerah tanpa ujung—datar, berbukit-bukit dan tertutup oleh rimba raya yang lebat. Sunyi di daerah itu hanya dipecahkan oleh raung binatang-binatang buas dan hentak kaki kawanan gajah dan badak.
Air yang tumpah dari langit di musim hujan menenggelamkan sebagian besar daerah itu. Tanah itu sendiri tidak terlalu subur dan tidak mudah diolah. Orang-orang itu meneruskan langkah—terus berjalan sampai terhadang laut. Begitulah kira-kira proses penyebaran penduduk di Lampung.
Orang Lampung menanam padi di lahan kering. Ladang-ladang itu biasanya ditanami pada satu atau dua kali setahun. Selain padi, juga ada beberapa tanaman lain, biasanya sayur-mayur atau bebuahan. Daging diperoleh dari kerbau-kerbau liar yang berkeliaran di hutan. Mereka membangun rumah-rumah kayu yang kokoh, tempat tinggal untuk isteri dan anak-anak yang bertahan selama bertahun-tahun. Rumah-rumah itu terdapat di dalam dusun-dusun. Beberapa di antaranya cukup besar sehingga menyerupai kota. Bentuk rumah dan penataan bangunan di dalam dusun-dusun itu menunjukkan bahwa di tempat asalnya, pastilah orang-orang itu sudah memiliki pola pemukiman dan sistem pertanian ladang yang serupa pula.
Tidak banyak sawah di Lampung. Di abad ke-19, Belanda acap mencoba dan tidak berhasil mengembangkan pertanian sawah. Hal ini bukan disebabkan oleh kemalasan orang Lampung membuat sawah seperti dugaan sebagian orang Belanda pada masa itu. Sebagian besar tanah di Lampung sukar diairi karena sungai-sungainya terbenam dalam. Di daerah Kroe dan Samangka—dengan alamnya yang cocok untuk pertanian sawah—penduduk memang menanam padi di sawah. Di daerah-daerah ini, justru pertanian ladang tidak banyak dilakukan. (M2)
Pustaka acuan:
R.A. Kern. Over ‘t Lampoengsche Volk dalam Indisch Genootschap, Vergadering van 16 Maart 1923. ’s Gravenhage: Nijhoff. 1923.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Juni 2014
Penyuka sejarah, tinggal di Belanda
Sawah di Metro, 1935 (KITLV, Leiden) |
Sebelum 1870, kekuasaan marga atas pendayagunaan tanah—kekuasaan inilah yang terutama memberikan kekuatan politik kepada kepala marga—dikesampingkan oleh residen dengan suatu peraturan. Peraturan itu menentukan bahwa batas dusun tidak melebihi 4 paal (1 paal = 1.851,85 meter) dan batas dusun yang lebih kecil tidak melebihi 2 paal. Tak ada lagi pengakuan terhadap tanah marga. Siapa pun bebas membangun rumah, membuat ladang dan meramu hasil hutan. Perubahan ini memungkinkan orang yang bukan warga marga—seperti orang dari Palembang dan Jawa—dapat semena-mena menggunakan tanah yang tadinya termasuk dalam wilayah marga tertentu. Namun, warga marga nyatanya tetap memperhatikan pembagian wilayah marga (yang tradisional) dalam pembudidayaan tanah.
Tidak mengherankan bahwa meningkatnya pertikaian mengenai batas wilayah merupakan dampak perubahan itu. Ketika Kesultanan Banten masih berkuasa di Lampung, kalaupun ada pertikaian seperti itu, utusan-utusan Sultan diperintahkan untuk menyelesaikannya secara mufakat. Dengan batas marga diubah dan dihilangkan, tak ada orang yang berwewenang menyelesaikan soal-soal itu sehingga sengketa-sengketa pertanahan yang berkepanjangan tak terhindari.
