Oleh Beni Setia
SEKITAR 40 tahun lampau, ketika saya mulai pendidikan pertanian di SPMA di Soreang—sekitar 20 kilometer dari Bandung—, saya sengaja menonton film Bernard Kowalski, Krakatoa, East of Java. Sebuah film yang menarik karena triller termaksud yang disajikan sebelum film inti main, karena judulnya dan sekaligus sebab judul itu mengandung kebenaran fakta serta kesalahan penandaan.
Meski, kesatu, film itu tak sepenuhnya fiksi mengacu pada sosok seorang tohoh, seperti yang diungkapkan Diro Aritonang dalam puisi Perjalanan Wisata Neraka—berdasar pengalaman Johan Lindeman, lewat buku susunan Tom Simkin dan Richard S. Fiske, Krakatoa 1883: The Volcano Eruptiond and Its Effects. Dan, dua, kenapa lokasi pusat musibah itu berinidikasi East of Java, bukan West of Java—lama kemudian saya mengerti, itu tinjauan dari kejauhan, bersifat kolonial yang berpusat di Eropa sehingga di peta dunia Krakatau itu seperti ada di timur—padahal secara geografi lokal ada di barat (Jawa). Bahkan, dalam pembayangan saat itu, yang paling rusak itu justru posisi barat Jawa, daerah Banten—bukan Betavia yang jauh di utara, hanya kena imbas gelombang dari Laut Jawa—, sedangkan Lampung dan Kalianda sama sekali dianggap daerah tak bertuan, tak berpenduduk.
Muhammad Saleh, lewat buku Syair Lampung Karam berkata lain—bahkan si pengalaman pelayaran kapten Lindeman bicara lain. Tapi apa itu penting, kalau film itu coba merekonstruksi efek bencana letusan Krakatau yang mengerikan—pada puisi Tour Gunung di Dunia penyair Diro Aritonang mencatat bermacam bencana yang diakibatkan letusan gunung api, bahkan bagaimana kebudayaan manusia—lewat ikon istana—: hancur terkubur. Tapi apa itu murni bencana alam? Atau ada kemaksiatan nan merata, masif, dan sistematis yang memicu lahir amarah Allah? Atau hanya kebetulan dengan manusia yang kesasar ke alunan nasib buruk? Dan pertanyaan-pertanyaan itu menjadi awal gairah membaca buku Diro Aritonang terbaru ini.
***
PADA 27 Agustus 1883, pukul 10.20, Krakatau meletus—dan pada momentum itu, tahun ini kita merayakan letusan besar itu dengan launching buku di Bandar Lampung.
Sayang, buku tidak mencatat seperti apa dan bagaimana eskalasi gejala alam sebelum letusan itu jadi bom alam yang menghancurkan—seperti yang sekilas diperbincangkan dalam sebuah rekonstruksi semidokumen di televisi. Dari kesaksian Maemunah (1867—2012), dalam usia 145 tahun, tentang apa yang dialaminya ketika ia berusia 16 tahun, juga tak menerangkan apa-apa—lihat puisi Di Belakang Rumahku. Bahkan, ramalan Ronggowasito, dalam Kitab Raja Purwa, ihwal letusan Gunung Kapi—identik dengan Krakatau—, 1869, tak menerangkan apa-apa.
Seakan semua itu telah terjadi, seakan semua akan dikenangkan, serta kita, kini, harus mengenangkannya. Padahal, itu suatu letusan hebat. Catatan Muhammad Soleh, pada buku Syair Lampung Karam—kalau tak salah diterbitkan di Singapura, dalam pengungsian setelah bencana terjadi, di dalam buku yang ditemukan sarjana Indonesia yang bertekun di Leiden dan sebagian akan dibacakan di malam launching—mencatat bencana dari naiknya permukaan laut, dan tertariknya banyak orang ke pantai ketika mengering sesaat sebelum arus balik air laut menghancurkan daratan Lampung. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Tak ada yang tahu.
