May 23, 2015

Di Mana Kiblat Sejarah Kelampungan?

Oleh Karina Lin


Museum Ruwa Jurai, Lampung
TEMA tulisan yang sedang kita baca bersama ini sebenarnya sudah lama mengendap dalam benak saya. Ada sekiranya lebih dari satu tahun. Tema tulisan ini mencuat lantaran kala itu Lampung Post sedang gencar-gencarnya memberitakan, termasuk juga mengadakan event-event diskusi bertema kelampungan. Dikarenakan beberapa hal, tema ini lantas menguap dan baru sekarang terpikirkan lagi.

Kebetulan pula momennya terasa lebih pas. Hal ini dikarenakan pada 18 Mei lalu adalah peringatan Hari Museum Internasional (HMI/International Museum Day/ IMD) yang ke-38. Mungkin ada yang terperanjat, seperti seorang teman yang juga seorang penyuka sejarah. Saat mendapat informasi 18 Mei merupakan IMD, dia berkata, “Oh, ada juga Hari Museum Internasional ya?



Mungkin pula ada yang biasa-biasa saja dan mungkin ada yang peduli serta tidak peduli. Enggak masalah, menurut saya. Sebab, memang harus diakui apresiasi orang Indonesia terhadap museum masih belum merata dan sayangnya,jauh lebih banyak yang minim apresiasi ketimbang makna apresiasi.

Namun, terlepas dari minim atau tidaknya apresiasi terhadap museum, yang pasti institusi yang kerap diidentikkan tempat menyimpan benda-benda bersejarah ini memiliki peranan vital bagi peradaban sebuah bangsa, daerah atau siapa pun. Tidak terkecuali bagi provinsi kita, yakni Lampung. Bahkan, berkaitan dengan sejarah kelampungan dan museum, penulis memiliki pemikiran berupa harapan menjadikan Museum Lampung sebagai kiblat sejarah kelampungan. Mungkinkah ?

Penulis masih ingat jawaban Udo Z Karzi atau yang biasa disapa Bang Zul, ketika setahun lalu saya mengikuti diskusi kelampungan yang diselenggarakan oleh Lampung Post. Sebelum diskusi dimulai, ada sedikit percakapan dengannya dan tercetuslah ide ini, menjadikan Museum Lampung sebagai kiblat/pusat sejarah kelampungan. Bang Zul yang juga jurnalis sekaligus sastawan Lampung ini menjawab mantap: “Enggak mungkin”. Semenjak itu terus berpikir hingga kini mengenai ide menjadikan Museum Lampung sebagai matahari sejarah kelampungan

Sebagaimana dikutip dari laman daring Asosiasi Museum Indonesia, tertulis sejarah singkat museum ini, yakni mulai dirintis 1975—1976. Sejak itu pembangunan fisiknya dilakukan pada lahan seluas 17.010 meter persegi dan pada 24 September 1988 diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan era Orde Baru, Fuad Hasan. Peresmian dari museum yang bernama resmi Museum Ruwa Jurai ini bertepatan dengan Hari Aksara Internasional yang peringatannya dipusatkan di Kota Bandar Lampung.

Pihak yang berwenang mengurusi museum kini ialah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Museum Lampung. Hal ini dikarenakan otonomi daerah yang mulai diberlakukan mulai 2001. Disebutkan dalam laman itu juga Museum Lampung merupakan museum umum yang koleksi-koleksinya terbagi dalam beberapa kategori, antara lain hologika, geologi, keramologika, filologi, histori, numismatika dan heraldika, etnografis, seni rupa, serta teknologi. Adapun bila disebut dalam angka, seluruh koleksi dari semua kategori tadi mencapai 4.500-an (data 2008). Saya yakin enam tahun dari pencatatan data tersebut, jumlah inventaris Museum Lampung pasti bertambah. Namun, saya tidak mengetahui berapa banyaknya.

Kompetensi SDM

Oleh karena itu, saya menanyakan kembali kepada diri sendiri, semacam refleksi untuk mencari tahu alasan mengatakan tidak mungkin (yang diajukan Udo Z Karzi) menjadikan Museum Lampung sebagai ruhnya pusat studi sejarah kelampungan. Dari hasil kontemplasi yang dijalani, faktor SDM-lah yang menjadi perhatian saya. Apakah teman itu (Udo Zul) menjawab tidak, dilandasi perspektif yang sama, yakni faktor SDM ini. Bisa jadi.

Memang belum pernah ada publikasi mengenai kompetensi SDM yang mengurusi Museum Lampung. Kalaupun ada, sangat jarang dan biasanya pun yang melakukan publikasi tersebut ke masyarakat ialah media melalui pemberitaan di media mereka. Isi publikasinya juga terbatas, misalnya, sekitar koleksi museum yang bertambah atau sebaliknya—dalam kasus paling buruk—hilang lantaran dicuri orang.
Ngerinya saya setuju dengan pernyataan Udo Z Karzi. Dalam hal Museum Lampung, misalnya. Apa pernah kita menemukan atau membaca publikasi yang merupakan hasil kajian/penelitian dari SDM mereka? Tidak pernah! Padahal menilik jumlah inventaris mereka yang berada di kisaran 4.500-an, idealnya mampu memicu dan memacu gairah meneliti.