Sejak 1857, kekuasaan para kepala marga dalam soal-soal hukum adat juga dikurangi. Koloniaale Verslag 1858 dan 1859 menyatakan bahwa pegawai Pemerintah Hindia Belanda akan menyelesaikan segala kasus hukum “dengan baik, cepat, dan tanpa biaya.” Koloniaale Verslag 1880 bahkan menyatakan: “penyelesaian masalah dengan hukum adat sudah menjadi bagian dari sejarah.” Dalam kenyataan, kasus-kasus pertikaian, perselisihan dan persengketaan berkaitan dengan adat masih diselesaikan tanpa campur-tangan pemerintah jajahan.
Pegawai-pegawai Pemerintah Hindia Belanda dibantu oleh demang dan asisten demang di dalam wilayah masing-masing. Orang-orang ini membantu Kontrolir dalam menjalankan tugasnya. Tidak lebih dan tidak kurang. Di dalam kehidupan kemasyarakatan orang Lampung sendiri, para demang dan asisten demang itu tidak menduduki posisi yang penting.
Menurut R.A. Kern, perubahan-perubahan yang dijalankan Belanda berhasil memandulkan pranata-pranata sosial-politik tradisional di Lampung, tanpa berhasil memasyarakatkan demang dan kepala dusun model baru sebagai penggantinya. Kasus-kasus hukum adat yang sebetulnya seharusnya diselesaikan oleh kepemimpinan dusun/desa banyak dilemparkan lagi ke tangan para pegawai Eropa. Saking banyaknya, Pemerintah Hindia Belanda terpaksa memberikan tunjangan untuk mengganti pemasukan dari denda (sebagai sanksi terhadap pelanggaran adat).
Salah satu pranata sosial yang dahulu kala cukup penting di Lampung adalah perbudakan. Untuk membahas hal ini, Kern terlebih dahulu menggambarkan kehidupan masyarakat di Lampung. Apa yang dilihat orang Lampung ketika pertama kali memasuki daerah itu? Dalam bayangan Kern, mereka melihat daerah tanpa ujung—datar, berbukit-bukit dan tertutup oleh rimba raya yang lebat. Sunyi di daerah itu hanya dipecahkan oleh raung binatang-binatang buas dan hentak kaki kawanan gajah dan badak.
Air yang tumpah dari langit di musim hujan menenggelamkan sebagian besar daerah itu. Tanah itu sendiri tidak terlalu subur dan tidak mudah diolah. Orang-orang itu meneruskan langkah—terus berjalan sampai terhadang laut. Begitulah kira-kira proses penyebaran penduduk di Lampung.
Orang Lampung menanam padi di lahan kering. Ladang-ladang itu biasanya ditanami pada satu atau dua kali setahun. Selain padi, juga ada beberapa tanaman lain, biasanya sayur-mayur atau bebuahan. Daging diperoleh dari kerbau-kerbau liar yang berkeliaran di hutan. Mereka membangun rumah-rumah kayu yang kokoh, tempat tinggal untuk isteri dan anak-anak yang bertahan selama bertahun-tahun. Rumah-rumah itu terdapat di dalam dusun-dusun. Beberapa di antaranya cukup besar sehingga menyerupai kota. Bentuk rumah dan penataan bangunan di dalam dusun-dusun itu menunjukkan bahwa di tempat asalnya, pastilah orang-orang itu sudah memiliki pola pemukiman dan sistem pertanian ladang yang serupa pula.
Tidak banyak sawah di Lampung. Di abad ke-19, Belanda acap mencoba dan tidak berhasil mengembangkan pertanian sawah. Hal ini bukan disebabkan oleh kemalasan orang Lampung membuat sawah seperti dugaan sebagian orang Belanda pada masa itu. Sebagian besar tanah di Lampung sukar diairi karena sungai-sungainya terbenam dalam. Di daerah Kroe dan Samangka—dengan alamnya yang cocok untuk pertanian sawah—penduduk memang menanam padi di sawah. Di daerah-daerah ini, justru pertanian ladang tidak banyak dilakukan. (M2)
Pustaka acuan:
R.A. Kern. Over ‘t Lampoengsche Volk dalam Indisch Genootschap, Vergadering van 16 Maart 1923. ’s Gravenhage: Nijhoff. 1923.
Sumber: Lampung Post, Minggu, 1 Juni 2014
No comments:
Post a Comment