Dari puisi Di Hadapan Dua Lukisan Srihadi—bahkan perjalanan ingin mencari suasana kehancuran pada sisa Krakatau, lihat puisi Meraup Cerak Warna Kemurkaan Krakatau—: tak dikabarkan apa pun, selain panorama patsoralisytik memikat. Apakah itu salah? Saya pastikan: Tak ada yang salah. Letusan fenomenal Krakatau itu terjadi 131 tahun yang lampau, sudah amat lama—sehingga orang tua si penyair tidak pernah cerita tentang gunung damai mengepulkan asap di Selat Sunda, tepat di hamparan di belakang rumahnya. Itu menyebabkan kita, sekarang, cuma bisa mencari rujukan pada apa-apa yang dicatat—lihat buku Muhammad Soleh atau Tom Simkin serta Richard S. Fiske misalnya. Atau apa-apa yang dibayangkan—lihat puisi Karakatau, Hari-Hari Terakhir, yang merujuk ke puisi Krakatau, The Last Days, 2006, dari Sam Miller; atau puisi Jeritan yang merujuk lukisan teror sunyi dari Edwand Munch.
Selain pencatatan penandaan pada banyak karya puisi serta musik, seperti yang dinyatakan si penyair dalam puisi Empati Penyair dan Musisi Dunia buat Krakatau. Atau aneka letusan gunung api yang sudah pernah terjadi di dalam sejarah manusia di dunia ini, dan akan terjadi lagi satu saat dalam sejarah dunia manusia di planet bumi ini—lihat puisi Tour Gunung di Dunia. Di titik ini, kumpulan puisi tentang Krakatau ini—dengan kata pengantar resmi dari si yang berwenang itu—, merupakan tanda untuk melawan lupa—bahwa dekat kita, bahkan di halaman belakang rumah kita, ada potensi bencana. Mengabaikan fakta sejarah, bahwa di selat yang tidak stabil secara geografis itu kita mencanangkan proyek jembatan Selat Sunda. Kenapa kita abai?
***
Seorang Diro Aritonang lahir di Kalianda—Lampung Selatan—, tapi ia bukan orang Lampung. Ayahnya pendatang dari Tapanuli, ibu keturunan ras Jawa-Sunda—di Kalianda. Ia sendiri dikirim ke Bandung, ke Unpad, untuk studi sastra Indonesia—sambil kuliah filsafat, kuliah senimatografi, dan kuliah teater sebagai sang mahasiswa pendengar. Ia mendapat jodoh saat kuliah teater. Dan ia mendapat gelar sarjana sastra di Uninus Bandung setelah tak menyelesaikan kuliah di Unpad—tidak mau mengikuti mata kuliah kewiraan, sifat antimileterisme itu, tampaknya yang menjadi semangat perlawanan pada Orba—sehingga berkali mengalami pemenjaraan. Dan satu hal yang bisa dicatat—selain anti-Orba—, penyair tak menyukai kegenitan ungkapan. Ia berpuisi amat berterang: saya di sini, kamu di sana, dan ini ketidakadilan yang harus dikikis.
Keterangjelasan itu masih menguasai kepenyairannya, tapi yang menjadi fokus tulisannya justru sesuatu: telah terjadi dan kemungkinan besar hal itu akan terjadi lagi—karena itu jangan lupa, karena itu jangan melupakannya. Bencana itu ada di depan mata, bencana itu akan bangkit lagi sewaktu-waktu, dan bila bencana itu akan terjadi lagi serta pasti akan terjadi lagi—sehingga harus selalu ingat dan mengingatnya. Ingat akan dahsyatnya bencana, dan bukan efek letusan yang menginternasional sehingga kita harus siapa sedia bila bencana itu kembali. Tapi sudahkah kita ingat akan hal itu? Sudahkah kita mempersiapkan diri bila letusan dahsyat itu terjadi lagi, dengan siaga bencana, dengan mempersiapkan jalur pengungsian, dan dengan punya metoda untuk menanggulanginya. Kita gampang lupa—dengan mengabaikannya.
Mungkin di sana pentingnya buku itu—setara dengan disertasi si orang Jepang, yang mengidentifikasi cerita rakyat dan mitos, sebagai alat leluhur mengingatkan anak keturunannya di masa depan akan bencana tsunami, akan efek sampingan dari gempa atau letusan gunung api di laut—: bencana Krakatau telah terjadi, dan akan terjadi lagi. Kalau abai letusan akan mengambil banyak korban, karena itu jangan abai akan buku-buku Muhammad Saleh, Tom Simkin dan Richard S. Fike, dan lain dan seterusnya.
