Oleh Hardi Hamzah
SEMANGAT Udo Z. Karzi dkk. untuk menguniversalisasi budaya Lampung, terus merangkak dalam skema yang terpilar, dalam arti gagasannya mulai menemukan beranda, ini berarti kita harus menemukan rumah besarnya (rumah besar kebudayaan Lampung).
Nah, tentu saja rumah besarnya harus bermuara dari gugusan kebudayaan Lampung yang shopistaced, artinya ada pekerjaan rumah besar yang harus dilakukan, bahwa identifikasi terhadap rancang bangunan arkeologi, artepak, katakanlah sejenis situs Pugung Raharjo harus dirujuk ke dalam wahana yang jelas kait-mengkaitnya antara kesejarahan, kebudayaan, dan peradaban. Ini nantinya skema mekanistik yang dirajut oleh Udo Z. Karzi dkk. dalam memahami pemetaan budaya Lampung yang kelak akan menemukan titik keutuhannya.
Kreativitas, keseriusan dalam mengelola rumah besar kebudayaan Lampung di atas yang mungkin belum kita temukan, kita sedang berada pada ragem carem memetakan aksara, mengucapkannya, membunyikannya yang terkadang kurang pas bila kita merujuk pada mekanisme fonetik yang muncul, misalnya, saja acara-acara di TVRI yang selalu mencampuradukkan bahasa Lampung dengan bahasa Indonesia, seperti “makkot” jadi “mak pernah” atau “cuma selalu” disebut “hanya”, dan banyak lagi. Ironinya, yang mengasuh acara dimaksud bertutur pada peletakan fundamen serius untuk mentransformasikan adat dan kebudayaan Lampung.
Contoh sederhana lainnya, kita kurang arif untuk mengusung kesenian Lampung dalam kultur budaya nasional, misalnya, kalau kita mendengar Pro 4 RRI yang punya titel etalase budaya nusantara dan selalu menitik beratkan pada lagu-lagu daerah. Di situ jarang sekali kita menemukan lagu Lampung dikumandangkan. Padahal, hampir seluruh lagu-lagu daerah secara eksplisit digemakan untuk meletakkan skema bagi daya tarik masyarakat nasional.
Lalu, kalau persoalan sederhana itu saja kita belum menjangkau pemetaan yang baik, Lampung dengan budayanya hanya akan menjadi semu. Inilah yang kemudian membuat budaya Lampung dalam term yang sederhana kerap terabaikan.
Lalu, apa budaya Lampung yang akan kita transformasikan pada segmentasi keindonesian, manakala kemasannya saja tidak menunjukkan suatu yang bernilai hakiki. Belum lagi kalau kita bicara kejar-mengejar ekonomi kreatif diskala makro,pastilah kita bagian yang tertinggal jauh, sehingga detak langgam kelampungan kita tentu perlahan akan digeser sedemikian rupa, dus memalukan dan utopis.
Kerangka konseptual apa yang akan ditawarkan oleh peminat, pengamat, penyubur, pengembang, dan pelestari budaya Lampung? Pertanyaan sederhana ini menjadi sukar untuk dijawab karena di era global kita akan diterobos oleh ruas-ruas kehidupan yang lebih memproyeksikan tarik-menarik antara rujukan Renaisan, klasik, dan atmosfir patarmorgana kebudayaan lainnya yang mengusung multiidentitas.
Memproyeksikan rumah besar budaya Lampung, bak mendiskrepsikan sebuah angan-angan yang tarik ulur antara patologi kultur dan anasir-anasir cakupan budaya global. Ya, kultur kita akan menjadi patologi bagi kehidupan akulturasi budaya dewasa ini, meski ini terkesan ekstrem, ketidakpahaman, ketidakmenentuan, dan ketiadaan indikator konkrit terhadap ornamen kebudayaan Lampung dalam pemahaman yang riil, mau tidak mau menggelincirkan kita dari bangunan rumah besar budaya Lampung.
Apatah lagi kita akan bicara tentang eksistensi Sekala Brak, Buway Nunyai, raksonomi yang jelas antara Pepadun dan Saibatin dengan segudang ornamen-ornamennya, dus kita telah menjadi anak angkat dalam rumah besar budaya Lampung. Yang penulis maksud dengan anak angkat adalah suatu adopsi keterlanjuran untuk memasukkan anak angkat ke dalam rumah besar budaya Lampung yang makin lama mengaburkan marga-marga yang ada.
