Oleh Endri Y
Bisa disebut, lomba baca puisi yang digelar Lamban Sastra Isbedy
Stiawan ZS sebagai Paus Sastra
Lampung yang disponsori Lampung Post
itu untuk menegaskan, upaya membaca sekaligus memuisikan pembangunan daerah.
Acara itu bahkan, bertema “Gubernur
Lampung Award” dan bertempat di Balai Keratun, kompleks kantor gubernuran.
Meminjam bahasa WS Rendra, acara guna mendeklamasikan Potret Pembangunan. Tepatnya, memuisikan pembangunan Lampung.
SASTRA sering
disebut pilar keempat setelah ilmu pengetahuan, filsafat dan agama. Selain
mengajarkan nilai-nilai luhur, kemendalaman, sastra dan permenungannya mampu
menceritakan sisi-sisi kebenaran. Akan tetapi dalam konteks puisi, ada
kecenderungan, menyaratkan kemampuan menafsir atas teks dan konteks yang
digubah penyair. Sehingga pada level-level tertentu, puisi perlu pemahanan dan
permenungan tersendiri untuk menemukan estetika maknanya.
Salah seorang peserta membaca puisi dalam Lomba Baca Puisi memperebutkan Piala Gubernur Lampung di Balai Keratun, Bandar Lampung, 26--27 April 2017 (IST) |
Lomba yang digelar selama dua hari, mulai Rabu, 26 April 2017 itu
memperebutkan piala gubernur dan wakil gubernur.
Seolah acara ini untuk memberi pembuktian, sastra mulai mendapat
tempat di dalam kantor-kantor pemerintah.
Jika diperbandingkan dengan buku
sajak WS Rendra yang berjudul “Potret
Pembangunan dalam Puisi” yang diterbitkan Pustaka Jaya, 1993 itu, lomba ini adalah antitesisnya. Almarhum
Rendra, melalui puisi, menohok kekuasaan dengan kritik-kritik pedas. Memang
seputar tema Burung-burung kondor,
orang miskin, ketimpangan sosial, lapangan kerja, kelaparan, belum sepenuhnya
terselesaikan. Namun di beberapa soal, misalnya pada puisi Aku Tulis Pamflet Ini;… Apabila kritik
hanya boleh lewat saluran resmi,/maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam./Lembaga pendapat umum tidak
mengandung pertanyaan./Tidak mengandung perdebatan./Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.
Di hampir semua daerah dan terutama lewat ruang-ruang
media sosial, sudah mulai terbuka. Bebas. Hampir dipastikan sudah tidak ada
celah untuk memonopoli kekuasaan. Lomba
Baca Puisi Lampung dalam Pembangunan yang diikuti 160 peserta yang terdiri dari pelajar dan
mahasiswa itu jelas menjadi antitesis kegelisahan penyair sebelum reformasi.
Sekarang, orang bicara dan kritik pedas bukan sekadar kasak-kusuk lagi, lebih
berani dan di Lampung, puisi bahkan dibacakan anak-anak langsung di kantor
gubernur dan dibiayai penuh oleh pemerintah daerah.
Ini menarik sebagai ejawantah membumikan sastra sekaligus mengokohkan
empat pilar utama kehidupan. Negara bangsa akan maju jika keempat pilarnya
berdiri tegak dengan pondasi yang kokoh seperti tersebut di atas.
Empat
Pilar Kelampungan
Agama, filsafat, ilmu pengetahuan dan sastra, jika mendapat tempat
yang semestinya, dipahami dan dihayati, diamalkan serta secara simultan terus
mendapat ruang-ruang ekspresi sesuai ketentuan, bisa dipastikan membawa dampak
kemajuan.
Lampung sebagai daerah, orang Lampung sebagai subjek, bahkan bisa menjadi suar, melesat maju. Keempat pilar itu
wajib dijaga oleh semua pemangku kepentingan.
Akan tetapi, tulisan ini bukan untuk mencari bentuk bagaimana sebuah
idealitas kehidupan itu hadir. Penulis hanya menyoroti tentang bagaimana
tingkat pembacaan sastra generasi muda kita, khususnya dalam upaya memahami
puisi?
Meminjam pola memahami teks yang dirumuskan Farid
Esack, setidaknya ada tiga unsur intrinsik dalam prosesnya agar mampu mencerecap
makna yang terkandung sebuah teks. Pada tulisan ini, dimaksudkan untuk memahami
sebuah puisi.
Pertama, masuk dalam pikrian pengarang. Kedua,
penafsir dengan banyak beban. Artinya, partisipasi aktif penafsir dalam
melahirkan makna mengimplikasikan bahwa menerima teks dan mengeluarkan makna
darinya tidak ada pada dirinya sendiri. Menerima, menafsir, dan makna teks
selalu parsial.
Setiap penafsir selalu memasuki proses
interpretasi dengan prapemahaman tentang persoalan yang dikemukakan teks. Makna
selalu berada dalam pemahaman itu sendiri.
Ketiga, interpretasi tidak lari dari bahasa, sejarah, dan tradisi. Berbeda
dengan “baca puisi”. Selain perlu menguasai teks puisi, deklamasi butuh
kemampuat teaterikal dan akting. Butuh pengaturan suara dan kemampuan monolog.
Meski pada level bersastra untuk menegakkan pilar mestinya sudah pada fase
“Lomba Cipta Puisi” namun sebagai langkah awal, lomba baca puisi masih
menemukan relevansinya untuk terus berkiprah membuat perbaikan. Minimal
memuisikan pembangunan Lampung. Terutama keberhasilan, capaian dan estetika
kelampungan itu agar membumi dan dipahami generasi muda kita yang masih
terkategori “miskin membaca” karya sastra.
Penulis meyakini, meski tidak membuat riset atau sensus dari 160
peserta yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa itu, pasti mayoritas belum
pernah membaca puisi karya para penyair Lampung yang tidak ditugaskan guru
bahasa di sekolahnya. Terlebih, buku-buku puisi yang memang sudah semakin
langka di pasaran.
Inilah menariknya acara yang ditaja Lamban Sastra Isbedy, Lampung Post
dan Pemprov Lampung. Yang mulai mengenalkan penyair dan karyanya yang memang
dilahirkan dari dan oleh orang Lampung. Tercatat, ada 7 puisi yang bisa dipilih
peserta untuk dideklamasikan. Ketujuh puisi itu adalah karya Isbedy Stiawan yang
bejudul Di Sebuah Kota; Seulas Bibir, Aroma Kopi, puisi Udo Z Karzi yang
berjudul Way Besai, Sajak Rumah
Panggung Tua karya Edi Purwanto,
Hujan di Tanjungkarang karya Iswadi Pratama, Sesiahan karya Jafar Fakhrurozi dan Ode Buat Pancasila karya Saiful Irba Tanpaka.
Sekadar
Catatan
Hampir seluruh kompetisi atau lomba di ranah sastra, bukan hanya di
Lampung. Bahkan secara nasional dan ditaja lembaga-lembaga papan atas
sekalipun, menyisakan beberapa pertanyaan yang sebenarnya, layak dijadikan
permenungan bersama. Sekaligus sebagai upaya perbaikan pada even-even
selanjutnya.
Yaitu, pada proses kepesertaan. Lomba sastra baik membaca maupun
mencipta, mengalami problem utama di ranah seleksi peserta. Jauh jika dibanding
kompetisi di bidang olahraga atau seni lain, MTQ misalnya. Di MTQ misalnya,
peserta untuk bertanding di level provinsi mestinya melalui seleksi ketat.
Lomba tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan baru bisa berlaga di level
provinsi.
Idealnya sebuah lomba, harus menggunakan jenjang. Di kompetisi olahraga,
untuk masuk final mesti melewati babak penyisihan dan semi final. Tidak
tiba-tiba adu tanding memperebutkan Piala Gubernur. Seharusnya dibuat
berjenjang, di sini pertanyaan lanjutan layak diajukan. Apa bedanya lomba baca
puisi ini dengan Pekan Seni Pelajar dan atau FLS2N yang lebih mendekati ideal
untuk ajang perlombaan?
Memang Gubernur Lampung Award khususnya di ranah sastra baru
dipelopori Lamban Sastra Isbedy dan Lampung Post. Namun, ke depan mesti
dibuat formula agar tidak tumpang tindih even.
Contohnya, kenapa Lamban Sastra
Isbedy dan Lampung Post tidak
merangsek untuk mengisi ruang dan kolom sastra di koran edisi Minggu dengan pembaruan yang lebih berarti dan
bermanfaat bagi generasi muda Lampung? Atawa, membuat ajang kompetisi sastra
yang tidak ada di PSP dan FLS2N jika sasaran kepesertaannya adalah pelajar.
Menghidupkan Siswa Bertanya
Sastrawan Menjawab (SBSB) yang pernah dipelopori Majalah Sastra Horison yang sudah gulung tikar untuk edisi cetak
dan memasifkan SBSB ke seantero Lampung mungkin jauh lebih membumi, berdaya
guna bagi sastra dibanding lomba baca puisi tanpa seleksi kepesertaan. []
Endri Y, esais,
Tinggal di Bandar Lampung
Sumber:
Lampung Post, Minggu, 30 April 2017
No comments:
Post a Comment