Berbeda sekali dengan SDM di museum lainnya, semisal, Museum Nasional Jakarta atau yang kerap disebut Museum Gajah. Seingat saya, pernah ada satu buku publikasi umum yang penulisnya merupakan seorang pegawai di sana. Judul bukunya Cerita dari Gedung Arca (Wahyono Martowikrido, diterbitkan oleh Kundika dan Masup Jakarta). Gedung Arca ini merujuk kepada serba-serbi dan koleksi-koleksi yang ada di Museum Gajah yang didominasi oleh arca.

Suatu kali di 2004, bersama teman-teman KKL berkesempatan berkunjung ke museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara yang berlokasi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, ini dan membuktikan sendiri bagaimana ratusan arca tertata rapi di lantai bawah dari gedung museum tersebut. Sementara di lantai dua merupakan tempat khusus untuk memajang koleksi emas. Para pengunjung dilarang memotret selama berada di lantai II. Entah apa alasannya, mungkin demi keamanan, mengingat koleksi-koleksi yang berada di lantai II itu tidak ternilai harganya atau mungkin faktor menjaga kualitas barang-barang koleksi. Diyakini kilatan cahaya lampu foto memengaruhi kualitas objek-objek yang difotonya.

Bagaimana dengan museum kita, Museum Ruwa Jurai? Tidak pernah membaca ada larangan tersebut sepengingat selama seumur-umur saya berkunjung ke sana. Ini sebenarnya yang membikin bingung. Apakah pihak museum tahu atau tidak tahu? Jika mereka tahu, kenapa seolah tidak peduli (tidak memasang tanda larangan berfoto). Jika mereka tidak tahu, berarti jelas SDM-SDM yang selama ini mengelola museum adalah orang-orang tidak berkompeten. Orang-orang buangan—meminjam istilah dari teman saya.

Keadaan Museum Lampung juga sejujurnya kurang terawat. Namun, jika beralasan pada anggaran yang minim, alasan tersebut tidak bisa sepenuhnya diterima. Mengingat, sudah jadi rahasia umum bila pemerintah daerah kita memang lebih memprioritaskan dana anggaran pada urusan birokrasi.

Justru dengan adanya kesadaran anggaran minim tadi, bisa memacu pihak museum untuk lebih proaktif lagi. Penulis saja yang hanya warga biasa bisa mendapatkan setumpuk ide yang yakin bisa mengangkat derajat museum kita. Sebagai contoh, pihak museum bisa menjalin kerja sama dengan pihak-pihak tur dan travel supaya memasukkan kunjungan ke museum sebagai salah satu destinasi wajib dikunjungi di Lampung.

Kemudian, pihak museum bisa membuat program-program khusus, seperti kelas membuat tapis atau kelas memasak kuliner khas Lampung, sehingga pengunjung museum bisa mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekadar berkunjung dan melihat koleksi museum (yang itu-itu saja). Selanjutnya, pihak museum bisa proaktif melobi, menawarkan kepada pihak-pihak tertentu untuk menjadikan Museum Lampung sebagai venue acara-acara pihak-pihak tersebut. Dengan catatan, event-event yang digelar memiliki keterhubungan dengan kelampungan.

Menurut saya, cara ketiga tadi efektif dalam mempromosikan Museum Lampung. Mengingat museum yang telah berusia seperempat abad ini masih belum memiliki situs web resmi. Masih banyak cara yang bisa ditempuh, tiga yang disebutkan barulah beberapa di antaranya. Namun sedikit banyak yakin bisa mendongkrak pamor museum.

Tidak salah jika Udo Zul mengatakan tidak mungkin menjadikan Museum Lampung sebagai kiblat sejarah kelampungan. Setelah meretrospeksi ide itu, faktanya memang jauh dari panggang api. Jangankan menjadi kiblat sejarah kelampungan, memberdayakan apa yang telah dimiliki secara optimal saja mereka masih terseok-seok.

Tidak heran ada oknum yang melakukan aksi corat-coret dinding (vandalisme) rumah adat di halaman museum, mereka tidak tahu. Konyolnya, setelah mengetahui, pihak museum malah membela diri dengan menyatakan aksi vandalisme tersebut dilakukan di luar jam kunjungan pengunjung museum. Jadi perbuatan tersebut diluar pengawasan mereka (Saibumi.com, 13 Mei 2014). Jawaban yang tidak cerdas dan tidak bertanggung jawab. Namun begitulah memang museum kita.

Belajar dari kasus vandalisme tersebut, tentu tidak mungkin pihak museum bisa merealisasikan tema yang diusung oleh International Council Of Museum (organisasi yang memiliki otoritas internasional terhadap museum-museum di seluruh dunia, Icom inilah yang menetapkan 18 Mei diperingati sebagai IMD pada 1977), dalam rangka IMD 2015, yakni Museum For a Sustainable Society. Alasan mereka memilih tema itu dilandaskan untuk mengingatkan kita bahwa museum berperan untuk meningkatkan penghargaan atau apresiasi mengenai kemasyarakatan, daripada sekadar sebagai tempat menyimpan benda-benda bersejarah dan menggunakan sumber daya (baca: koleksi museum) sebagai opsi untuk lebih respek terhadap sistem kehidupan kita (icom:museum). Ah masih jauh sekalilah. n

Karina Lin, Pemerhati sejarah dan budaya


Sumber: Lampung Post, Sabtu, 23 Mei 2015 

No comments:

Post a Comment