Beni Setia, Pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Agustus 2014
SEKITAR 40 tahun lampau, ketika saya mulai pendidikan pertanian di SPMA di Soreang—sekitar 20 kilometer dari Bandung—, saya sengaja menonton film Bernard Kowalski, Krakatoa, East of Java. Sebuah film yang menarik karena triller termaksud yang disajikan sebelum film inti main, karena judulnya dan sekaligus sebab judul itu mengandung kebenaran fakta serta kesalahan penandaan.
Meski, kesatu, film itu tak sepenuhnya fiksi mengacu pada sosok seorang tohoh, seperti yang diungkapkan Diro Aritonang dalam puisi Perjalanan Wisata Neraka—berdasar pengalaman Johan Lindeman, lewat buku susunan Tom Simkin dan Richard S. Fiske, Krakatoa 1883: The Volcano Eruptiond and Its Effects. Dan, dua, kenapa lokasi pusat musibah itu berinidikasi East of Java, bukan West of Java—lama kemudian saya mengerti, itu tinjauan dari kejauhan, bersifat kolonial yang berpusat di Eropa sehingga di peta dunia Krakatau itu seperti ada di timur—padahal secara geografi lokal ada di barat (Jawa). Bahkan, dalam pembayangan saat itu, yang paling rusak itu justru posisi barat Jawa, daerah Banten—bukan Betavia yang jauh di utara, hanya kena imbas gelombang dari Laut Jawa—, sedangkan Lampung dan Kalianda sama sekali dianggap daerah tak bertuan, tak berpenduduk.
Muhammad Saleh, lewat buku Syair Lampung Karam berkata lain—bahkan si pengalaman pelayaran kapten Lindeman bicara lain. Tapi apa itu penting, kalau film itu coba merekonstruksi efek bencana letusan Krakatau yang mengerikan—pada puisi Tour Gunung di Dunia penyair Diro Aritonang mencatat bermacam bencana yang diakibatkan letusan gunung api, bahkan bagaimana kebudayaan manusia—lewat ikon istana—: hancur terkubur. Tapi apa itu murni bencana alam? Atau ada kemaksiatan nan merata, masif, dan sistematis yang memicu lahir amarah Allah? Atau hanya kebetulan dengan manusia yang kesasar ke alunan nasib buruk? Dan pertanyaan-pertanyaan itu menjadi awal gairah membaca buku Diro Aritonang terbaru ini.
***
PADA 27 Agustus 1883, pukul 10.20, Krakatau meletus—dan pada momentum itu, tahun ini kita merayakan letusan besar itu dengan launching buku di Bandar Lampung.
Sayang, buku tidak mencatat seperti apa dan bagaimana eskalasi gejala alam sebelum letusan itu jadi bom alam yang menghancurkan—seperti yang sekilas diperbincangkan dalam sebuah rekonstruksi semidokumen di televisi. Dari kesaksian Maemunah (1867—2012), dalam usia 145 tahun, tentang apa yang dialaminya ketika ia berusia 16 tahun, juga tak menerangkan apa-apa—lihat puisi Di Belakang Rumahku. Bahkan, ramalan Ronggowasito, dalam Kitab Raja Purwa, ihwal letusan Gunung Kapi—identik dengan Krakatau—, 1869, tak menerangkan apa-apa.
Seakan semua itu telah terjadi, seakan semua akan dikenangkan, serta kita, kini, harus mengenangkannya. Padahal, itu suatu letusan hebat. Catatan Muhammad Soleh, pada buku Syair Lampung Karam—kalau tak salah diterbitkan di Singapura, dalam pengungsian setelah bencana terjadi, di dalam buku yang ditemukan sarjana Indonesia yang bertekun di Leiden dan sebagian akan dibacakan di malam launching—mencatat bencana dari naiknya permukaan laut, dan tertariknya banyak orang ke pantai ketika mengering sesaat sebelum arus balik air laut menghancurkan daratan Lampung. Tapi apa yang sebenarnya terjadi? Tak ada yang tahu.