Catatan sejarah yang kini kita proyeksikan, hanyalah cukilan kebanggaan semu tanpa harus mengecilkan arti kesejarahan itu sendiri. Cukilan semu hadir sebagai resultante lemahnya concerned kita terhadap indetifikasi cagar budaya dalam pengertian faktual. Kita agaknya berjalan dalam kegelapan budaya Tulangbawang, peninggalan Radin Inten, keserimonian Festival Krakatau, yang semuanya mau tidak mau telah mencabut keberadaan rumah besar budaya Lampung.
Hipokrisi dan permisifisme kita untuk mengisi rumah besar budaya Lampung dengan kebanggaan, bahwa kita adalah etnik yang terbuka, kenyataannya membawa keretakan rumah besar itu sendiri, kalau tidak ingin mengatakannya ambruk. Dalam gugusan noktah kekuatan yang masih ada. Katakanlah aksara, sedikit artefak, dan berbagai peninggalan lainnya kita justru menguburnya lewat perilaku Lampung sebagai masyarakat terbuka. Kemudian, apakah yang kita banggakan tinggal di rumah besar budaya Lampung?
Pertanyaan itu penulis lontarkan karena secara ironi di satu sisi kita bersemangat untuk mengangtualisasikan apa saja yang berkaitan dengan budaya Lampung. Di saat yang sama kita sedang mencabik-cabik atau setidaknya mempreteli apa-apa yang ada di dalam rumah besar budaya Lampung.
Kita dapat mengambil contoh pilar piil pesenggiri, berjalan di atas arogansi. Nengah nyappur, hanya sebagai instrumen meraih kekuasaan, nemui nyimah menjadi gombal sebagai alat bergincu bagi keinginan meraih materi dalam orientasi keserakahan. Bejuluk beadok, hanya berputar-putar dalam kerangka paternalistik. Sementara sakai sambayan hanya menjadi slogan yang diperuntukkan para perwatin yang sedang berunding di pusiban.
Oleh sebab itu, rumah besar budaya Lampung adalah rumah rapuh tanpa hakikat untuk menjadi bagian dari budaya nasional. Apakah ini pesimistis? n
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 November 2014
SEMANGAT Udo Z. Karzi dkk. untuk menguniversalisasi budaya Lampung, terus merangkak dalam skema yang terpilar, dalam arti gagasannya mulai menemukan beranda, ini berarti kita harus menemukan rumah besarnya (rumah besar kebudayaan Lampung).
Nah, tentu saja rumah besarnya harus bermuara dari gugusan kebudayaan Lampung yang shopistaced, artinya ada pekerjaan rumah besar yang harus dilakukan, bahwa identifikasi terhadap rancang bangunan arkeologi, artepak, katakanlah sejenis situs Pugung Raharjo harus dirujuk ke dalam wahana yang jelas kait-mengkaitnya antara kesejarahan, kebudayaan, dan peradaban. Ini nantinya skema mekanistik yang dirajut oleh Udo Z. Karzi dkk. dalam memahami pemetaan budaya Lampung yang kelak akan menemukan titik keutuhannya.
Kreativitas, keseriusan dalam mengelola rumah besar kebudayaan Lampung di atas yang mungkin belum kita temukan, kita sedang berada pada ragem carem memetakan aksara, mengucapkannya, membunyikannya yang terkadang kurang pas bila kita merujuk pada mekanisme fonetik yang muncul, misalnya, saja acara-acara di TVRI yang selalu mencampuradukkan bahasa Lampung dengan bahasa Indonesia, seperti “makkot” jadi “mak pernah” atau “cuma selalu” disebut “hanya”, dan banyak lagi. Ironinya, yang mengasuh acara dimaksud bertutur pada peletakan fundamen serius untuk mentransformasikan adat dan kebudayaan Lampung.
Contoh sederhana lainnya, kita kurang arif untuk mengusung kesenian Lampung dalam kultur budaya nasional, misalnya, kalau kita mendengar Pro 4 RRI yang punya titel etalase budaya nusantara dan selalu menitik beratkan pada lagu-lagu daerah. Di situ jarang sekali kita menemukan lagu Lampung dikumandangkan. Padahal, hampir seluruh lagu-lagu daerah secara eksplisit digemakan untuk meletakkan skema bagi daya tarik masyarakat nasional.
Lalu, kalau persoalan sederhana itu saja kita belum menjangkau pemetaan yang baik, Lampung dengan budayanya hanya akan menjadi semu. Inilah yang kemudian membuat budaya Lampung dalam term yang sederhana kerap terabaikan.
Lalu, apa budaya Lampung yang akan kita transformasikan pada segmentasi keindonesian, manakala kemasannya saja tidak menunjukkan suatu yang bernilai hakiki. Belum lagi kalau kita bicara kejar-mengejar ekonomi kreatif diskala makro,pastilah kita bagian yang tertinggal jauh, sehingga detak langgam kelampungan kita tentu perlahan akan digeser sedemikian rupa, dus memalukan dan utopis.
Kerangka konseptual apa yang akan ditawarkan oleh peminat, pengamat, penyubur, pengembang, dan pelestari budaya Lampung? Pertanyaan sederhana ini menjadi sukar untuk dijawab karena di era global kita akan diterobos oleh ruas-ruas kehidupan yang lebih memproyeksikan tarik-menarik antara rujukan Renaisan, klasik, dan atmosfir patarmorgana kebudayaan lainnya yang mengusung multiidentitas.
Memproyeksikan rumah besar budaya Lampung, bak mendiskrepsikan sebuah angan-angan yang tarik ulur antara patologi kultur dan anasir-anasir cakupan budaya global. Ya, kultur kita akan menjadi patologi bagi kehidupan akulturasi budaya dewasa ini, meski ini terkesan ekstrem, ketidakpahaman, ketidakmenentuan, dan ketiadaan indikator konkrit terhadap ornamen kebudayaan Lampung dalam pemahaman yang riil, mau tidak mau menggelincirkan kita dari bangunan rumah besar budaya Lampung.
Apatah lagi kita akan bicara tentang eksistensi Sekala Brak, Buway Nunyai, raksonomi yang jelas antara Pepadun dan Saibatin dengan segudang ornamen-ornamennya, dus kita telah menjadi anak angkat dalam rumah besar budaya Lampung. Yang penulis maksud dengan anak angkat adalah suatu adopsi keterlanjuran untuk memasukkan anak angkat ke dalam rumah besar budaya Lampung yang makin lama mengaburkan marga-marga yang ada.
Catatan sejarah yang kini kita proyeksikan, hanyalah cukilan kebanggaan semu tanpa harus mengecilkan arti kesejarahan itu sendiri. Cukilan semu hadir sebagai resultante lemahnya concerned kita terhadap indetifikasi cagar budaya dalam pengertian faktual. Kita agaknya berjalan dalam kegelapan budaya Tulangbawang, peninggalan Radin Inten, keserimonian Festival Krakatau, yang semuanya mau tidak mau telah mencabut keberadaan rumah besar budaya Lampung.
Hipokrisi dan permisifisme kita untuk mengisi rumah besar budaya Lampung dengan kebanggaan, bahwa kita adalah etnik yang terbuka, kenyataannya membawa keretakan rumah besar itu sendiri, kalau tidak ingin mengatakannya ambruk. Dalam gugusan noktah kekuatan yang masih ada. Katakanlah aksara, sedikit artefak, dan berbagai peninggalan lainnya kita justru menguburnya lewat perilaku Lampung sebagai masyarakat terbuka. Kemudian, apakah yang kita banggakan tinggal di rumah besar budaya Lampung?
Pertanyaan itu penulis lontarkan karena secara ironi di satu sisi kita bersemangat untuk mengangtualisasikan apa saja yang berkaitan dengan budaya Lampung. Di saat yang sama kita sedang mencabik-cabik atau setidaknya mempreteli apa-apa yang ada di dalam rumah besar budaya Lampung.
Kita dapat mengambil contoh pilar piil pesenggiri, berjalan di atas arogansi. Nengah nyappur, hanya sebagai instrumen meraih kekuasaan, nemui nyimah menjadi gombal sebagai alat bergincu bagi keinginan meraih materi dalam orientasi keserakahan. Bejuluk beadok, hanya berputar-putar dalam kerangka paternalistik. Sementara sakai sambayan hanya menjadi slogan yang diperuntukkan para perwatin yang sedang berunding di pusiban.
Oleh sebab itu, rumah besar budaya Lampung adalah rumah rapuh tanpa hakikat untuk menjadi bagian dari budaya nasional. Apakah ini pesimistis? n
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation
Sumber: Lampung Post, Kamis, 27 November 2014
Masalah budaya Lampung, memang panjang perjalanannya. Hanya saja para pemerhati, atau peneliti belum secara komprehensif mendalaminya. Sebagai gambaran umum dapat kita lihat dari pembabakan pembahasan sejarah dalam suatu kurun waktu menjadi tersegmentasi yang dalam masing-masing interprestasi masing-masing penulis. Lampung sebelum abad IV pernah hadir kerajaan Tulangbawang. Cikalbakal lahir Srivijaya yang mengalami kejayaan di abad XI, menurut catatan peranan kerajaan Tulangbawang sangat mewarnai kehadiran atas berdirinya Srivijaya. Surutnya kerajaan ini, di abad XIII-XIV peranannya diganti oleh kerajaan Majapahit yang melebarkan kekuasaannya ke Kerajaan Melayu Tua kemudian menjadi Kerajaan Pagaruyung dan melebarkan sayapnya mencapai daerah Lampung. Sampai sampai bahasa Lampung sebagai bahasa ibu tergeser peranannya diganti bahasa Melayu sebagai bahasa elit dan prestise. Konon anak Raja Majapahit, Widodari Sinuhun menjadi Ratu Balau sebagai keratuan Lampung. Kemudian jatuhnya Majapahit, diganti oleh Sultan Agung Tirtayasa dari kerajaan Banten, dan menjalin hubungan baik dg orang Lampung, dan dijadikan Lampung sebagai domain Kejenongan guna menguasai spices seperti lada dan cengkeh. Terakhir tahun 1800 kolonial Inggris menolak kehadiran Belanda di Lampung. Setelah traktat Sumatera 1811 ? Inggris menyerahkan ke Belanda, dan tahun 1829 jadilah Lampung sebagai kresidenan. Sejak saat itu kolonial Belanda berkuasa di Lampung. Sejak itu pula, pemberontakan Radin Inten bergelora, dan terakhir terbunuhnya Radin Intan II tahun 1835 ? pada saat kolonial menentukan border wilayah, terjadilah disorder wilayah, daerah Pasemah dan komering bukan wilayah adat Lampung. Ironisnya adat istiadat termasuk aksara mereka adalah aksara Lampung.
ReplyDeleteMenjadi pertanyaan adalah;
1. Lampung adalah salahsatu kerajaan di Nusantara yang memiliki Had Lampung. Ini menunjukkan kemajuan suatu negeri, bandingkan kerajaan Srivijaya yang tersohor di belahan dunia tidak memiliki tulisan. Fenomena apa ini namanya ?
2. Lampung mempunyai undang-undang yang disebut Kuntara Rajaniti yang mengatur kehidupan bermasyarakat adat-istiadat, dalam pranata-sosial, bukan hanya sekedar acara seremonial belaka. Kalau sudah punya kitab ini menunjukkan suatu daerah telah established, sama halnya kerajaan Majapahit yang memiliki Kuntara Manawa.
3. Mohon Ibu Frieda Amran dapat memberikan komentarnya, dan barangkali di Belanda dan Jerman tersimpan arsip tentang Lampung. Juga tentang Perjanjian Kerajaan Banten dengan kerajaan Palembang mengenai pembagian wilayah Lampung tanggal 18 Desember 1793; Kultur Verslag van de Residentie Lampongsche Districten.
Saya sangat berharap dapat berdiskusi lebih intens melalui email. Berikut ini adalah email saya: lukmanbasri001@gmail.com. Looking forward for your favorable reply from your side at your convinience time.
Salam Hangat.
LUKMAN BASRI.