Dari puisi Di Hadapan Dua Lukisan Srihadi—bahkan perjalanan ingin mencari suasana kehancuran pada sisa Krakatau, lihat puisi Meraup Cerak Warna Kemurkaan Krakatau—: tak dikabarkan apa pun, selain panorama patsoralisytik memikat. Apakah itu salah? Saya pastikan: Tak ada yang salah. Letusan fenomenal Krakatau itu terjadi 131 tahun yang lampau, sudah amat lama—sehingga orang tua si penyair tidak pernah cerita tentang gunung damai mengepulkan asap di Selat Sunda, tepat di hamparan di belakang rumahnya. Itu menyebabkan kita, sekarang, cuma bisa mencari rujukan pada apa-apa yang dicatat—lihat buku Muhammad Soleh atau Tom Simkin serta Richard S. Fiske misalnya. Atau apa-apa yang dibayangkan—lihat puisi Karakatau, Hari-Hari Terakhir, yang merujuk ke puisi Krakatau, The Last Days, 2006, dari Sam Miller; atau puisi Jeritan yang merujuk lukisan teror sunyi dari Edwand Munch.
Selain pencatatan penandaan pada banyak karya puisi serta musik, seperti yang dinyatakan si penyair dalam puisi Empati Penyair dan Musisi Dunia buat Krakatau. Atau aneka letusan gunung api yang sudah pernah terjadi di dalam sejarah manusia di dunia ini, dan akan terjadi lagi satu saat dalam sejarah dunia manusia di planet bumi ini—lihat puisi Tour Gunung di Dunia. Di titik ini, kumpulan puisi tentang Krakatau ini—dengan kata pengantar resmi dari si yang berwenang itu—, merupakan tanda untuk melawan lupa—bahwa dekat kita, bahkan di halaman belakang rumah kita, ada potensi bencana. Mengabaikan fakta sejarah, bahwa di selat yang tidak stabil secara geografis itu kita mencanangkan proyek jembatan Selat Sunda. Kenapa kita abai?
***
Seorang Diro Aritonang lahir di Kalianda—Lampung Selatan—, tapi ia bukan orang Lampung. Ayahnya pendatang dari Tapanuli, ibu keturunan ras Jawa-Sunda—di Kalianda. Ia sendiri dikirim ke Bandung, ke Unpad, untuk studi sastra Indonesia—sambil kuliah filsafat, kuliah senimatografi, dan kuliah teater sebagai sang mahasiswa pendengar. Ia mendapat jodoh saat kuliah teater. Dan ia mendapat gelar sarjana sastra di Uninus Bandung setelah tak menyelesaikan kuliah di Unpad—tidak mau mengikuti mata kuliah kewiraan, sifat antimileterisme itu, tampaknya yang menjadi semangat perlawanan pada Orba—sehingga berkali mengalami pemenjaraan. Dan satu hal yang bisa dicatat—selain anti-Orba—, penyair tak menyukai kegenitan ungkapan. Ia berpuisi amat berterang: saya di sini, kamu di sana, dan ini ketidakadilan yang harus dikikis.
Keterangjelasan itu masih menguasai kepenyairannya, tapi yang menjadi fokus tulisannya justru sesuatu: telah terjadi dan kemungkinan besar hal itu akan terjadi lagi—karena itu jangan lupa, karena itu jangan melupakannya. Bencana itu ada di depan mata, bencana itu akan bangkit lagi sewaktu-waktu, dan bila bencana itu akan terjadi lagi serta pasti akan terjadi lagi—sehingga harus selalu ingat dan mengingatnya. Ingat akan dahsyatnya bencana, dan bukan efek letusan yang menginternasional sehingga kita harus siapa sedia bila bencana itu kembali. Tapi sudahkah kita ingat akan hal itu? Sudahkah kita mempersiapkan diri bila letusan dahsyat itu terjadi lagi, dengan siaga bencana, dengan mempersiapkan jalur pengungsian, dan dengan punya metoda untuk menanggulanginya. Kita gampang lupa—dengan mengabaikannya.
Mungkin di sana pentingnya buku itu—setara dengan disertasi si orang Jepang, yang mengidentifikasi cerita rakyat dan mitos, sebagai alat leluhur mengingatkan anak keturunannya di masa depan akan bencana tsunami, akan efek sampingan dari gempa atau letusan gunung api di laut—: bencana Krakatau telah terjadi, dan akan terjadi lagi. Kalau abai letusan akan mengambil banyak korban, karena itu jangan abai akan buku-buku Muhammad Saleh, Tom Simkin dan Richard S. Fike, dan lain dan seterusnya.
Beni Setia, Pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment